Di Balik Layar 1st Fujairah Global Chess Championship: Cerita Kristianus Liem yang Tak Tercatat di Papan Catur
Ludus01


LUDUS - Dua pecatur muda Indonesia, IM Aditya Bagus Arfan dan IM Nayaka Budhidharma, sedang melanjutkan langkahnya di ajang internasional. Setelah tampil di 31st Abu Dhabi Chess Festival, kini mereka bertarung di 1st Fujairah Global Chess Championship yang digelar di gedung baru Fujairah Chess & Culture Club, Uni Emirat Arab.

Foto/Kristianus Liem
Inilah kisah perjalanan mereka, sebagaimana dituturkan oleh Kristianus Liem, Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi PB Percasi, yang mendampingi langsung kedua pecatur itu di tanah gurun. Dari balik kisah jalan tol gurun yang mulus hingga ruang pertandingan yang sesekali terasa tertutup, ia menuturkan pengalaman yang bukan sekadar tentang angka dan poin, melainkan juga tentang harapan, kegelisahan, dan keyakinan pada masa depan catur Indonesia.

Foto/Kristianus Liem
Saya masih ingat sopir taksi kami, Dinesh Pandit namanya. Ia orang Nepal, sudah tiga puluh tahun menghidupi keluarganya dari balik setir, tujuh tahun terakhir menetap di Abu Dhabi. Dengan tenang ia bercerita sepanjang jalan, sementara mobil melaju mulus di tol sepanjang 259 kilometer menuju Fujairah. Dua jam empat puluh menit, udara kering 38 derajat Celsius, tak ada gelombang sedikit pun. Di kursi belakang, Aditya dan Nayaka duduk tenang, seolah menyimpan energi untuk babak berikutnya. Mereka baru 19 tahun, tapi sudah berani menantang panggung dunia.
Saya sering berpikir, betapa panjangnya jalan yang harus ditempuh anak-anak ini. Mereka meninggalkan tanah air, jauh dari rumah, hanya untuk duduk berjam-jam di depan papan catur. Di balik heningnya permainan itu ada pergulatan batin yang keras. Tugas saya bukan sekadar mendampingi, tapi juga menjaga agar semangat mereka tidak padam oleh kekalahan atau kelelahan.

Turnamen yang pesertanya dengan rating di atas 2200 ini, jelas keras, bahkan untuk mereka yang baru belajar berdiri. Kategori Master yang diikuti Aditya dan Nayaka menampung 239 peserta dari 55 negara. Ada 24 grandmaster, 6 WGM, 88 IM, 4 WIM, 93 FM, dan 12 CM. Dunia catur benar-benar berkumpul di satu ruang, di kota gurun yang mungkin asing bagi mereka, tapi justru di situlah masa depan ditempa.

Sebetulnya pertandingan sudah dimulai sejak 25 Agustus, tetapi empat babak awal saya hanya bisa memantau dari luar. Panitia tidak memberi izin masuk karena saya tak memiliki ID card. Saya baru bisa masuk pada babak keempat, itu pun dengan kartu volunteer. Kadang saya hanya bisa tersenyum getir: bahkan untuk sekadar menyaksikan anak-anak kita bertanding, ada saja rintangannya. Tapi begitulah catur, ia selalu mengajarkan kesabaran.

Foto/Kristianus Liem
Nayaka memulai dengan langkah yang membuat hati saya terangkat. Babak pertama ia mengalahkan GM Vahe Baghdasaryan (2243) dari Armenia, lalu menahan remis GM Mihail Nikitenko (2504) dari Belarus. Saya tahu, hasil itu membuatnya percaya diri. Tapi roda permainan berputar. Di babak ketiga ia kalah dari GM Igor Miladinovic (2501) asal Serbia, lalu tersungkur lagi dari WIM G. Tejaswini (2298) asal India. Skornya tertahan di 1,5 poin. Wajahnya tetap dingin, tapi saya tahu di balik itu ada badai kecil yang sedang ia redam.
Aditya justru sebaliknya. Babak pertama hanya remis melawan WFM Melika Mohammadi (2244) dari Iran, lalu kalah dari CM Amiri Seyed Kian Ghoreishi (2215). Hasil buruk itu tentu menekan, apalagi di awal turnamen. Tetapi anak ini punya daya juang. Babak ketiga ia menang atas FM Sinha Aarav (2266) dari India, lalu menaklukkan CM Behzad Salimiyan (2262) dari Iran. Dua kemenangan itu mengangkat skornya menjadi 2,5 poin. Dari raut wajahnya saya membaca kelegaan, semacam tanda bahwa ia mulai percaya pada dirinya lagi.

Foto/Kristianus Liem
Sebagai pembina, saya selalu mengingatkan diri: perjalanan anak-anak ini tidak diukur hanya dari angka poin. Lebih penting adalah bagaimana mereka belajar berdiri setelah jatuh, bagaimana mereka belajar menahan diri ketika sedang unggul. Catur adalah metafora hidup. Kadang kita melangkah pion hanya satu petak, terasa lambat, tapi langkah kecil itu bisa menentukan arah seluruh permainan.

Babak 5, Kamis (28/8) mulai pukul 17:00 atau pukul 20:00 WIB, sudah menanti. Aditya akan berhadapan dengan IM Read Samadov (2522) dari Azerbaijan, sementara Nayaka melawan WIM Amina Kairbekova (2297) dari Kazakhstan. Bagi panitia, ini hanya deret angka di pairing list. Tetapi bagi saya, setiap partai adalah lembar pelajaran baru. Saya sudah lama mendampingi pecatur Indonesia di berbagai belahan dunia, dari yang pulang dengan medali sampai yang hanya pulang dengan pengalaman. Dan saya selalu percaya, pengalaman yang tidak terlihat itulah yang kelak membuat mereka menjadi kuat.

IM Nayaka Budhidharma berpose di luar gedung Fujairah Chess & Culture Club yang pintu gedungnya didisain seperti bentuk buah catur Menteri. Foto/Kristianus Liem
Seperti perjalanan kami dari Abu Dhabi ke Fujairah: jalan bisa mulus, udara bisa panas menyiksa. Begitu pula hidup di dunia catur. Ada hasil yang menggembirakan, ada pula yang membuat hati menciut. Namun yang membuat saya tetap bertahan di dunia ini adalah keyakinan sederhana: selalu ada anak muda yang berani melangkah, dan tugas kita adalah memastikan mereka tidak berjalan sendirian.
Dan di Fujairah ini, di bawah teriknya gurun, saya melihat dua di antaranya sedang berusaha membuktikan diri. (**)
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!