Di Tengah Sorak dan Viral: Pancasila dalam Peluh dan Rivalitas Atlet

Ludus01

Di atas podium juara Liga 1, wajah-wajah muda itu mengangkat trofi seperti mengangkat janji. Di balik sorak sorai dan flare yang membakar langit malam Bandung, kita menyaksikan bukan hanya kemenangan, tapi juga kerinduan: kerinduan akan sebuah persatuan yang tak mudah retak, tentang semangat juang yang melampaui sekat-sekat provinsi, stadion, dan algoritma.

Namun di balik semua itu, di tanggal satu Juni yang kembali datang, saya bertanya—dengan sedikit lelah dan banyak rindu—apakah Pancasila masih punya ruang di dunia yang digerakkan oleh jempol, disulut oleh viralitas, dan dibentuk oleh fandom yang fanatik?

Pancasila adalah ide besar. Terlalu besar. Dan ide besar itu, seperti halnya sepak bola, bisa menjadi milik siapa saja—asal ada ruang untuk percaya, dan tempat untuk bermain.

Kita diajari sejak kecil bahwa Pancasila terdiri dari lima sila: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Tapi bagaimana sila-sila itu hidup, atau setidaknya bertahan, di dunia olahraga kita yang penuh euforia, politik anggaran, rivalitas suporter, dan gemerlap media sosial?

Mari kita mulai dari tribun.

Di tengah gemuruh sorak dan gelora spanduk bertuliskan “Loyalti Tanpa Batas” atau “Dari Dulu Kami Lawan”, kita menyaksikan bagaimana semangat kebersamaan yang menjadi bagian dari nilai Pancasila kadang diuji oleh rivalitas yang kuat di antara para suporter sepak bola. Dari semangat persaudaraan lintas daerah, ada kalanya tensi yang tinggi membawa tantangan bagi sila ketiga, Persatuan Indonesia, untuk terus hidup dan menguat dalam keberagaman yang ada.

Kita ingat tragedi Kanjuruhan 2022—dan bagaimana sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, digerus oleh gas air mata, pintu terkunci, dan angka kematian yang terlalu tinggi untuk pertandingan yang seharusnya menjadi hiburan.

Kita jadi teringat ucapan Albert Camus, seorang penulis dan mantan penjaga gawang: “Apa yang saya ketahui dengan pasti tentang moralitas dan kewajiban manusia, saya pelajari dari sepak bola.” Sebuah kalimat sederhana, tapi di dalamnya tersembunyi gagasan bahwa olahraga seharusnya membentuk nurani, bukan menghancurkannya.

Namun tidak semua kelam. Ada pula kisah-kisah yang membuat Pancasila tetap hidup—meski pelan dan kadang nyaris tak terdengar. Seperti saat atlet-atlet muda dari Papua, Sumatera, hingga Sulawesi bersatu dalam pemusatan latihan nasional (Pelatnas). Mereka tak peduli siapa berasal dari mana. Mereka berbagi kamar, nasi bungkus, dan lelah yang sama. Mereka tak berbicara soal asal-usul. Mereka hanya tahu bahwa jersey itu mewakili Indonesia.

Di panggung dunia, semangat Pancasila, seringkali terpancar nyata lewat perjuangan para atlet muda yang tak kenal lelah. Alwi Farhan, pebulutangkis remaja asal Surakarta, yang bukan hanya membawa raket dan kok, tapi juga mewakili nilai-nilai keadilan sosial dan persatuan yang ia jalani setiap hari. Di pelatnas bulu tangkis, tempat ia berlatih dan berkompetisi, perbedaan suku dan latar belakang tak lagi menjadi penghalang. Semua atlet berkumpul dengan satu tujuan bersama: mengharumkan nama Indonesia.

Alwi berasal dari lingkungan sederhana, namun di arena latihan yang sama, ia dan rekan-rekannya disatukan oleh mimpi yang sama, tanpa memandang asal usul. Semangat inilah yang menghidupkan sila ketiga dan kelima Pancasila—persatuan dan keadilan sosial—dalam setiap gerak dan pukulan yang mereka lakukan.

Juga dengan Lalu Muhammad Zohri, pelari cepat dari Lombok yang menembus pentas dunia, bukan hanya karena kecepatan kakinya, tapi juga karena tekad dan rasa kebersamaan yang kuat. Dalam perjalanan kariernya, Zohri melewati masa-masa sulit yang penuh kerja keras, di mana ia menemukan keluarga besar baru di antara pelatih dan teman-teman yang datang dari berbagai penjuru Nusantara.

Dalam tim tersebut, rasa saling mendukung tanpa memandang latar belakang menjadi kekuatan utama yang mendorong Zohri untuk terus melaju di lintasan internasional. Kisah-kisah seperti mereka mengingatkan kita bahwa Pancasila bukan sekadar slogan yang diperingati setiap tanggal satu Juni, melainkan nilai yang hidup dan berdenyut di setiap langkah atlet yang berlari, di setiap pukulan kok yang menggema, dan di setiap detak jantung yang berdebar demi Indonesia.

Melalui kisah mereka, kita diingatkan bahwa Pancasila bukanlah konsep abstrak yang hanya diperingati tanggal satu Juni. Ia hidup di setiap langkah atlet yang berlari, di setiap pukulan kok yang menggetarkan, dan di setiap detak jantung yang berdegup untuk Indonesia.

Di atas podium dunia, di mana mata dunia tertuju dan bendera perlahan naik mengikuti alunan “Indonesia Raya”, Pancasila hadir bukan sebagai teori, tapi sebagai napas kolektif. Di sana, dalam gempita yang merindingkan, kita tidak bertanya dari mana asal si atlet, apa agamanya, atau apa logat bicaranya—kita hanya tahu: ia Indonesia. Dan ketika lagu itu berkumandang, kita semua, entah di stadion atau di ruang tamu kecil, bersatu dalam haru.

Dalam semangat seperti itulah, kita bisa mengenang kata Bung Karno:

“Pancasila adalah satu-satunya dasar yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang besar ini. Bukan satu orang, bukan satu partai, tapi satu dasar.”

Dan di dunia olahraga, dasar itu kerap kita temukan bukan di ruang rapat, tapi di lapangan latihan, di peluh yang jatuh diam-diam di fajar hari, ketika tak ada kamera.

Tentu, Pancasila tak bisa kita gantungkan sepenuhnya pada pundak atlet. Tapi justru karena dunia olahraga adalah miniatur masyarakat, kita bisa membaca denyut ideologi bangsa lewat apa yang terjadi di lapangan dan tribun.

Saat ini, dunia kita didominasi oleh kecepatan dan citra. Di TikTok, pertandingan 90 menit diringkas jadi 15 detik skill challenge. Di Instagram, prestasi dijadikan konten; kemenangan menjadi estetika. Dan tak jarang, keringat perjuangan dikesampingkan demi pencitraan dan endorsement.

Di sinilah letak kelelahan itu.

Pancasila menjadi seperti atlet veteran: berjasa, dihormati, tapi kadang dilupakan saat kamera menyorot yang lebih muda dan lebih ramai. Ia disebut dalam upacara pembukaan, dicetak di baliho, namun tak lagi menjadi landasan dalam mengambil keputusan atau menyelesaikan konflik.

Namun saya percaya, sila-sila itu belum mati. Dan, tak akan pernah mati. Ia hanya lelah, tertidur sejenak, menunggu dibangunkan. Kadang ia muncul dalam pelukan dua pemain yang saling bertabrakan. Dalam genggaman tangan seorang atlet yang meraih lawannya yang jatuh. Dalam tim yang bersatu tak karena seragam, tapi karena mimpi yang sama.

Seperti kata filosof India, Rabindranath Tagore,

“Patriotisme bukan mengibarkan bendera, tapi menjaganya tetap berkibar dengan kejujuran, keberanian, dan kasih sayang.”

Dan mungkin, untuk membuat Pancasila kembali hidup, kita harus kembali ke lapangan. Bukan hanya lapangan hijau yang luas, tapi juga lapangan kecil di gang sempit, di desa-desa terpencil, di mana anak-anak bermain bola dengan sepatu robek, tapi semangat utuh. Di sana, sila-sila itu masih belajar berjalan—bersama keringat, debu, dan tawa yang belum terkontaminasi buzzer.

Pancasila lahir pada 1 Juni 1945. Tapi dalam setiap pertandingan yang jujur, setiap atlet yang berjuang bukan untuk diri sendiri, dalam tiap penonton yang menghormati lawan—ia lahir kembali. Bukan sebagai dogma, tapi sebagai napas.

Dan mungkin, dari situlah kita bisa mulai lagi: dari napas, bukan jargon. Dari lapangan, bukan podium. Dari peluh, bukan viralitas.

Selamat Hari Lahir Pancasila!

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu—mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy


APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!