Gagal Lolos Piala Asia U-23, Kesit B Handoyo: Ini Salah PSSI, Ganti Pelatih Tak Akan Selesaikan Masalah, Saatnya PSSI Benahi Sistem!
Ludus01


LUDUS - Indonesia kembali harus menelan pil pahit di panggung Asia. Harapan untuk mengulang jejak lolos ke Piala Asia U-23 pupus setelah tim Garuda Muda takluk 0-1 dari Korea Selatan. Laga itu seakan menjadi garis akhir dari perjalanan yang sejak awal memang goyah.

Foto/PSSI
Sebelum menghadapi Korea, tanda-tanda kegagalan sudah terlihat. Imbang tanpa gol melawan Laos menjadi titik awal yang mengecewakan. Padahal, dalam hitungan di atas kertas, Indonesia mestinya unggul. Kemenangan tipis 5-0 atas Makau tak cukup mengangkat posisi di klasemen. Hingga akhirnya, partai penentuan melawan Korea hanya menegaskan kenyataan: kualitas kita masih jauh tertinggal.
Publik pun kecewa, sebagian mencari kambing hitam: pemain yang gagal menuntaskan peluang, pelatih yang dianggap buntu taktik, atau diaspora yang tak memberi dampak signifikan. Namun, problem timnas U-23 sejatinya lebih dalam daripada sekadar laga demi laga.
Berikut adalah pandangan lengkap Bung Kesit B Handoyo, komentator sepak bola, yang juga Ketua PWI DKI Jaya, membedah kegagalan ini dengan tajam:

Saya sangat menyayangkan tim U-23 gagal mengulang tradisi lolos ke Piala Asia. Tahun ini, asa itu kandas di babak kualifikasi. Banyak yang bertanya, siapa yang paling bertanggung jawab? Jawaban saya jelas: PSSI.
Kenapa PSSI? Karena merekalah yang membuat kebijakan memilih pelatih, lalu pelatih menunjuk pemain. Jadi, kalau bicara siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini, induk organisasi sepak bola kitalah yang paling utama. Mereka yang seharusnya membangun dan meningkatkan potensi sepak bola Indonesia.

Foto/PSSI
Korea adalah Korea
Kalau bicara soal kekalahan dari Korea Selatan, saya harus realistis. Kualitas mereka masih di atas Indonesia. Maka wajar kalau kita kalah. Meski beberapa kali kita punya peluang, toh tidak ada yang benar-benar tepat sasaran. “Korea is Korea,” mereka tetap macan Asia, disiplin, tenang, dan tahu bagaimana menyelesaikan pertandingan.
Yang lebih mengkhawatirkan bagi saya justru bukan kalah dari Korea, melainkan seri melawan Laos. Itu sudah menjadi tanda bahwa kita akan gagal. Lawan Laos seharusnya menang, tidak ada alasan lain.

Diaspora Tak Lagi Menjadi Penyelamat
Kalau kita bandingkan dengan kualifikasi 2024, kualitas diaspora kita kali ini jauh di bawah. Dulu ada Ivar Jenner, Rafael Struick, hingga pemain kunci lain yang jadi tumpuan. Sekarang? Jens Raven yang diharapkan jadi bomber ternyata tampil biasa saja. Rafael Struick pun tidak bisa menyatu dengan tim.
Padahal masih ada nama lama seperti Hokky Caraka, Doni Tri Pamungkas, dan Arkan Fikri. Tapi secara kualitas, mereka tidak cukup menopang. Terlihat jelas performa Indonesia tidak berkembang. Apalagi ketika gagal menang lawan Laos, itu sudah alarm keras.

Foto/PSSI
Strategi Buntu, Kreativitas Miskin
Soal pelatih, saya tidak sepakat kalau Vanenburg disebut gagal membaca lawan. Dia paham kekuatan lawan, tapi determinasi dan kreativitas pemain kita memang kurang. Lawan Makau dan Laos, ball possession kita sampai 70%, tapi hasilnya nihil. Kenapa? Karena tidak ada ketenangan, tidak ada kreativitas.
Lawan Korea, kita sudah tahu akan sulit. Mereka tim besar Asia, langganan Piala Asia, sama levelnya dengan Jepang, Iran, Saudi Arabia, Uzbekistan. Jadi masalah bukan di pelatih semata.
Liga 1: Kuburan Pemain Muda
Masalah besar lain adalah minimnya menit bermain pemain muda di klub. Klub lebih memilih pemain asing, apalagi dengan aturan baru: 11 pemain asing boleh dimiliki, 9 masuk daftar susunan pemain, 7 bisa diturunkan.
Bagaimana mungkin pemain U-23 bisa berkembang kalau kesempatan bermainnya nyaris tidak ada? Mereka haus kompetisi, tapi di Liga hanya jadi cadangan. Akhirnya kemampuan yang ada menurun, atmosfer pertandingan yang harusnya membentuk mereka hilang.
Perlu Kompetisi Usia Muda
Menurut saya, kebijakan PSSI soal pemain asing ini harus ditinjau ulang. Selama kita belum punya wadah kompetisi U-19, U-21, U-23 yang reguler, pemain lokal akan selalu terpinggirkan. Kompetisi kelompok umur memang mahal, tapi kalau tidak dibuat, kita tidak akan punya pasokan bakat untuk timnas.
Kalau ini tidak segera dilakukan, pilihan yang tersisa hanya satu: naturalisasi. Dan saya tidak setuju kalau itu dijadikan jalan utama.

Foto/PSSI
Naturalisasi Boleh, tapi Jangan Kebablasan
Hasil pertandingan semalam, netizen bilang kayaknya kita butuh pemain naturalisasi lagi. Sedangkan kabarnya pintu naturalisasi sudah dihentikan. Nah, apakah ketika naturalisasi dibuka lagi itu langkah yang tepat? Atau sebaiknya tetap mengandalkan pemain lokal?
Ya, kalau soal naturalisasi jangan terus kebablasan, karena itu tidak bagus juga buat pembinaan. Oke, saat ini ada momentum yang selalu digaungkan Ketua PSSI, Pak Erick Thohir. Ada momentum, sehingga kemudian upaya untuk bisa memanfaatkan momentum itu di timnas senior utamanya adalah lolos untuk pertama kalinya ke Piala Dunia. Maka diambil pemain-pemain keturunan Indonesia untuk memperkuat timnas.
Kemarin kita sudah melihat ada tambahan: ada Miliyano Jonata, ada Mauro Zitter, kemudian ada Jufga Adrian Wibowo. Walaupun Adrian Wibowo statusnya lebih kepada NI, tapi dengan adanya tambahan naturalisasi itu, harapannya adalah kekuatan timnas akan semakin bertambah untuk mengarungi ronde keempat. Momentum itu kan yang ingin dikejar.
BACA JUGA: Timnas Indonesia U-23 Gagal ke Piala Asia, Vanenburg Gerah Dibandingkan dengan STY
Tapi ke depan saya kira jangan lagi kita bergantung kepada pemain-pemain naturalisasi. Naturalisasi boleh saja, satu dua masih boleh, selama ada pemain keturunan Indonesia yang mau memperkuat timnas. Kan kita juga tidak bisa menghalangi kalau mereka punya kemampuan, punya kapasitas, dan punya kualitas yang lebih dari pemain lokal kita. Kalau ada keinginan untuk main di Indonesia, ya why not.
Tapi kan jangan kemudian seperti sekarang kita sibuk terus mencari. Ini menurut saya tidak bagus ke depannya, karena pada akhirnya akan menghilangkan kepercayaan pemain Indonesia dan bakat-bakat yang ada. Jadi menurut saya, naturalisasi bukan distop total, tapi harus dibatasi. Tidak boleh terus-terusan juga.
Naturalisasi bukan hanya Indonesia. Malaysia, yang tadinya suka ‘ngledekin’ Indonesia, sekarang malah juga banyak melakukan hal yang sama. Jadi apaan, di Malaysia juga problemnya sama.
Ya memang, ya… program naturalisasi ini kalau tidak dihentikan, lambat laun akan mematikan potensi pemain lokal. Bisa jadi anak muda yang saat ini sedang bermimpi untuk menjadi pemain timnas menjadi patah arang. Kan akhirnya berpikir: ‘Ah, nanti juga yang akan dipilih pemain naturalisasi.’ Nah, itu kan nggak boleh terjadi. PSSI harus memberi harapan yang besar terhadap pemain lokal.
Seperti yang tadi saya katakan, naturalisasi boleh-boleh saja. Bedanya, kalau Indonesia dengan Malaysia: Malaysia itu naturalisasinya nyaris tidak ada keturunan Malaysianya. Beda dengan Indonesia, masih ada darahnya. Tangannya diiris masih ada darah Indonesianya. Ini boleh jadi kebanggaan kita, karena pemain-pemain yang ada itu seperti Ypelo Peci, Ragnar, Rafael S, Verdonk, atau Kevin Diks, itu kan ada darah Indonesianya.
Makanya, kenapa kemudian kita boleh berbangga? Karena itu adalah pemain-pemain yang memiliki darah Indonesia. Tapi kalau misalnya pemain yang direkrut bukan, atau tidak memiliki darah Indonesia, apa yang mau kita banggakan? Nggak ada yang bisa kita banggakan.

Foto/PSSI
Jangan Ganti Pelatih Terus
Ada suara-suara yang minta Vanenburg diganti. Saya tidak sepakat. Kita sudah melihat contohnya: ketika STY dipecat, padahal performanya sedang bagus, hasilnya justru makin terpuruk. Mengganti pelatih itu risiko: bisa membaik, bisa makin hancur. Dan sekarang kita rasakan yang kedua.
Vanenburg punya gaya berbeda dari STY. Ia berani main ofensif, terbuka, penguasaan bola tinggi. Tapi tanpa pemain kreatif macam Marcelino, permainan itu jadi buntu. Jadi bukan semata-mata salah pelatih.

Foto/PSSI
Target Olimpiade Masih Muluk
Ya, sekarang fokusnya bagaimana mengejar tiket supaya kita bisa ke Olimpiade. Tapi bahwa kita sudah gagal, ya sudah… hanya sebatas itulah kemampuan kita. Karena saya melihat para pemain itu bebannya lumayan berat.
Terakhir, Indonesia lolos ke semifinal Piala Asia. Maka target yang ada di kualifikasi sebenarnya yang paling utama adalah: lolos dulu. Bahwa setelah lolos nanti Indonesia tersingkir di fase grup, itu nantilah. Yang penting lolos dulu. Nah, sekarang lolos pun tidak. Kan begitu.
Itu yang membebani pikiran para pemain ketika akan menghadapi Korea Selatan. Karena kan harus menang. Dengan kemenangan, Indonesia bisa lolos. Kalau nggak menang, ya sudah. Seperti yang kita lihat sekarang: Indonesia gagal.

Foto/PSSI
Kekalahan melawan Korea Selatan hanyalah puncak gunung es. Masalah sebenarnya ada di bawah: regulasi liga, minimnya kompetisi usia muda, kebijakan pemain asing yang berlebihan, hingga kegagalan membangun kepercayaan pada pemain lokal.
Kalau semua ini tidak dibenahi, kita akan terus mengulang kegagalan yang sama. Jangan lagi cari kambing hitam di pelatih atau pemain. Akar masalahnya jelas: PSSI.

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!