
“Kemenangan itu sepi. Ia tak selalu disambut tepuk tangan. Sebab yang paling tahu sakitnya latihan, biasanya justru duduk diam di pinggir.”
— Catatan seorang atlet nasional kepada dirinya sendiri

Sejarah olahraga kita bukan dibentuk oleh sorak kamera, tapi oleh mereka yang menang diam-diam, dan tetap berlari meski tak disorot siapa-siapa (Foto: Arbain Rambey)
Ada yang berubah dari gelanggang olahraga kita. Ia kini tak lagi semata tempat lahirnya rekor, melainkan tempat tampilnya wajah. Wajah siapa? Bukan wajah atlet yang telah bertahun-tahun menggenggam sepatu penuh keringat, melainkan wajah-wajah yang lebih akrab di layar kaca, feed Instagram, atau FYP TikTok.
Olahraga memang sedang naik daun—tapi lebih karena artisnya, bukan karena atletnya.
Cabang-cabang seperti padel, basket 3x3, tenis, hingga bulu tangkis ekshibisi, kini lebih dikenal bukan lewat hasil pertandingan resmi, tapi lewat siapa yang tampil di sana sebagai bintang tamu. Di layar ponsel kita, algoritma lebih cepat menyebarkan video seorang artis mengayunkan raket ketimbang rekaman atlet nasional menjuarai turnamen Asia. Kita menonton bukan karena permainannya, tapi karena siapa yang sedang bermain. Yang penting: tampil dulu. Menang? Itu nomor dua.
Dan ini bukan sekadar fenomena hiburan. Ini adalah pergeseran nilai yang diam-diam membentuk cara publik memandang olahraga.
Tentu, kita tak bisa menafikan peran selebritas dalam mengangkat pamor olahraga. Mereka membawa keramaian, membuka akses sponsor, memecah stigma bahwa gelanggang bukan hanya milik atlet elit. Tapi masalahnya bukan pada kehadiran mereka—melainkan pada siapa yang akhirnya lebih didengar, lebih dipuja, dan lebih dianggap representatif. Di banyak ruang, bahkan di forum-forum pengambil keputusan, suara artis kini terdengar lebih nyaring daripada suara atlet juara dunia.
Dan diam-diam, kita tahu ada hukum tak tertulis yang berlaku: jika ketua umum cabang olahraga (cabor) Anda bukan siapa-siapa, maka prestasi sebesar apa pun bisa tak terdengar. Tapi jika ketua umum cabor Anda dekat dengan para pengambil kebijakan—apalagi jika ia pejabat, figur populer, mantan pesohor, atau petinggi partai—maka sorotan dan perhatian akan datang bahkan sebelum atlet-atletnya turun gelanggang. Perhatian publik bukan lagi perkara prestasi, tapi perkara akses dan citra. Cabor yang elok di layar, dan pemimpinnya elok di jejaring, akan mendapat panggung lebih luas—sementara cabor sunyi hanya bisa menatap dari pojok.
Padahal, di balik prestasi, ada luka. Ada repetisi yang melelahkan. Ada cedera yang tak tuntas sembuh, ada pengorbanan keluarga, dan ada hari-hari sepi ketika nama sendiri tak muncul di berita. Dan semua itu tak selalu bisa ditranslasikan jadi konten.
Kita telah mengubah gelanggang menjadi panggung. Sorak-sorai memang terdengar meriah, tapi kosong di dalamnya. Sebab tak ada makna yang lebih dalam dari kemenangan yang datang dari sebuah latihan diam-diam. Tapi suara mereka yang benar-benar berprestasi justru sering dikalahkan oleh mikrofon yang dipegang pesohor.
Euforia kemenangan cabor populer, yang didukung nama-nama pesohor itu, tentu membanggakan, kita patut bersyukur dan berbahagia bersama. Tapi diam-diam, banyak atlet cabang lain hanya bisa menonton dari jauh, menahan rasa: "Apakah harus punya jutaan penonton dulu agar dihitung sebagai prestasi?" Mereka yang membawa pulang medali Asia, atau rekor SEA Games, tak pernah dijemput kamera dengan gegap gempita.
Di SEA Games 2023, tim hoki putri Indonesia mencetak sejarah. Emas pertama. Sebuah capaian luar biasa untuk cabang yang tak punya liga profesional, tak punya spotlight, tak punya bintang iklan. Tapi apa yang terjadi? Ai Melis Kusmiati, salah satu anggota tim, ketika itu berkata lirih, “Kami berharap prestasi ini bisa membuat hoki lebih diperhatikan.” Tak ada seleb yang repost. Tak ada tayangan viral. Tak ada trending tag. Hanya peluh yang dibiarkan mengering tanpa tepuk tangan.
Dan ada seorang atlet yang memenangkan medali dunia pulang diam-diam, menyimpan medali dalam tas, dan kembali berlatih esok harinya. Di sisi lain, ada cabor populer, dengan prestasi atletnua, sorotan datang seperti hujan lebat. Sorak sorai nasional seketika memenuhi langit daring.
Mengapa begitu?
Sebab olahraga di negeri ini tak hanya diukur dari capaian, tapi dari siapa yang berdiri di belakangnya.
Di sinilah absurditas kita: ketokohan lebih penting daripada ketekunan. Popularitas lebih dihargai daripada pencapaian. Kita hidup di zaman ketika yang terkenal diberi sorotan, dan yang berprestasi diberi sunyi.
Saya teringat kata-kata Milan Kundera: “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting.” Maka, perjuangan atlet melawan pengabaian hari ini adalah perjuangan untuk tidak dilupakan.
Apa gunanya rekor nasional jika yang viral justru selebritas yang tampil setengah serius? Apa gunanya pelatnas bertahun-tahun jika panggung lebih mudah diberikan pada aktor pendatang baru?
Ini bukan soal iri. Ini soal keadilan narasi. Kita membiarkan kamera menyorot yang ramai, dan membiarkan yang berkeringat tetap dalam gelap.
Satu ketika, seorang atlet yang menjuarai SEA Games menulis status sunyi di media sosial, begini kira-kira intinya: “Terima kasih pelatih, keluarga, dan teman-teman. Terima kasih Indonesia. Meskipun tidak ada seleb yang repost medali ini, aku tahu ini milik kita. Milik Indonesia.” Sebuah kalimat yang mengguncang lebih dari seribu caption tentang “support olahraga yang tak populer yuk!”
Karena memang, pada akhirnya yang berprestasilah yang seharusnya bicara. Bukan yang paling ramai. Bukan yang paling tampan bermain yang paling layak mewakili. Tapi yang paling tekun, yang berani menempuh jalan sunyi, yang mestinya kita beri tempat lebih tinggi—di podium, dan di ruang percakapan nasional.
Itulah sebabnya dalam olahraga, tepuk tangan tak boleh dibagi rata. Ia harus diarahkan pada mereka yang benar-benar menempuh jalan panjang: jalan yang tak viral, tak berbintang, tapi penuh dedikasi. Dan dalam era penuh selebrasi ini, kita perlu belajar lagi membedakan antara yang terkenal dan yang berprestasi. Antara yang tampil dan yang berjuang!
Karena sejarah olahraga kita bukan dibentuk oleh sorak kamera, tapi oleh mereka yang menang diam-diam, dan tetap berlari meski tak disorot siapa-siapa.
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu—mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!