

LUDUS - Tanggal 4 September tiba, dan barangkali kalender kita tak memberi tanda khusus selain angka yang biasa. Tetapi bagi jutaan orang di seluruh dunia, hari itu adalah saat memberi hormat: Hari Taekwondo Internasional. Sebuah perayaan yang tak hanya menyebut nama olahraga, melainkan juga menyebut jalan hidup.

Taekwondo lahir dari tanah Korea, tumbuh dalam disiplin tubuh, lalu meluas melintasi benua. Pada 1994, Komite Olimpiade Internasional mengakuinya sebagai olahraga resmi, seakan dunia sepakat memberi panggung bagi seni gerak yang keras sekaligus anggun itu. Maka 4 September bukan sekadar catatan sejarah; ia adalah momen ketika sebuah tradisi lokal menjelma bahasa universal.
Maka, 4 September, sebuah momentum yang ditetapkan oleh World Taekwondo Federation (WTF) pada tahun 2006 untuk menandai lahirnya taekwondo sebagai seni bela diri modern asal Korea yang mendunia. Tanggal ini dipilih karena pada 4 September 1994, taekwondo resmi diakui sebagai cabang olahraga Olimpiade oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Namun, apa arti sebuah pengakuan? Bukankah taekwondo, jauh sebelum ia masuk arena Olimpiade, sudah hidup dalam tubuh jutaan orang yang berlatih saban pagi? Tendangan melingkar, salam hormat sebelum bertarung, semua itu bukan sekadar gerakan fisik. Ia adalah ritual untuk menata diri. Ada yang menyebutnya olahraga, ada pula yang menyebutnya jalan hidup.
Di lebih dari 200 negara, jutaan praktisi merayakan 4 September dengan demonstrasi jurus, pertandingan persahabatan, hingga kegiatan sosial. Tetapi perayaan yang lebih tak bersuara, justru terjadi dalam diri: ketika seseorang berlatih, berkeringat, jatuh, lalu bangkit kembali. Dalam filsafat taekwondo, tubuh ditempa agar jiwa menjadi ringan.
Hari Taekwondo Internasional bukan sekadar perayaan olahraga, tetapi juga penghormatan pada filosofi taekwondo yang menekankan disiplin, penghormatan, ketekunan, dan perdamaian.
Lebih dari 200 juta praktisi di 209 negara ikut merasakan gaungnya, menjadikan taekwondo sebagai salah satu seni bela diri dengan penyebaran terluas di dunia.

Indonesia pun ikut dalam arus besar ini. Dari gelanggang kecil di sekolah-sekolah, sampai ke kejuaraan nasional, gema taekwondo terdengar sebagai bahasa universal. Ia bukan lagi sekadar milik Korea, melainkan milik dunia, sebuah seni tentang bagaimana disiplin bisa mengalahkan kemalasan, dan bagaimana sportivitas mampu melampaui sekat bangsa.
Mungkin di situlah makna hari ini. Hari Taekwondo Internasional bukanlah pesta semata, melainkan sebuah pengingat: bahwa dalam setiap tendangan, ada harapan untuk melesat lebih tinggi; dan dalam setiap salam hormat, ada ajakan untuk hidup lebih damai.
Hari Taekwondo Internasional mengingatkan bahwa taekwondo bukan hanya tentang tendangan tinggi di arena, tetapi juga tentang membentuk karakter dan menyatukan bangsa-bangsa melalui semangat sportivitas dan persaudaraan.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!