Ketika Atlet Memilih Kemanusiaan: Kisah Ricardo Rosado dan Kiprono di Malaga Maraton 2023

Ludus01

“Contoh bukanlah hal terpenting dalam memengaruhi orang lain. Ia adalah satu-satunya.”

— Albert Schweitzer —

Albert Schweitzer pernah menulis, bahwa contoh bukanlah hal terpenting dalam memengaruhi orang lain. Ia adalah satu-satunya. Schweitzer, seorang filsuf yang juga dokter dan teolog, peraih Nobel Perdamaian 1952, tidak menuliskannya dari ruang seminar yang dingin, tetapi dari dalam lumpur rumah sakit di hutan Afrika, tempat di mana prinsip hidup diuji, bukan dibahas.

Saya teringat kutipan itu bukan dari ruang filsafat, tapi dari lintasan lari. Dari tubuh yang kepayahan, dari detik yang dilepas, dan dari pilihan seorang atlet untuk tidak menyalip, padahal sangat bisa.

Kita hidup di zaman ketika kemenangan adalah segalanya. Tak ada tempat untuk melambat, apalagi berhenti. Dunia kita diukur dengan detik, angka, grafik, dan ranking. Para atlet menjadi mesin pencetak prestasi. Para manusia pun, barangkali, mulai lupa bagaimana menjadi manusia.

Hari ini, Minggu (29/6/2025) pagi, Jakarta kembali dipenuhi langkah-langkah tergesa, napas terengah, dan ambisi yang menukik pada garis finish. BTN Jakarta International Marathon 2025 digelar meriah, dan seperti telah ditulis oleh waktu, para pelari Kenya kembali menguasai podium. Baik di nomor elite putra maupun putri, nama-nama dari dataran tinggi Afrika Timur itu lagi-lagi menjadi yang tercepat. Cepat, efisien, seolah tak terkejar.

Tak ada yang salah dengan itu. Kenya memang rumah bagi legenda-legenda maraton. Tapi di tengah gempita Jakarta dan angka finish yang menawan, saya teringat pada satu kisah kemanusian.

Kejadiannya sudah lama. Tepatnya, 10 Desember 2023, saat kota Malaga di Spanyol menjadi tuan rumah bagi ribuan pelari dalam gelaran Zurich Maraton Malaga 2023. Saat itu, orang-orang mungkin hanya mengharapkan catatan waktu baru, statistik resmi, dan podium penuh sorak-sorai. Dan, kisah ini justru kembali ramai di TikTok dan Instagram. Bukan karena rekor, bukan pula karena medali. Tapi karena sikap, karena pilihan seorang pelari untuk tidak menang, padahal bisa.

Kisah itu datang dari Zurich Maraton Malaga. Seorang pelari Spanyol, Ricardo Rosado, memilih tidak menyalip, padahal kesempatan itu terbuka lebar. Di depannya, pelari Kenya, Evans Kimtai Kiprono, terseok. Hanya beberapa meter dari garis finis, tubuh Kiprono terguncang, ototnya kaku, wajahnya nyaris roboh. Ia di posisi kelima. Rosado keenam. Secara aturan lomba, ia berhak melaju. Bahkan sangat wajar jika ia melesat dan mengambil posisi itu.

Tapi Rosado berhenti. Ia memeluk tubuh Kiprono. Membantu langkahnya. Dan membiarkan lawannya itu, yang bahkan bukan senegaranya, menyentuh garis finis lebih dulu.

Kemenangan dilepaskannya dengan sukarela. Apa yang membuat seseorang melakukan itu?

Kita bisa berkata: karena ia orang baik. Karena ia punya rasa kemanusiaan. Tapi mungkin jawaban itu terlalu sederhana. Sebab dalam dunia lari, dalam dunia kompetisi yang keras, pelan berarti kalah. Berhenti berarti menghapus bertahun-tahun latihan.

Namun justru di situlah keindahan itu hadir: ketika seseorang melampaui perhitungan untung rugi. Ketika seseorang bersedia kehilangan sesuatu yang besar, demi sesuatu yang lebih dalam.

“Kemenangan sejati adalah ketika kita mampu menang atas diri kita sendiri,” kata Socrates, atau kalau bukan dia, barangkali itu hanya bunyi hati kita sendiri.

Ricardo Rosado lahir di Madrid, 1988. Ia bukan atlet utama yang mengisi headline media negaranya. Tapi ia adalah pelari yang konsisten. Pernah masuk sepuluh besar dalam lomba 1500 dan 3000 meter di Spanyol. Di Malaga itu, ia mencatat waktu 2 jam 14 menit 23 detik. Satu detik lebih lambat dari Kiprono. Tapi waktu bukan segalanya. Dalam cerita ini, detik itu menjadi abadi.

Rosado bukan atlet yang hidup di sorotan kamera. Ia telah lebih dari satu dekade berkiprah sebagai pelari jarak menengah dan jauh. Saat finis keenam di Marathon Malaga 2023, itu adalah prestasi terbaiknya di lomba bergengsi tersebut. Pelari berjanggut ini memang bukan pemecah rekor, tapi ia membuktikan bahwa karakter bisa jadi pencapaian yang lebih luhur daripada catatan waktu.

Evans Kiprono adalah pelari Kenya yang pernah mencatat waktu 2:09:56 di Linz Marathon 2023, nyaris elite kelas dunia. Ia tahu rasa lelah yang tak bisa dijelaskan. Ia tahu tubuh kadang mengkhianati niat. Dan hari itu, di Malaga, tubuhnya nyaris menyerah. Tapi seseorang menahannya: seseorang memegang tubuhnya agar tak jatuh dan agar bisa menyelesaikan apa yang ia mulai.

Lahir di Kenya tahun 1994, Kiprono adalah pelari spesialis maraton. Ia memiliki rekor pribadi 2:09:56. Kiprono pernah meniti karier lintasan saat kuliah di Amerika Serikat bersama tim atletik University of Texas at El Paso (UTEP), mencatat 8:37.08 di 3000 m indoor dan 14:53.67 di 5000 m. Namun maratonlah yang kemudian menjadi ladang utamanya.

Di Malaga, Kiprono tengah mengejar podium kelima. Namun tubuhnya nyaris menyerah. Tanpa bantuan Rosado, ia mungkin gagal menyentuh garis akhir.

Cerita ini viral kembali di TikTok dan Instagram. Berjuta orang menontonnya. Tapi video bukan alasan utama tulisan ini hadir. Sebab ada pertanyaan editorial yang lebih mendalam: dalam dunia lomba lari yang makin keras dan kompetitif, apakah masih ada ruang untuk sikap yang manusiawi?

Dunia olahraga dibanjiri algoritma: waktu, kecepatan, target, skor. Ia seperti pabrik angka. Di sinilah paradoks itu muncul: semakin banyak angka kita miliki, semakin sedikit nilai yang kita pegang. Dan kadang, seperti dalam kasus Rosado, nilai itu hadir justru karena seseorang tidak mengejar angka.

“Yang benar tidak selalu yang paling cepat. Yang adil tidak selalu yang paling gemilang,” tulis Simone Weil. Ia tahu, keadilan bukan hasil dari kekuatan, tapi dari jeda. Dari keputusan menunda diri, agar yang lemah bisa ikut sampai.

TikTok mungkin tidak tahu kutipan Weil. Tapi hari-hari ini, video tentang Rosado dan Kiprono kembali muncul di sana. Mungkin karena banyak yang merindukan sesuatu yang tak bisa diunggah: rasa hormat terhadap sesama. Rasa bahwa kita bukan musuh satu sama lain, tapi rekan dalam lintasan hidup yang sama panjang dan sama beratnya.

Cerita Rosado viral. Tapi apa yang ia lakukan tidak pernah dimaksudkan untuk itu. Ia tidak tahu bahwa kamera merekam. Ia tidak tahu video itu akan diputar ulang berjuta kali. Tapi ia tahu satu hal: bahwa ia tidak bisa membiarkan orang di depannya jatuh sendirian.

Maka ia memeluk, bukan menyalip.

Mungkin ia ingat bahwa garis finis bukanlah satu-satunya tujuan. Dan dalam dunia yang begitu mencintai hasil, tindakan Rosado terasa seperti anomali. Tapi justru karena itu, ia menjadi contoh. Dan seperti kata Schweitzer: contoh adalah satu-satunya hal yang benar-benar mengubah manusia.

Di akhir lomba itu, Rosado tetap menerima hadiah. Tapi itu bukan inti cerita. Intinya justru ada di detik yang dilepaskan, di langkah yang ditunda, di tangan yang ditaruh di bahu lawan. Di tempat di mana kompetisi berubah menjadi pengertian.

Cerita ini bukan hanya soal satu perlombaan, satu detik, satu posisi ke-5 yang dilepaskan. Ini soal apa yang bisa kita pilih ketika hidup memberi kita kuasa: untuk melaju, atau untuk membantu. Untuk menang, atau untuk membiarkan orang lain menyelesaikan perjuangannya.

Panitia memang tidak mendiskualifikasi mereka. Sebab aturan tidak memperbolehkan itu dilakukan. Tapi, Rosado malah diberi €500 tambahan, selain hadiah sebagai pelari Spanyol tercepat. Tapi yang ia menangkan hari itu bukan uang. Ia menang atas egonya sendiri.

Dan mungkin, itulah satu-satunya kemenangan yang bisa disebut sebagai kemuliaan.

Jika kita bertanya mengapa kisah ini perlu ditulis ulang, jawabannya sederhana: karena kita haus akan cerita seperti ini. Karena di antara gegap gempita skor dan kontroversi, kita butuh napas. Kita butuh kisah yang mengingatkan bahwa menjadi atlet, seperti menjadi manusia, bukan hanya soal siapa tercepat, terkuat, atau terkaya. Tapi siapa yang mampu menahan langkahnya demi langkah orang lain.

Ricardo Rosado menunjukkan kepada kita: kadang, untuk menjadi juara, seseorang justru harus rela kehilangan garis finisnya sendiri.

Dan siapa tahu, dari kekalahan itu, kita belajar tentang kemenangan yang sesungguhnya.

Dan, ketika kita menonton para juara Kenya kembali menguasai panggung Jakarta, barangkali sesekali kita butuh cerita yang tak hanya berbicara soal kecepatan, tapi juga soal kepekaan.

“Kita bukan hanya apa yang kita capai,” tulis Albert Camus. “Kita adalah apa yang kita beri.”

Dan dari semua langkah yang diambil hari itu di Malaga, satu langkah yang ditinggalkan oleh Rosado, justru yang paling jauh menempuh hati manusia.

Baca Juga: Tubuh yang Menaklukkan Air, Kini Memimpin Dunia: Mantan Atlet Indonesia, Kapan

Kita barangkali tak perlu menunggu pelari Indonesia melakukan hal yang serupa persis. Tapi kisah ini bisa menjadi cermin, bahwa prestasi tak harus membuat kita lupa pada kemanusiaan. Bahwa semangat bersaing bukan berarti mematikan empati. Dan bahwa dalam arena yang kerap keras dan kejam, seorang atlet Indonesia, dari bulu tangkis hingga lari maraton, dari matras silat hingga sirkuit balap, selalu punya pilihan: untuk tidak hanya sekadar menang, tapi menang dengan bermartabat.

Kita punya banyak atlet hebat. Tapi sejarah akan lebih ingat mereka yang juga berani menjadi manusia, bahkan ketika kamera tidak menyala.

Tapi bukan hanya atlet yang perlu merenung. Barangkali, yang lebih perlu menahan langkah adalah mereka yang tak pernah ikut berlari, para pengurus, para pemegang otoritas, yang terlalu sering saling sikut di garis start organisasi. Dalam dunia olahraga Indonesia, kita tahu: dualisme kepengurusan bukan lagi hal baru. Beberapa cabang olahraga, silih berganti, memecah menjadi dua, bahkan lebih, bukan karena prinsip, tapi karena ego. Dan di antara perpecahan itu, yang jatuh bukan mereka, tapi atlet yang dibiarkan limbung, seperti Kiprono tanpa Rosado.

Maka kisah Rosado adalah pelajaran tak hanya bagi pelari, tapi juga bagi siapa pun yang memegang jabatan dan kekuasaan. Kadang, yang dibutuhkan bukan langkah lebih cepat, tapi keberanian untuk menahan diri, menundukkan ego, dan memastikan yang di depan kita tetap bisa sampai garis finis.

Sebab seperti kata Schweitzer, “Contoh adalah satu-satunya hal yang mengubah manusia.” Dan barangkali juga, satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan olahraga kita dari keterpurukan yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu—mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!