Tubuh yang Menaklukkan Air, Kini Memimpin Dunia: Mantan Atlet Indonesia, Kapan
Ludus01

“Yang tahu luka adalah yang pernah terluka. Yang mengerti tubuh adalah yang pernah menaruhkan tubuhnya ke dalam air yang dingin, pagi yang sunyi, dan sistem yang tak selalu adil.”

Foto/olympic.com
Pada akhirnya, sejarah bukan hanya tentang siapa yang menang, tetapi siapa yang duduk di kursi yang memutuskan bagaimana kemenangan itu didefinisikan. Dan pada Hari Olimpiade, besok, 23 Juni 2025, sejarah itu berpindah tangan. Bukan dari tangan pengurus, tapi dari tubuh yang pernah menaklukkan air: Kirsty Leigh Coventry, perenang dari Zimbabwe.
Ia, masih berusia 41 tahun, kini menjabat sebagai Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), organisasi olahraga tertinggi di dunia. Bukan hanya perempuan pertama, bukan hanya orang Afrika pertama, tapi juga mantan atlet perempuan pertama yang memimpin IOC dalam sejarah 130 tahun. Sebelumnya, IOC dipegang oleh Thomas Bach, peraih medali emas anggar Olimpiade Montreal 1976.

Foto/olympic.com
Di kolam renang, Kirsty Coventry bukan nama sembarangan. Ia adalah atlet Afrika tersukses sepanjang sejarah Olimpiade. Dari delapan medali yang pernah diraih Zimbabwe di Olimpiade, tujuh datang dari tubuhnya yang terus berenang melawan keterbatasan.
Di Athena 2004, ia mencatat sejarah: meraih emas 200 meter dan 100 gaya punggung, juga perunggu 200 meter medley. Di Beijing 2008, ia mempertahankan gelar 200m gaya punggung dan menambah tiga medali perak ke dalam koleksi.
Tak ada atlet Afrika lain yang mampu menyamai jumlah medalinya. Ia juga memenangkan tiga gelar juara dunia long course (100m & 200m gaya punggung 2005, 200m gaya punggung 2009) dan empat emas short course di FINA World Swimming Championships (25m) tahun 2008.

Foto/olympic.com
Tujuh medali Olimpiade, tiga gelar dunia, empat emas dunia short course. Semua itu dari seorang perempuan dari negara yang lebih sering diliput karena krisis ekonomi daripada olahraga. Semua itu dari tubuh yang memilih air sebagai medan perlawanan.
Namun Coventry bukan hanya berenang. Ia melangkah lebih jauh.
Tahun 2013, ia masuk Komisi Atlet IOC. Tahun 2018, ia dilantik sebagai Menteri Pemuda, Olahraga, Seni dan Rekreasi Zimbabwe. Tahun 2021, ia kembali dipilih sebagai anggota IOC secara individu. Dan kini, 2025, ia memimpin seluruh sistem yang dulu hanya menyambutnya sebagai atlet.

Foto/olympic.com
Tubuh yang dulu bersaing di lintasan kini duduk di kursi tertinggi.
Dan saya pun terdiam sejenak, bertanya dalam hati: apakah mungkin tubuh-tubuh atlet Indonesia juga diberi jalan serupa?

Foto/NOC Indonesia
Sebelum pelantikannya, Coventry sempat bertemu Presiden NOC Indonesia, Raja Sapta Oktohari, di sela forum IOC. Dalam pertemuan singkat itu, dua dunia bersalaman: Afrika dan Asia Tenggara , Zimbabwe dan Indonesia, dua negeri yang sama-sama dari Selatan Global, dua bangsa yang pernah melahirkan atlet besar, tapi menapaki jalur kepemimpinan dengan ritme yang berbeda.
Saya melihat pertemuan itu sangat hangat, tapi menyisakan renungan panjang: Mengapa hingga kini belum ada satu pun mantan atlet Indonesia yang memimpin organisasi olahraga tertinggi nasional, apalagi internasional?
Zimbabwe, yang ekonominya rapuh, berani mempercayai seorang mantan atlet. Indonesia, yang rutin naik podium SEA Games, masih belum. Tak satu pun mantan atlet Indonesia pernah memimpin KONI atau KOI.
Dan Presiden Prabowo Subianto, memulainya dengan langkah yang elegan: terlepas dari urusan politik, mempercayakan seorang mantan atlet, juara Olimpiade, legenda bulu tangkis dunia, Taufik Hidayat, untuk duduk di lingkar kekuasaan. Bukan di kursi tertinggi, memang, tapi sebagai Wakil Menteri. Namun inilah sebuah permulaan, dan dalam sejarah, permulaan sering kali lebih penting daripada puncak.
Beberapa nama memang sempat masuk gelanggang kekuasaan. Taufik Hidayat, legenda bulu tangkis, kini menjadi Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga. Grandmaster Utut Adianto menjadi Ketua Fraksi di DPR RI, menjadi pemimpin cabang olahraganya. Yayuk Basuki, legenda tenis, hanya sempat menjadi anggota DPR dan Ketua Komite Atlet Olimpiade Indonesia, posisi yang lebih bersifat representatif daripada eksekutif.
Yang lain?
Nama-nama besar dari atletik, renang, angkat besi, panahan, dan pencak silat, nyaris tak terdengar dalam peta organisasi nasional. Coba cari di Google, hasilnya lebih banyak nostalgia medali ketimbang kabar mereka hari ini.
Mereka tetap dikenang sebagai juara, tapi tak pernah diberi peluang untuk memimpin.
“Budaya yang tidak percaya pada tubuh yang pernah jatuh bangun, adalah budaya yang membatasi masa depan.”
Padahal tubuh-tubuh itulah yang paling tahu. Mereka yang tahu karbol pelatnas, bonus yang telat cair, hingga rasa sunyi saat cedera menghentikan impian. Mereka tahu sistem bukan dari laporan, tapi dari luka.

Foto/olympic.com
Kirsty Coventry membawa filosofi Ubuntu: “Aku ada karena kita ada.”
Ia percaya bahwa olahraga bukan hanya prestasi, tapi jaringan keadilan dan kemanusiaan. Ia tahu bahwa podium bukan tujuan akhir, melainkan pintu menuju tanggung jawab yang lebih besar.
Sementara kita, di Indonesia, masih ragu.
Kita masih membiarkan kursi-kursi penting diduduki oleh mereka yang tak pernah berdiri di garis start. Kita masih percaya bahwa yang fasih berbicara lebih layak memimpin ketimbang yang fasih merasakan. Hari itu, Coventry memegang cincin Olimpiade dengan tangan telanjang dan mengunggahnya di Instagram.

Foto/Swimming Wolrd/Peter H.Bick
Ia menulis: “Africa’s most decorated Olympian is now the IOC President.”
Kalimat itu bisa menjadi inspirasi untuk atlet muda dari benua mana pun. Tapi bagi saya, ia menjelma menjadi cermin.
“Kepemimpinan terbaik lahir dari mereka yang pernah gagal di depan umum, dan bangkit bukan karena dibantu, tapi karena tahu cara bertahan.”
Saya memimpikan, suatu hari, podium tertinggi olahraga Indonesia berdiri bukan untuk membacakan laporan, tapi untuk menyampaikan pengalaman yang pernah berkeringat dan bergetar karena nasionalisme yang bukan basa-basi. Saya merindukan, suatu hari, tubuh-tubuh yang pernah dipuja dalam euforia emas SEA Games, Asian Games, bahkan Olimpiade, diberi tempat juga di meja pengambilan keputusan.
Mereka, kini mengajar renang, membuka klub bulu tangkis kecil, atau menghabiskan waktu mengulang kisah kemenangan kepada anak-anak yang tak tahu sejarah. Mereka bukan legenda. Mereka nyata. Tapi mengapa kita memperlakukan mereka seperti masa lalu yang sudah selesai?
Filosof Prancis Simone Weil pernah menulis, “Attention is the rarest and purest form of generosity.” Maka perhatian kepada para mantan atlet bukan soal nostalgia, tapi soal kemurahan hati bangsa terhadap mereka yang pernah mempertaruhkan tubuhnya demi harga diri negeri ini.
Barangkali tulisan ini bukan untuk menjawab, tapi untuk menyapa. Untuk membisikkan bahwa kita masih mengingat mereka, dan bahwa negeri ini tak akan pernah benar-benar maju kalau ia terus membiarkan yang pernah bertarung hanya duduk di pinggir ring.

Foto/News 10 ABC/AP Photo/Aaron Ufumeli
Jika Kirsty Coventry bisa berdiri di tengah dunia, bukan karena negaranya lebih besar, tapi karena negaranya berani mempercayakan masa depan pada mereka yang pernah berkeringat demi benderanya sendiri. Rainer Maria Rilke, dalam suratnya kepada penyair muda, menulis, “Live the questions now. Perhaps you will then gradually, without noticing it, live along some distant day into the answer.” Maka kepada para mantan atlet Indonesia, tulisan ini bukan sekadar kenangan, tapi ajakan diam-diam: jangan berhenti percaya,
bahwa tubuh yang dulu berlaga, suatu hari akan dipercaya untuk memimpin panggungnya sendiri.
Dan kepada kita semua, barangkali pertanyaan 'kapan' itu tak perlu dijawab sekarang. Tapi kita bisa mulai dengan memperhatikannya, hari ini, bersama-sama.
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu—mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!