Kisah Alfons T. Lung: Dari Kerikil Samarinda ke Podium Asian Games, dan Nyala yang Tak Pernah Padam

Ludus01

"Saya tumbuh bukan di tengah fasilitas, tapi di atas lantai semen. Saya dibentuk bukan oleh kemudahan, tapi oleh jatuh dan bangkit. Hari ini, saya kembalikan warisan itu: bukan dalam piala, tapi dalam manusia."
Alfons Tewan Lung

Samarinda, siang itu sepi. Jalanan nyaris kosong, sekolah baru saja bubar. Dari kejauhan, suara langkah kecil terdengar memecah sunyi, tergesa, tidak teratur, seperti denyut adrenalin yang belum reda. Seorang bocah lelaki, berkulit kuning langsat, berlari pulang dari sekolah. Napasnya memburu, wajahnya memerah. Bukan karena malu. Bukan pula karena takut.

Hari itu, ia, kembali menang!

Bukan dalam lomba lari atau cerdas cermat. Tapi dalam sebuah perkelahian kecil, ritual tak tertulis anak-anak SD, yang sering kali dimulai dari ejekan sepele, dan berakhir dengan sobekan di baju serta darah kering di lutut.

Dan, ada sesuatu dalam kemenangan itu, yang membuat langkahnya ringan, meski keringat menempel di pelipis dan debu menyelimuti sepatunya. Ia tahu, di balik luka, ada harga diri yang tetap utuh. Bahkan mungkin, tumbuh lebih keras dari sebelumnya.

Anak itu, bernama Alfons Tekwan Lung

Ia bukan anak yang haus konflik. Tapi, ia juga bukan anak yang diam ketika ketidakadilan terjadi. Satu pukulan kadang menjadi jawaban dari rasa kesal, dan dalam hal itu, Alfons sering jadi juaranya. Di sekolah, reputasinya sebagai anak “tangguh” cepat tersebar. Tidak banyak yang berani mengusiknya. Tapi juga tidak sedikit yang diam-diam kagum. Termasuk seorang teman, yang pada suatu hari datang dengan ajakan yang akan mengubah perjalanan hidupnya.

“Fons, ikut latihan taekwondo, yuk. Daripada kamu berkelahi terus.”

Panggilannya Akiong. Kawan satunya lagi, sering dipanggil Asiaw. Alfons tak ingat lagi nama sebenarnya itu siapa. Ketika itu, usianya sepantaran, baru 10 tahun. Sama-sama kelas 5 sekolah dasar. Mereka berdua, yang mendorong Alfons untuk berlatih taekwondo.

Ajakan itu diucapkan sepintas. Tapi dalam kehidupan, hal-hal besar sering kali berawal dari kalimat kecil. Alfons mengikuti temannya. Ia datang ke sesi latihan yang digelar seadanya di sebuah sudut kota. Tak ada pendingin ruangan. Tak ada matras. Hanya ruang sempit berlantai keras, berlapis kerikil dan debu. Tapi di situlah, ia menemukan sesuatu yang selama ini belum pernah ia miliki: arah.

“Dulu saya tidak tahu harus bagaimana dengan semua energi saya. Taekwondo mengajari saya mengendalikannya,” kenangnya.

Alfons adalah anak yang cepat belajar. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyerap gerakan-gerakan dasar, lalu berkembang menjadi atlet remaja yang diperhitungkan. Ia berlatih keras. Lebih keras dari banyak teman sebayanya. Tapi kondisi di Kalimantan Timur tidak memanjakannya. Ia terbiasa menendang di atas lantai semen. Terbiasa jatuh tanpa pelindung tubuh. Terbiasa berdarah. Dan terbiasa bangkit.

“Kalau jatuh di latihan, rasanya lebih sakit dari pertandingan mana pun,” ucapnya sambil tersenyum, seolah sedang mengenang luka lama sebagai sahabat.

Nietzsche pernah menulis, "That which does not kill us makes us stronger." Yang tidak membunuhmu akan menguatkanmu. Kalimat itu, mungkin, ditulis untuk orang-orang seperti Alfons.

Dari kampung Longhubung, Mahakam Hulu, tiga hari tiga malam dari Samarinda dengan kapal sungai, Alfons muncul sebagai anak yang tak diundang dalam cerita besar. Tapi ia masuk dengan kakinya sendiri. Usia 15 tahun, finalis PON 1989, melawan Abdul Rozak, pemilik medali perak Asian Games Seoul 1986. Ia kalah, tapi tidak runtuh. Kekalahan, bagi Alfons, adalah jeda. Bukan akhir.

“Saya tahu saya kalah. Tapi saya juga tahu, saya bisa berdiri di level itu. Itu cukup buat saya terus maju,” katanya.

Alfons meraih medali perak, prestasi luar biasa untuk seorang remaja dari daerah. Kalimantan Timur bangga. Ia kalah, tapi ia tahu, kekalahan itu bukan titik akhir. Itu hanyalah tanda bahwa jalannya masih panjang.

Kehebatannya melawan taekwondoin yang sudah punya nama dan disegani di Indonesia, membuat namanya cepat tersebar. Alfons bagai kuda hitam di kelas bantam. Anak kemarin sore, yang membawanya terbang ke jakarta, dapat stempel baru: taekwondoin nasional!

Alfons menjadi atlet nasional di antara para senior. Ia tampil di kejuaraan-kejuaraan besar dan mulai dikenal di kalangan taekwondoin Indonesia. Dan, akhirnya, mengumpulkan banyak prestasi untuk dirinya, untuk daerahnya, dan terlebih untuk Indonesia.

“Saya memang diam, tapi saya selalu mencuri ilmu para senior,” Alfons mengakuinya.

Setiap atlet besar punya medan tempurnya sendiri. Medan Alfons adalah tanah keras Samarinda, peluh yang jatuh di atas kerikil, dan tekad untuk tetap berdiri meski tubuh tak lagi kuat. Ia bukan produk fasilitas. Ia adalah anak dari disiplin. Ia tumbuh dari rasa ingin tahu yang dibingkai oleh rasa tanggung jawab. Dan di atas semua itu, ia dibesarkan oleh satu hal yang tidak bisa dibeli atau diturunkan: cinta.

Alfons datang dari Longhubung, sebuah kampung di Mahakam Hulu, yang letaknya jauh melebihi batas peta turistik. Untuk mencapainya dari Samarinda, diperlukan waktu tiga hari tiga malam naik kapal, menyusuri sungai yang mengular seperti urat panjang Kalimantan. Dari tempat sejauh itu, ia melangkah ke Jakarta, bukan dengan bahasa Indonesia yang lancar, tapi dengan tubuh yang tegap dan tekad yang diam-diam mengguncang.

Di awal, ia lebih banyak diam. Bukan karena takut, tapi karena bahasa yang tersangkut di kerongkongannya. Tapi di atas matras, tubuhnya bicara. Di atas matras, tak perlu banyak kata untuk jadi disegani.

Naik Podium, Membayar Janji

Ada yang tidak pernah hilang dari ingatan Alfons T. Lung: bau karpet gedung pertandingan yang khas, sorot lampu stadion yang membutakan mata, dan degup jantung yang berdetak pelan tapi dalam. Saat itulah ia tahu, bukan hanya tubuhnya yang akan bertarung. Tapi juga jiwanya.

Tahun 1994. Hiroshima, Jepang. Asian Games ke-12.

Di antara ratusan atlet dari puluhan negara, Alfons berdiri membawa nama Indonesia. Ia turun di kelas bantam putra taekwondo, nomor yang waktu itu masih asing bagi Indonesia dalam hal prestasi. Tapi tak ada rasa gentar di matanya. Ia datang bukan sekadar untuk bertanding. Ia datang untuk membayar utang, kepada semua peluh yang telah menetes di atas semen Samarinda, kepada semua luka yang pernah mengajarkannya menjadi kuat, dan kepada Tanah Air yang ia cintai dalam diam.

“Waktu saya berdiri di matras di Hiroshima, yang saya pikirkan cuma satu: saya harus menang. Bukan demi saya. Tapi demi semua yang saya wakili,” ucapnya, mengenang.

Langkahnya di pertandingan itu seperti arus sungai yang tenang di permukaan tapi deras di dalam. Ia melangkah satu per satu, menang dalam laga-laga awal. Setiap kali peluit berbunyi, tubuhnya bergerak seperti mesin yang sudah disetel bertahun-tahun. Tendangannya presisi. Fokusnya tajam. Sampai akhirnya, ia berdiri di final, melawan atlet tuan rumah. Sebelumnya, yang dihadapi adalah taekwondoin tuan rumah Hironobu Yamashita.

Ia tak gentar. Telapak kakinya terkelupas. Luka parah. Hingga untuk berdiri, rasanya perih. Di sampingnya, selalu ada Dirc Richard, seniornya yang berasal dari daerah yang sama, yang diakuinya selalu membantu langkahnya ke Jakarta, dan hingga ia berprestasi. 

Freddy Pangkey, manajer tim Indonesia saat itu, meyakini Alfons akan masuk final. Sebab, Alfons diakuinya sebagai taekwondoin yang tahan banting dan punya mental luar biasa.

“Alfons itu atlet yang gigih. Sudah kelihatan sejak mengikuti Pelatnas. Ia berani melawan siapapun. Gak peduli lawan dari Korea yang menjadi momok para taekwondoin dunia, Alfons maju terus, meski kalah ya gak apa-apa,” kenang Fredy lagi.

Dan, saat berdiri di atas matras final, dua telapak kaki Alfons masih luka. Tapi di depannya, sudah ada lawan yang harus dihadapinya. Lawan itu adalah Tran Quang Ha dari Vietnam. Ia kalah tipis. Tapi di podium, ketika kalung medali perak itu menyentuh dadanya, tidak ada rasa kecewa. Justru, ada perasaan lain yang jauh lebih besar: lega.

“Rasanya seperti saya baru saja menggenapkan sebuah janji lama,” katanya.

Janji itu dibuatnya sendiri, bertahun-tahun sebelumnya, ketika pertama kali ia jatuh dan menangis saat latihan. Waktu itu ia bersumpah akan membuktikan bahwa anak dari Kalimantan Timur bisa berdiri sejajar dengan siapa pun. Bahwa ia bisa mewakili Indonesia dengan kepala tegak.

Dan hari itu, di Hiroshima, ia bukan hanya mewakili anak Kalimantan Timur, tapi Indonesia. Ia menorehkan sejarah. Alfons T. Lung merebut perak, mewakili perjuangan seorang remaja dari Kalimantan Timur. Tidak ada teriakan bombastis di media. Tidak ada arak-arakan di jalan. Tapi ia tahu: sejarah tidak selalu ditulis dengan sorak. Kadang ia hanya perlu satu langkah berani dan satu hati yang teguh.

Tahun 2008, empat belas tahun setelah podium Hiroshima, ia kembali tampil di hadapan ribuan orang. Kali ini bukan sebagai atlet. Tapi sebagai pembawa api obor PON XVII di Samarinda. Ia berlari membawa nyala, menyusuri stadion yang bersorak. Api itu menyala terang. Dan Alfons berlari dengan langkah mantap, seolah mengatakan bahwa seluruh perjuangan dari kerikil itu telah sampai pada titik terang.

Hari itu, untuk pertama kalinya, api di tangannya sama terang dengan api di dadanya.

Menyalakan Api, Menanam Benih

Ketika banyak atlet menggantung sabuk dan membiarkan masa lalu membeku dalam lemari kaca, Alfons T. Lung justru memutuskan untuk tetap tinggal. Ia tahu: sabuk bisa dilipat, seragam bisa disimpan, tapi jiwa pejuang tidak pernah pensiun.

Tahun 2002, Alfons menanggalkan statusnya sebagai atlet aktif. Tapi sehari setelah itu, ia bangun pagi seperti biasa, mengenakan dobok putih, dan menuju lapangan latihan di Samarinda. Kini bukan lagi untuk dirinya. Tapi untuk orang lain. Untuk anak-anak yang baru belajar menendang. Untuk remaja-remaja yang belum tahu arah. Untuk sebuah keyakinan bahwa Taekwondo, seperti api kecil dalam sekam, harus terus dijaga agar tak padam.

“Kalau saya tidak lanjutkan, siapa lagi?” katanya, lirih.

Ia tidak sendirian. Di sisinya ada seorang perempuan yang juga mengenakan sabuk hitam: Eny Pangestu Lung Beraan, istrinya, mantan atlet taekwondo juga. Bersama, mereka mendirikan sebuah klub kecil. Bukan akademi megah. Bukan gedung luas. Tapi ruang sederhana yang cukup untuk menampung semangat dan tawa anak-anak.

Ia juga sesekali membantu di Smart Taekwondo Club, klub yang dipimpin sang istri, yang kini menjadi pelatih di SKOI (Sekolah Khusus Olahragawan Internasional) Kalimantan Timur.

“Melatih anak-anak itu semacam refresher buat saya,” kata Alfons. “Saya bisa bercanda dengan mereka, belajar sabar, dan di tengah itu semua, saya sedang memperkenalkan dunia yang pernah menyelamatkan saya dari kenakalan.”

Alfons dan Eny berbagi tugas. Ia melatih anak-anak TK hingga kelas 4 SD. Istrinya menangani kelompok usia lanjut. Mereka tahu benar, kekuatan sejati bukan dibentuk dalam pertandingan besar, tapi dalam latihan kecil yang konsisten.

Sejak gantung sabuk pada 2002, Alfons tidak pernah benar-benar berhenti. Ia terus melatih. Tapi bukan untuk atlet elite.

“Saya memang nggak ngelatih atlet elite. Mereka butuh fokus penuh, waktu yang besar. Saya sekarang lebih pilih melatih anak-anak kecil. Saya suka energi mereka. Dan jujur, saya merasa lebih berarti di situ.”

Hari ini (4/5/2025) pun, ia baru saja memimpin ujian kenaikan tingkat taekwondoin se-Kota Samarinda. Ia juga rajin masuk ke sekolah-sekolah untuk memperkenalkan taekwondo sejak dini.

“Taekwondo sudah kasih yang terbaik buat saya. Jadi sekarang, saya ingin balas. Saya memperkenalkan taekwondo ke anak-anak. Supaya mereka juga bisa merasakan arah, seperti saya dulu.”

Kahlil Gibran menulis, “Your children are not your children. They are sons and daughters of Life’s longing for itself.” Mungkin begitu pula dengan murid-murid Alfons. Mereka bukan replika dirinya. Tapi bagian dari api yang ia jaga, ia nyalakan, dan ia teruskan.

Kini, ia menjabat sebagai Ketua Bidang Pembinaan Prestasi KONI Kalimantan Timur (periode 2022–2026). Ia juga menyelesaikan studi S2 Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Mulawarman (Unmul), bukti bahwa cinta pada olahraga tak menutup semangat belajar.

Tapi jiwanya tetap tertambat di dojang, di lantai latihan sederhana, tempat suara sorak anak-anak lebih nyaring dari stadion mana pun.

“Saya nggak mau cuma punya cerita tentang medali. Saya pengen punya cerita tentang manusia yang saya bantu berdiri.”

Ia tidak sibuk mencetak juara dunia. Tapi bukan berarti ia menganggap remeh podium, atau momen ketika tangannya bersalaman dengan presiden, sebuah kehormatan yang hingga kini tetap ia simpan dalam ingatan sebagai lambang kerja keras dan dedikasi.

Tapi bagi Alfons, ada kehormatan lain yang tak kalah agung: ketika seorang anak, yang semula rapuh, belajar berdiri setelah jatuh.
Karena medali bisa berkarat, foto dengan presiden bisa pudar, tapi karakter yang ditempa dalam kejatuhan, itulah yang akan tinggal lebih lama dari segalanya.

“Saya ditempa bukan untuk menang, tapi untuk jadi manusia,” ujarnya. “Sekarang, saya ingin membentuk yang lain bukan sekadar jadi juara, tapi jadi manusia yang tahu cara berdiri ketika jatuh.”

Kini, api itu perlahan menjalar ke generasi berikutnya: Sheila Alvira, anak sulungnya. Sheila tidak memilih kyorugi seperti ayah dan ibunya, tapi poomsae, jalur yang menuntut ketenangan, presisi, dan keseimbangan gerak.

“Sheila itu tenang. Geraknya rapi. Bakatnya besar di poomsae. Dia lebih sabar dari saya waktu kecil,” ujar Alfons, bangga tapi juga takjub.

Ia tidak bertarung dengan pukulan, tapi dengan harmoni. Tidak menyerang, tapi menampilkan. Dan Alfons tahu, bentuk boleh berbeda, tapi nyalanya tetap sama.

“Setiap anak menyalakan apinya sendiri. Tugas kita menjaga agar tidak padam,” tulis Rumi.

Di usia yang tidak muda lagi, Alfons masih turun ke matras. Bukan untuk bertanding, tapi untuk memberi contoh. Tubuhnya memang tak lagi sekuat dulu, tapi tatapannya masih setajam ketika di Hiroshima. Langkahnya mungkin melambat, tapi semangatnya justru lebih membara.

Kini ia bukan lagi petarung tunggal. Ia pelatih, penggagas, pembina, sekaligus ayah, bagi Sheila, dan bagi ratusan anak-anak kecil yang mulai mengenal dunia lewat tendangan pertama mereka.

Dan seperti api yang dulu ia bawa di tangan saat menyulut obor PON, kini api itu ia bawa dalam hati. Ia nyalakan di dada anak-anak yang ia latih. Satu per satu. Pelan-pelan. Tapi pasti.

Karena api sejati tidak pernah padam. Ia hanya berpindah tangan.


APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!