Legenda Karate Indonesia Umar Syarief: Jadi Atlet Itu Enaknya Apa Sih?

Ludus01

Jadi Atlet Itu Enaknya Apa Sih?

Pertanyaan itu sering terdengar ringan, tapi sesungguhnya menggigit: jadi atlet itu enaknya apa sih?

Sebagian orang mungkin langsung menjawab dengan dua hal. Pertama, soal kesehatan. Menjadi atlet berarti tubuh terjaga karena terbiasa menjalani latihan fisik yang rutin, disiplin, dan terukur. Kedua, tentu saja soal bonus. Di ajang sebesar Pekan Olahraga Nasional (PON) misalnya, bonus mentas untuk juara satu bisa mencapai Rp30 juta—tergantung daerah. Belum lagi bonus utama yang kerap berkisar antara Rp250 hingga Rp350 juta. Jumlah yang jelas menggiurkan, apalagi di tengah realitas hidup yang tidak selalu ramah bagi banyak anak muda.

Namun, persoalan sebenarnya bukanlah pada bonus itu sendiri. Persoalan muncul ketika banyak orang hanya melihat olahraga dari sisi hadiah semata. Mereka bermimpi jadi juara hanya karena ingin mendapat uang, tanpa benar-benar memahami proses panjang yang harus ditempuh. Seolah kemenangan adalah tiket sekali jalan menuju kesejahteraan, padahal di balik itu ada kerja keras, disiplin, dan konsistensi yang nyaris tanpa jeda.

Perbedaan pola pikir inilah yang kerap membedakan atlet kita dengan atlet luar negeri. Di sana, seorang atlet berkata, “I must train”—saya harus berlatih. Kesadaran itu lahir dari dalam dirinya sendiri. Sementara di sini, masih banyak yang berangkat dengan pola pikir “You must train”—seolah hanya bergerak ketika ada dorongan dari luar. Juara terasa seperti kewajiban bagi orang lain, bukan kesadaran untuk dirinya sendiri.

Padahal kemenangan sejati tidak pernah datang dari dorongan eksternal belaka. Ia lahir dari kesadaran terdalam seorang atlet: bahwa dirinya ingin tumbuh, berkembang, dan menaklukkan batas-batas personal. Dalam arti itu, kemenangan adalah hadiah untuk dirinya sendiri, bukan sekadar pembuktian bagi penonton, sponsor, atau negara.

Kita sering terjebak pada mentalitas instan. Ingin cepat juara, ingin cepat terkenal, ingin cepat sejahtera. Padahal olahraga justru menuntut yang sebaliknya: kesabaran yang panjang, disiplin yang tak putus, pengorbanan yang kadang menyakitkan. Sebuah jalan sunyi yang jarang disadari orang banyak.

Seorang pelatih tua pernah berkata, “Olahraga adalah seni menunda kesenangan.” Ada hari-hari ketika teman sebaya bersenang-senang, sementara seorang atlet justru berlari di lintasan atau mengulang ratusan kali gerakan yang sama di lapangan. Ada momen ketika tubuh terasa remuk, tapi esoknya harus kembali bangun untuk latihan. Semua itu tidak kasatmata bagi publik, yang hanya melihat hasil akhir: podium, medali, atau angka di papan skor.

Karena itu, pertanyaan “jadi atlet itu enaknya apa sih?” mungkin justru perlu dibalik. Bukan tentang enaknya, melainkan tentang makna yang bisa diperoleh. Menjadi atlet adalah tentang belajar konsistensi. Tentang keberanian menghadapi rasa sakit, bukan menghindarinya. Tentang menerima bahwa proses lebih penting daripada hasil.

Kemenangan hanya milik mereka yang mau berproses. Ia adalah buah dari kerja keras, disiplin, dan konsistensi. Dan semua itu menuntut pengorbanan serta pengabdian. Bonus, popularitas, atau penghargaan hanyalah tambahan. Karena pada akhirnya, dalam olahraga—seperti juga dalam hidup—hasil tak pernah mendahului proses.

Umar SyariefPeraih 12 Medali Emas SEA Games/Peraih 7 Medali Emas PON/Legenda Karate Indonesia

*Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi ludus.id

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!