Lima Atlet Terpilih, Lima Arena, dan Olahraga yang Tak Mereka Menangkan, Tapi Menguatkan Jiwa Sang Juara
Ludus01

"Tubuh bukanlah benda, melainkan sebuah situasi: ia adalah cara kita merengkuh dunia dan sketsa dari tujuan hidup kita."
-- Simone de Beauvoir --

Foto/Instagram/Daniel Wenas/Dok.Siman Sudartawa/Roy haryanto/Dok.Sean Gelael/Dok.Seraf Naro
Tubuh atlet adalah kontradiksi yang terus-menerus ditarik antara kebebasan dan disiplin. Ia hidup dari target, dilatih untuk capaian, dibentuk oleh pelatih, dan diuji oleh detik. Seolah tubuh mereka hanya sah jika menuju kemenangan. Setiap sendi ditempa untuk satu fungsi: berlari, melompat, menyelam, mencetak, atau bertahan. Tubuh atlet adalah tubuh yang terprogram.
Namun apa jadinya jika tubuh yang diciptakan untuk satu medan justru jatuh cinta pada medan lain?
Ada pertanyaan yang kerap tak diajukan karena terlalu sepele, atau terlalu dalam: mengapa atlet yang telah juara, telah terkenal, justru memilih berlatih sungguh-sungguh di cabang olahraga lain, yang tak memberinya medali, bonus, atau gelar?
Bukan sekadar iseng. Bukan pelarian dari cedera. Tapi sebuah kesetiaan pada gerak yang lain. Gerak yang tak menjanjikan sorotan, tapi memberi ruang bernafas. Gerak yang tidak mengharuskan menang, tapi memungkinkan tubuh merasa hidup kembali.
Di sela pemusatan latihan nasional, jeda turnamen, atau waktu-waktu luang lainnya, lima atlet Indonesia, melakukan sesuatu yang mengejutkan: berolahraga di luar cabang utama mereka. Bukan sekadar untuk menjaga kebugaran. Tapi untuk menemukan ulang tubuh mereka.
Mereka tidak sedang berpindah profesi. Mereka hanya menyelinap sejenak dari medan utama. Dari rutinitas yang sangat ketat. Masuk ke olahraga yang tak menuntut mereka juara. Tapi justru, di sanalah mereka mungkin menjadi lebih bebas. Lebih jujur. Dan lebih utuh.

Foto/Instagram/Daniel Wenas
Daniel Wenas, point guard flamboyan dari Bali United, memilih golf, olahraga yang mengajarkan kepelanan. Ia pernah menulis: “When you stop expecting and start accepting, serenity.” Mungkin, ketenangan adalah kunci bagi seorang pengatur serangan. Di tengah tekanan, ia belajar meletakkan ambisi, lalu menyesuaikan ayunan.

Foto/Dok. Siman Sudartawa
I Gede Siman Sudartawa, perenang dengan 13 medali SEA Games, justru merasa tubuhnya paling hidup saat bermain basket. Di sana, ia bisa berlari, menembak, dan bergerak dengan dua tangan dua kaki seimbang. “Koordinasi badan juga dapat,” katanya. Kadang ia juga bermain sepak bola, kadang padel, tapi basket adalah rumah keduannya.

Foto/Instagram/Rio Haryanto
Rio Haryanto, satu-satunya pebalap Indonesia di Formula 1, kini sering terlihat mengayuh sepeda dengan latar pemandangan yang indah, atau memukul bola golf. Ia menulis: “The only limit you have is yourself.” Tidak ada suara keramaian. Tidak ada podium. Tapi justru di sana, tubuhnya menemukan bentuk lain dari ketepatan: ketenangan.

Foto: Jagonya Ayam Motorsport
Sean Gelael, pebalap endurance yang mengarungi sirkuit-sirkuit dunia, justru merasa lebih utuh ketika bermain bulu tangkis, basket, golf, atau bersepeda. Ia menulis: “one more push for the season…” sambil mengayuh di tanjakan. Dalam diam, ia tahu: tak semua kecepatan butuh suara mesin.

Foto/Dok. Seraf Naro
Seraf Naro Siregar, petarung wushu dan peraih medali Asian Games, menemukan dirinya dalam sepak bola, atau futsal dan bulu tangkis. Ia bilang, “saya suka olahraga yang melibatkan speed, power, kelincahan, refleks.” Tapi lebih dari itu, ia mencintai bunyi smash, satisfying, katanya. Seperti tubuh yang diajak berdansa, tanpa koreografi.
Tak ada dari mereka yang mencari kemenangan di olahraga kedua itu. Tapi mungkin, dari sanalah kemenangan yang lebih jernih muncul. Kemenangan melawan kejenuhan. Kemenangan atas tekanan. Kemenangan menjaga tubuh sebagai tempat tinggal, bukan sekadar alat produksi.
Karena mungkin, seperti kata de Beauvoir: "Tubuh bukanlah benda, tapi situasi, sketsa dari rencana hidup."
Dan bagi lima atlet ini, olahraga yang tak membawa mereka ke podium, justru memerdekakan.
Tulisan ini lahir bukan hanya sebagai narasi olahraga. Ia adalah bentuk penghormatan. Penghormatan kepada lima atlet Indonesia yang telah membanggakan negeri ini, dengan catatan prestasi yang nyata, dengan dedikasi yang tak banyak diketahui, dan dengan kesetiaan pada cabang-cabang olahraga yang mereka pilih di luar medan juara.
Dan di antara kesibukan mengejar podium juara, mereka menyisihkan waktu untuk bermain. Bukan ikut-ikutan tren. Bukan demi skor. Tapi demi keseimbangan. Demi tubuh yang tak melulu diperintah, tapi juga didengarkan.
Inilah kisah tentang lima atlet Indonesia: yang berprestasi di satu cabang, namun diam-diam jatuh cinta pada olahraga lain.
Tak untuk menang. Tapi untuk menemukan kembali diri mereka sendiri.
Berikut lima nama, lima juara, lima tubuh yang setia pada cabang utamanya, tapi memilih jatuh cinta diam-diam pada yang lain.
Daniel Wenas: Golf dan Ritme Baru Seorang Juara

“When you stop expecting and start accepting, serenity ✨”
“Self love is the best love.”
-- Daniel Wenas, dalam dua unggahan di instagramnya, saat bermain golf --
Tubuh seorang atlet adalah medan tempur. Ia dicintai publik ketika menang, dipaksa bangkit ketika kalah, dan jarang diberi waktu untuk sekadar diam. Tapi Daniel Wenas, salah satu pebasket terbaik di liga Indonesia, tahu bahwa tubuh bukan mesin: ia butuh ruang untuk bernapas, untuk pulih, untuk kembali merasa cukup.
Lahir 8 Agustus 1992, Daniel tumbuh di bawah bendera basket. Ia masuk tim junior sejak usia 13 tahun, menembus Pelita Jaya, memperkuat Garuda Bandung, lalu kembali lagi ke Pelita Jaya dan kini menjadi Point Guard andalan Bali United Basketball Club sejak 2020. Ia juga sudah mencicipi kompetisi di timnas, baik junior maupun senior. Seorang atlet yang merasakan podium juara, veteran liga, pemimpin lapangan.

Foto/Instagram/Daniel Wenas
Namun, di balik karier yang penuh lonjakan itu, Daniel diam-diam merangkul sunyi. Ia mulai bermain golf. Bukan sebagai tren gaya hidup. Tapi sebagai praktik diam yang menjauh dari papan skor dan sorak penonton.
Apa yang ditemukan Daniel di padang golf?
Ia tak sedang mencari lawan. Ia sedang bertemu dirinya sendiri.
“Self love is the best love,” tulisnya, sebuah pengakuan yang sederhana tapi jarang diucapkan atlet. Karena di dunia olahraga kompetitif, mencintai diri sendiri sering dianggap kelemahan.
Tapi di lapangan golf, Daniel belajar: menerima bukan kalah. Dan berhenti mengejar bukan berarti menyerah. Ia mengganti grip, membaca arah angin, melatih pukulan demi pukulan. Golf membuatnya memeluk tubuhnya sendiri, bukan sebagai alat produksi angka, tapi sebagai ruang yang patut dijaga.

Foto/Instagram/Daniel Wenas
Mungkin itu makna terdalam dari “serenity”: keadaan ketika kita berhenti membuktikan sesuatu, dan mulai mempercayai bahwa cukup adalah bentuk kemenangan yang lain.
Secara teknis, golf memang tidak identik dengan basket. Tapi secara emosional, ia menjadi penyeimbang. Golf melatih presisi. Basket melatih refleks. Golf mengasah kesabaran. Basket menuntut kecepatan. Namun dari keduanya, Daniel sepertinya mendapatkan sesuatu yang sama pentingnya: kesadaran terhadap tubuh dan keputusan.
Ia jadi pemain yang lebih jernih saat tekanan datang. Ia lebih tenang membaca situasi. Lebih lentur menahan emosi. Golf tidak membuatnya mencetak lebih banyak poin, tapi membuat setiap poin terasa lebih sadar.
Ia tidak bermain untuk menang cepat. Ia bermain untuk bertahan lebih lama.
Banyak atlet gagal bukan karena kalah, tapi karena tak mengenali batas dirinya. Daniel, dengan caranya yang pelan dan pribadi, memilih menjauh sejenak dari keramaian itu. Golf, agaknya, menjadi tempatnya belajar menerima, bukan menyerah. Belajar mencintai, bukan membandingkan. Belajar hadir, bukan terburu-buru.
Karena untuk mencintai kemenangan, kadang kita harus terlebih dulu mencintai diri sendiri, dalam ayunan lambat, dalam rumput yang basah oleh embun pagi.

Foto/Instagram/Daniel Wenas
Daniel Wenas masih bermain basket, masih mengejar piala. Tapi kini ia tahu: tubuh juga perlu dipulangkan ke tempat yang lebih teduh. Dan dari padang golf, ia, sepertinya, membawa pulang sesuatu yang tak bisa dibeli: ketenangan yang lahir dari penerimaan.
Tak semua kemenangan dicapai dengan sorak. Kadang ia muncul dari kesunyian yang tidak dilihat siapa-siapa, tapi dirasakan dengan utuh oleh yang menjalaninya.
I Gede Siman Sudartawa: Ketika Tubuh Ingin Bergerak Bebas

“Bagaimana jika tubuh bukan semata alat untuk menang, tapi justru ruang di mana kita belajar tentang arti kebebasan?”
Tubuh I Gede Siman Sudartawa dibentuk oleh air. Ia hidup di kolam. Sejak belia, setiap tarikan napas, denyut nadi, dan kontraksi ototnya terukur dalam satuan detik, bukan hari, bukan bulan. Ia bukan sekadar perenang. Ia raja gaya punggung Asia Tenggara.
Namanya meledak di SEA Games 2011, di mana ia menyapu bersih empat medali emas. Sejak itu, ia tak pernah absen dari pelatnas. Ia, bukan lagi sekadar perenang biasa. Ia adalah ikon gaya punggung Indonesia, yang telah meraih total 16 medali SEA Games: 7 emas, 6 perak, dan 3 perunggu, sejak debut di SEA Games 2011. Ia juga menjadi atlet utama Indonesia di renang gaya punggung putra, termasuk tampil di Olimpiade London 2012 sebagai pembawa bendera dan menorehkan pencapaian langka sebagai semifinalis Kejuaraan Dunia FINA 2017 untuk nomor 50 meter gaya punggung, capaian pertama untuk perenang Indonesia.

Foto/Dok. Siman Sudartawa
Sekarang, ia telah kembali masuk pelatnas untuk memperkuat tim menuju SEA Games 2025 di Thailand. Ekspektasi besar melekat padanya, emas adalah target yang selalu dibebankan.
Tetapi di tengah kekangan target itu, Siman ternyata menyimpan ruang lain dalam tubuhnya. Ruang yang hanya diakses saat pemusatan latihan nasional berakhir, saat tubuhnya tak lagi diukur oleh stopwatch, tapi oleh kebebasan.
Dan, di balik tubuh yang terus dibentuk untuk menang, Siman menyimpan kebutuhan lain yang lebih sunyi: keinginan untuk bergerak tanpa stopwatch, tanpa lintasan delapan jalur, tanpa batasan teknik renang yang itu-itu saja.
Dan di sinilah cerita itu mulai bergeser. Ia bermain basket.

Foto/Dok. Siman Sudartawa
Di lapangan, tak ada medali. Tak ada rival negara tetangga. Tak ada pelatih yang mencatat split time. Yang ada hanya bola, keringat, dan koordinasi gerak yang membuat tubuhnya seperti menari. Selebihnya, tertawa bersama.
Pada posting Instagram-nya tanggal 10 Oktober 2024, ia menulis:
“Main basket....”
Dua kata singkat. Namun gambarnya mengisyaratkan makna yang lebih besar, kebahagiaan yang datang tanpa pelatnas, tanpa target, tanpa beban.
Siman serius bermain basket. Ia bermain bersama teman-temannya, biasanya sesama perenang. Ia melatih dribble menggunakan tangan kanan dan kiri, berlari tanpa skor, melompat dengan riang.
“Paling suka basket… tangan sama kaki gerak semua. Lari, koordinasi badan juga dapat. Saat dribble bisa pakai tangan kanan dan kiri jadi balance.”
Ia juga sesekali bermain sepak bola, dan mencoba padel, tergantung jadwal dan teman. Namun, dari semuanya ia tegas: basket lah yang paling ia cintai.
Renang membesarkannya. Basket membebaskannya.
Di kolam, tubuh Siman dibentuk untuk efisiensi, ketepatan, kemenangan. Tapi di lapangan, ia dibebaskan menjadi manusia yang bermain hanya karena ingin.

Foto/Dok. Siman Sudartawa
“Basket buat saya ya refreshing. Tapi juga ngebangun.”
Di tengah tekanan target medali dan latihan keras, Siman tetap setia kepada renang. Tetapi ia juga setia kepada tubuhnya sendiri: dengan memberi ruang untuk jatuh cinta pada gerak lain, gerak tanpa skor, tapi penuh makna.
Rio Haryanto: Kecepatan, Keheningan, dan Jalan Pulang Sang Juara

“To go fast, you must first learn to go slow.”
-- tradisi Zen, dalam seni memanah dan hidup --
Ada kecepatan yang mengantar tubuh ke garis akhir. Ada pula keheningan yang mengantar jiwa pulang. Di antara keduanya, Rio Haryanto seperti sedang belajar berjalan ulang, dalam ritme yang lebih pelan, lebih manusiawi.
Dari Solo ia datang, lahir 22 Januari 1993. Pernah mengangkat nama Indonesia di ajang Formula 1, Rio Haryanto adalah pembalap yang kini menempuh lintasan lain, sebagai pengusaha, sebagai sosok yang mengerti bahwa kecepatan pun butuh jeda.
Ia pernah hidup dalam detik-detik yang sangat padat. Ketika satu kesalahan kecil berarti keluar dari sejarah. Rio adalah pebalap F1 pertama dari Indonesia, satu-satunya hingga musim 2025 yang pernah merasakan atmosfer jet darat sejati. Ia tampil untuk Manor Racing pada musim 2016, dan menjadi wajah Indonesia di antara para legenda dunia balap.

Foto/Instagram/Rio Haryanto
Kariernya dimulai sejak kecil. Juara Nasional Gokart Kelas Kadet 2002, lalu terus menanjak: juara Formula BMW Pasifik 2009, tampil di Formula Renault Asia, GP3, dan GP2 Series, jalur wajib menuju Formula 1. Setelah F1, ia tetap melaju: membalap di Le Mans Asia Series dan Blancpain GT World Challenge Asia bersama T2 Motorsports. Tak hanya pebalap, Rio juga kini membangun akademi dan tim, serta menjelma menjadi pengusaha yang paham bahwa karier tak selalu harus menanjak, yang penting, berjejak.
Namun di luar semua itu, ada satu dunia yang nyaris tak terdengar: dunia di mana Rio tidak sedang bersaing, melainkan menyepi dengan cara yang bergerak.
Jika kita menelusuri Instagram-nya, tak hanya foto mobil dan paddock yang muncul. Ada gambar sepeda yang menyusuri jalanan indah dengan latar gunung di Jawa Tengah. Ada stik golf yang ia ayunkan perlahan di bawah matahari pagi. Ada tubuh yang mulai bicara dengan alam, bukan stopwatch.
“Live your life.”
“The only limit you have is yourself.”
“Feeling good.”

Foto/Instagram/Rio Haryanto
Kalimat-kalimat itu bukan kutipan motivasi. Mereka adalah napas. Refleksi. Dan sejenis puisi yang tumbuh dari tubuh yang dulu terlalu lama dipaksa ngebut. Ia tak lagi menyebut soal kecepatan, jarak, atau siapa yang finish duluan. Karena kali ini, ia tidak sedang berpacu dengan siapa pun.
Sepeda dan golf, dua cabang olahraga yang kini mendominasi unggahannya, bukan sekadar aktivitas pengisi waktu. Mereka, sepertinya adalah cara baru Rio merawat tubuh dan ruang batin. Ia mengayuh bukan untuk melarikan diri, tapi untuk menyusuri ulang rasa syukur. Ia bermain golf bukan untuk menang, tapi untuk menyelaraskan kembali tubuh, tangan, dan pikiran yang pernah dipaksa terlalu presisi di balik kokpit sempit.
Tubuh manusia tak seperti mobil. Ia tidak bisa diganti suku cadangnya setiap kali rusak. Ia hanya bisa diajak berdamai. Dan itulah yang sedang Rio lakukan: berdamai dengan tubuh, dengan waktu, dan dengan dunia yang tak lagi perlu dikalahkan.
Berbeda dari lintasan sirkuit, sepeda membawanya pada tanjakan-tanjakan yang tidak perlu diserbu. Golf membawanya pada diam yang tak sunyi. Ia masih berkompetisi, tapi dengan dirinya sendiri. Bukan untuk jadi yang tercepat, tapi agar ia cukup kuat untuk tetap utuh.

Foto/Instagram/Rio Haryanto
Karena sesungguhnya, setelah kecepatan dan gemuruh itu berlalu, kita akan kembali mencari hal yang lebih hening: angin pagi, kaki yang masih sanggup mengayuh, dan hati yang tetap tahu ke mana arah pulang.
Rio Haryanto tak pernah benar-benar berhenti. Ia hanya berpindah jalur. Dari lintasan sirkuit ke lintasan batin. Dari tikungan cepat ke tikungan yang lebih lembut. Dan dari bendera start ke sebuah ruang yang tak butuh garis akhir.
Karena dalam hidup, podium tertinggi barangkali bukan tempat untuk berdiri, tapi keadaan di mana kita merasa: sudah cukup. sudah utuh. dan sudah pulang.
Rio Haryanto, sang juara, dan sang legenda balap Indonesia.
Sean Gelael: Tubuh yang Tak Pernah Netral

Mobil balap selalu punya gigi netral, tapi tubuh manusia tidak.
Tubuh yang tumbuh dalam kecepatan akan selalu menagih gerak. Bahkan ketika mesin telah dimatikan dan sirkuit ditinggalkan, tubuh masih mendengar gema lintasan. Ia tak bisa diam begitu saja.
Barangkali karena itu, Sean Gelael, salah satu nama paling penting dalam sejarah motorsport Indonesia, tak pernah benar-benar berhenti. Ketika musim balap selesai dan suara mesin redup, ia berganti sepatu. Bersepeda. Bermain basket. Bulu tangkis. Sepak bola. Golf. Lari. Bahkan selancar dan biliar.
Ia tidak sedang mengisi waktu. Ia sedang menghidupi tubuhnya kembali.
“Played a game, took some pics, danced (a lot)... oh and a win,” tulisnya di akun instagramnya, seusai bermain bulu tangkis.
“Privileged enough to share these moment with all of you and the love the fans gave. Love you all,” ia tulis setelah pertandingan basket, bersama publik yang menyambutnya bukan sebagai selebritas, tapi sebagai Sean Gelael yang hadir.
Dan mungkin dari semua olahraga itu, sepeda adalah yang paling mirip dengan hidupnya. Ia mengayuh menanjak. Menantang lintasan tanpa bendera finis. Dalam salah satu unggahan, menjelang musim balap, ia menulis:
“One more turn till Bahrain… one more push for the season…”
Satu putaran lagi. Satu dorongan lagi. Lalu kembali ke dunia di mana milidetik adalah segalanya.
Saya tidak pernah benar-benar diam. Bahkan saat libur, tubuh saya tetap ingin bergerak.”

Foto/Instagram/Sean Gelael
Lahir dari keluarga balap, Sean Gelael mungkin ditakdirkan untuk menginjak pedal sebelum ia mengenal alfabet. Ayahnya, Ricardo Gelael, adalah mantan pebalap nasional. Sejak kecil, lintasan adalah taman bermainnya. Dan bukan sembarang taman: Sean telah mencicipi mobil Formula 1 bersama Toro Rosso, menyelesaikan musim penuh di Formula 2, hingga kini menjadi andalan Indonesia di kejuaraan dunia FIA World Endurance Championship.
Ia pernah naik podium di Le Mans 24 Jam, lomba balap ketahanan paling prestisius di dunia, mencatat sejarah sebagai pebalap Indonesia pertama yang meraih podium di ajang legendaris itu.
Ia pernah melaju 320 km/jam di Monza, Spa, atau Silverstone, sendirian di dalam kabin berdengung. Tapi bahkan di sana, ia tahu: tubuh ini tidak bisa terus dipaksa menang. Ia butuh kalah. Butuh diam. Butuh bermain.
Tapi ada satu hal yang tak semua orang tahu: Sean tidak hanya hidup untuk balapan. Ia hidup untuk bergerak.

Foto/Instagram/Sean Gelael
“Waktu istirahat buat saya bukan berarti diam. Justru saat nggak balapan, saya ngejar yang lain, kadang sepeda, kadang basket, kadang bulu tangkis.”
Dan itu bukan sekadar hiburan. Sean bermain seperti atlet. Sepedanya bukan sepeda biasa. Ia gowes menanjak, diiringi detak jantung yang nyaris sama dengan tekanan race day. Ia juga bermain basket bersama komunitas atlet dan sahabat. Bukan iseng, tapi intens. Gerak yang ia pilih bukan untuk membakar kalori, tapi untuk menjaga tubuh tetap jujur.
Balapan adalah dunia yang presisi. Setiap milidetik dihitung. Setiap belokan harus dipelajari. Satu kesalahan kecil bisa berarti kecelakaan besar. Di dalam kokpit, Sean tak bisa bersantai. Ia tak bisa bermain. Ia hanya bisa bertahan.
Karena itu, ia menemukan pelampiasan di tempat lain: sepeda, basket, dan bulu tangkis.
Dan di situlah letak kebijaksanaannya: Sean tahu keseimbangan tidak datang dari kemenangan, tapi dari kerelaan untuk kadang kalah dengan sukarela.
Ada semacam kejujuran yang lahir dari tubuh yang sedang tidak mengejar apa-apa. Ia tidak terukur, tapi terasa. Ia tidak tercatat, tapi menetap.
Seperti ketika ia bermain bola dengan teman lama. Atau duduk di atas papan selancar, memeluk keseimbangan yang tidak bisa diajar oleh simulator F1.
Tubuh itu tidak dilatih untuk jadi juara. Tapi mungkin justru di sanalah, tubuh Sean menemukan dirinya sendiri.
Dalam dunia yang selalu menuntut hasil, gerak kadang jadi sekadar alat produksi. Tapi sepertinya Sean memperlihatkan hal yang lebih mendasar: bahwa gerak adalah cara manusia mengingat bahwa ia masih hidup. Dan hidup bukan soal menyalip orang lain, melainkan menemukan irama di mana tubuh merasa pulang.

Foto/Instagram/Sean Gelael
Karena podium bisa dicapai. Tapi ketenangan tak bisa dipacu. Ia hanya datang kepada mereka yang tahu kapan harus memperlambat.
Dan Sean Gelael, di balik helm karbon, strategi pit stop, dan angka-angka, telah memilih satu hal: Bahwa menjadi atlet sejati bukan soal terus menang. Tapi tentang tahu kapan tubuh perlu menari, jatuh, mengayuh, tanpa alasan selain rasa suka.
Seraf Naro Siregar: Di Antara Kecepatan, Dentuman, dan Ketepatan

“Bagi saya, kemenangan bukan hanya berdiri di podium, itu adalah bukti dari kedisiplinan yang tak terlihat, kerja keras yang tak disorot, dan pengorbanan yang tak dimengerti banyak orang.”
-- Seraf Naro Siregar --
Tak semua perjalanan menuju podium juara diwarnai gemuruh tepuk tangan. Sebagian justru dibentuk di jam-jam latihan yang tak tampak, dalam ketekunan yang hanya diketahui oleh tubuh itu sendiri.
Seraf Naro Siregar, lahir 17 September 2001, adalah satu dari sedikit atlet muda Indonesia yang mengukir prestasi internasional dari cabang yang tak banyak dimengerti awam: wushu. Ia meraih emas di Kejuaraan Dunia Wushu 2019 untuk nomor Duilian (beregu) bersama Edgar Xavier Marvelo dan Harris Horatius. Di Asian Games 2022, ia meraih perunggu untuk nomor Daoshu & Gunshu, kategori senjata, yang menuntut presisi, ritme, dan kelenturan yang ekstrem.

Foto/Dok. Seraf Naro
Namun yang menarik: di luar wushu, ia justru mendalami sepak bola dan bulu tangkis. Bukan hanya main-main sore atau unggahan estetis. Tapi latihan sungguh-sungguh, yang ia jalani sebagai bentuk keterlibatan fisik dan kesenangan personal.
“Bermain bola sama badminton itu hobi di luar wushu. Saya suka olahraga yang melibatkan speed, power, kelincahan, refleks… semuanya ada di dua olahraga itu,” tegasnya.
Di lapangan hijau, atau di garis servis, Seraf sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar hobi. Ia sedang menjaga keseimbangan batin. Ia mendengar tubuhnya butuh letupan, bunyi smash, sorak kecil kawan.

Foto/Dok. Seraf Naro
Seraf adalah tipe atlet yang membaca tubuhnya sendiri dengan jujur. Ia tidak terjebak pada kultus cabang tunggal. Ia tahu bahwa di balik keindahan loncatan wushu dan ketepatan pukulan sabuk pedang, tubuhnya tetap butuh variasi gerak.
Bola, smash, sprint, dan irama cepat permainan bulu tangkis, semuanya mengisi ruang-ruang kosong yang tak tersentuh dalam struktur latihan wushu. Bahkan, sejujurnya, ia mencintai bunyi pukulan shuttlecock yang baginya satisfying. Ada kebahagiaan sederhana di sana, yang tidak diukur oleh medali. Ia mengaku:
“Suara pukulan smash dari badminton, satisfying aja.”
Ada sesuatu yang mendalam dalam kalimat itu, bahwa suara, dentuman, dan sensasi tubuh tidak hanya dimaknai secara teknis, tapi juga emosional. Itu bukan pengalihan perhatian. Itu semacam kebahagiaan kecil yang menjaga batin atlet tetap menyala.
Dan memang, seperti ia katakan sendiri, pilihan dua olahraga itu bukan sekadar pengisi waktu. Sepak bola dan badminton, selain menyenangkan, juga memperkuat daya ledak, kelincahan, dan refleks. Semua itu adalah aset penting dalam wushu, yang sering hanya dipandang sebagai tarian kekuatan, padahal di baliknya adalah mikrodetik keputusan, keseimbangan tubuh, dan penguasaan napas.
Seraf, dalam diamnya, mengembangkan tubuhnya lewat cara yang tak konvensional: dengan mendengarkan apa yang dibutuhkan oleh dirinya sendiri, bukan hanya oleh cabangnya.
Bagi Seraf, kemenangan bukanlah pesta. Ia tidak merayakan hasil dengan fanfare, tidak mengharapkan riuh penonton. Karena baginya, podium hanya tampak dari luar, tapi yang paling ia rasakan adalah disiplinnya sendiri, pengorbanannya sendiri, ketekunannya sendiri.
“Aku tak butuh tepuk tangan, karena aku tahu sendiri bagaimana kerasnya aku berjuang dan berkorban untuk sampai di sini.”
Dan itulah sebabnya, ketika bermain bola, atau saat menunggu giliran servis dalam badminton, ia tidak pernah merasa sedang “meninggalkan” wushu. Ia sedang membentuk ulang wushunya lewat jalan yang berbeda.

Foto/Dok. Seraf Naro
Ia tetap seorang atlet wushu. Tapi ia juga seorang pencinta gerak.
Yang mengejar harmoni, bukan hanya kemenangan.
Di lapangan, ia tetap gugup. Tapi seperti ia akui, “rasa nervous itu selalu ada, dan saya yakin lawan juga merasakan hal yang sama.” Itulah mental yang dibentuk bukan semata oleh latihan teknik, tapi oleh olahraga-olahraga lain yang telah mengasah refleks, mendewasakan rasa, dan memperluas cakrawala tubuh.
Seraf Naro Siregar bukan hanya pejuang podium. Ia juga penjelajah keutuhan diri. Karena dalam hidup atlet, tubuh bukan hanya alat untuk menang, tapi wilayah untuk dijaga agar tak hilang arah.

Tak semua orang tahu: bahwa tubuh atlet bukan hanya benda yang dipacu, tapi juga rumah yang harus dijaga dari kebisingan ambisi. Di tengah gemuruh target, bonus, dan tekanan ekspektasi, mereka, Daniel, Siman, Rio, Sean, dan Seraf, memilih jalan lain. Jalan yang tak diberi medali, tak dibayar sorakan, tapi justru menyelamatkan jiwa mereka dari kehilangan arah.
Mereka bukan berpindah cabang. Mereka hanya menemukan cara untuk tetap mencintai gerak, ketika podium tak lagi cukup untuk memelihara semangat. Mereka tak meninggalkan gelanggang utama. Tapi mereka tahu: tubuh yang hanya diarahkan ke satu tujuan, perlahan bisa kehilangan rasa.
Maka mereka menepi. Lalu berlari. Bukan di trek utama, tapi di jalur berbeda. Bukan demi kecepatan, tapi demi keberanian menjaga kesenangan tetap menyala.
Daniel memeluk ketenangan golf sebagai pelengkap ledakan lapangan basket. Siman tahu tubuhnya butuh koordinasi baru. Maka ia memilih basket. Rio menemukan batas dirinya bukan di sirkuit, tapi di tanjakan tanpa suara. Sean menyadari kecepatan sejati kadang hadir dalam ayunan raket dan putaran pedal. Dan Seraf, si pendekar, membiarkan tubuhnya menari liar di lapangan sepak bola dan bulu tangkis.
Semua itu, mungkin tak memperbesar nama mereka. Tapi memperdalamnya. Makin mengokohkan sebagai atlet hebat di cabangnya masing-masing. Karena di olahraga yang mereka geluti, mereka bukan lagi wakil negara, bukan ikon prestasi. Mereka hanya tubuh-tubuh yang sedang mencari keseimbangan, agar bisa kembali ke medan utama dengan jiwa yang lebih utuh.
Dan anehnya, atau mungkin justru wajar, ketika mereka jujur mencintai gerak yang lain, industri pun mulai melirik. Brand melihat potensi. Sponsor membaca cerita. Karena keaslian selalu punya tempat di mata dunia yang lapar akan makna.

Mereka tak sedang mengiklankan sesuatu. Tapi tubuh yang bersenang-senang, yang tak sedang mengejar podium juara, justru menghadirkan narasi paling meyakinkan.
Di zaman performa, barangkali bermain adalah bentuk pembangkangan kecil. Bahwa tak semua gerak harus punya hasil. Tak semua latihan harus punya sasaran. Kadang tubuh hanya ingin merasa hidup. Dan itu pun sudah cukup.
Barangkali, podium paling jujur dalam hidup seorang atlet, bukanlah panggung yang ditinggikan, melainkan tubuh yang tak kehilangan cinta pada gerak itu sendiri.
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!