Lima Kata Candra Wijaya

Ludus01

"Kemenangan bukan sekadar garis akhir, melainkan perjalanan panjang yang ditempuh dengan peluh, sabar, dan hati yang tak pernah menyerah."

Foto/theworldgames.org

Foto/theworldgames.org

Indonesia kembali mengibarkan bendera di panggung olahraga dunia. Dari World Games Chengdu 2025, tiga medali emas dan 3 perak sudah diraih, dari riak air perahu naga hingga liukan indah Seraf Naro Siregar dari wushu. Prestasi ini mengingatkan bahwa kejayaan bangsa tak pernah lahir dari kebetulan, melainkan dari keberanian, tekad, dan disiplin tanpa henti. Nilai-nilai itu pulalah yang hidup dalam sosok Candra Wijaya, legenda bulutangkis yang hingga hari ini masih memberi napas perjuangan kepada generasi penerus.

Suara shuttlecock memecah udara. Tepat di tengah lapangan, sosok itu bergerak cepat, meski kalender hidupnya sudah hampir mencapai lima dekade. Menjelang usia lima puluh, 16 September nanti, langkah Candra Wijaya masih lincah. Raketnya terayun dengan presisi, matanya menyala seperti dua puluh lima tahun lalu, saat ia berdiri di podium Olimpiade Sydney 2000. Dalam bahasa fisik, mungkin waktu telah menambah gurat di wajahnya. Tetapi dalam bahasa batin, waktu justru mengasah kematangan yang tak tampak oleh mata, sebuah kekuatan yang lahir dari pengalaman, perjuangan, dan keyakinan teguh.

Seperti yang diungkapkan Hector Berlioz, “Waktu adalah guru yang hebat, tapi sayangnya membunuh murid-muridnya.” Mungkin kematangan batin adalah harta yang jauh lebih berharga daripada sekadar usia yang bertambah.

Kekuatan itulah yang Candra ringkas dalam lima kata sederhana namun sarat makna, yang belum lama ini ia bagikan di akun Instagramnya:

Berani. Nekat. Paksakan diri. Harus bisa. Jangan mau kalah.

Sekilas, terdengar seperti poster motivasi yang sering kita lihat di lorong sekolah. Tapi di mulut seorang juara dunia, lima kata itu adalah rangkuman puluhan ribu jam latihan, ratusan perjalanan, dan tak terhitung rasa sakit yang ditanggung demi satu tujuan: menang.

Candra berkata, “Tanpa keberanian, tanpa tekad, mustahil turun ke lapangan, bertanding, berkompetisi. Berani dan tekad mesti dibiasakan maksa diri. Kalau nggak maksa, nggak akan bisa. Kalau terus maksa, lama-lama BISA!”

Lima kata itu bukanlah sekadar jargon. Michael Jordan, legenda NBA, pernah mengatakan, “I can accept failure, but I can't accept not trying.” Baginya, keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, melainkan kemenangan atasnya, seperti yang juga pernah diingatkan Nelson Mandela. Serena Williams pun membawa keberanian bermain agresif meski tubuhnya nyaris menyerah demi mempertahankan dominasinya.

Nekat? Usain Bolt pernah nekat meninggalkan nomor 200 meter dan mencoba 100 meter, pilihan yang mengubah sejarah dunia sprint. Simone Biles pun mempertaruhkan reputasi dengan meluncurkan gerakan baru yang belum pernah diakui secara resmi, menunjukkan bahwa hidup memang tentang berani mengambil risiko, seperti yang diungkap Oprah Winfrey.

Foto/Instagram/Usain Bolt

Foto/Instagram/Usain Bolt

Paksakan diri, seperti Cristiano Ronaldo yang tetap menambah latihan setelah sesi resmi usai, atau Novak Djokovic yang disiplin menjalani diet dan pemulihan ekstrem demi ketahanan di turnamen panjang. Aristotle mengingatkan bahwa keunggulan bukan sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu yang dilakukan.

Harus bisa: Muhammad Ali menyebut dirinya “yang terhebat” sebelum dunia mempercayainya. Kobe Bryant menggemakan Mamba Mentality, keyakinan bahwa target bukan sekadar dicoba, melainkan harus dicapai. Ali pernah berkata, “Jangan hitung hari-harimu, buatlah hari-harimu berarti.”

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Dan jangan mau kalah: Michael Phelps memvisualisasikan kemenangan sebelum lomba, sedangkan Rafael Nadal menolak menyerah walau tertinggal jauh, membuktikan bahwa kemenangan terbesar adalah atas diri sendiri, seperti kata Plato.

Foto/olympic.com

Foto/olympic.com

Sydney, Jumat, 22 September 2000. Udara di Paviliun 3 Sydney Showground terasa tegang. Di depan ribuan pasang mata, Candra dan Tony Gunawan menghadapi Lee Dong-soo dan Yoo Yong-sung dari Korea. Gim pertama milik Indonesia: 15-10. Gim kedua hilang: 9-15. Final penentuan pun dimulai.

Foto/pbdjarum.org/AFP/ROBYN BECK

Foto/pbdjarum.org/AFP/ROBYN BECK

Keringat menetes. Shuttlecock melaju seperti peluru. Setiap reli adalah pertaruhan napas dan tekad. Skor menegang di awal, tapi kemudian Candra dan Tony membuka jarak. Sebuah smash lurus Candra menutup laga: 15-7. Raket terlempar ke udara. Mereka berpelukan. Tangis pecah di podium, emas Olimpiade melingkar di leher.

Saya berdiri di sana, menjadi saksi langsung detik-detik bersejarah itu, getaran kemenangan yang mengalir di udara, mengikat jutaan hati di tanah air. Momen ketika kerja keras, keberanian, dan tekad menjadi satu dalam satu detik yang tak terlupakan. Saya melihatnya, dan saya melaporkan lengkap, untuk Indonesia. Dan, saya ikut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya!

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Pepatah Ken Robinson bahwa “Sejarah tidak hanya ditulis oleh pemenang, tapi juga oleh mereka yang berani bertanding,” terasa sangat hidup di situ.

Candra sendiri adalah bukti. Medali emas Olimpiade 2000 bersama Tony Gunawan. Juara Dunia 1997 bersama Sigit Budiarto. Dua gelar All England, tiga Thomas Cup, enam Sudirman Cup, dan deretan gelar Open dari Asia sampai Eropa. Kini, ia menyalurkan semangat itu di Candra Wijaya International Badminton Centre di Serpong, sepuluh lapangan karet, tribun seribu lima ratus orang, gym, kolam renang, asrama, dan dirinya sendiri sebagai mentor.

"Kadang kita harus nekat memaksa diri, karena kalau menunggu nyaman, kesempatan itu keburu diambil orang lain," katanya sambil mengamati anak-anak berlatih.
Foto/Instagram Candra Wijaya

Foto/Instagram Candra Wijaya

Lima kata itu tak hanya milik juara dunia. Mereka milik pemain muda yang berlatih sendirian saat hujan deras. Milik pelari maraton yang tetap berlari meski kram di kilometer terakhir. Milik pesepakbola yang gagal penalti tapi kembali menendang di laga berikutnya.

Saat napas memburu, otot terbakar, dan pikiran berkata “cukup,” di sanalah juara lahir. Seperti kata Vince Lombardi, “Kesuksesan bukan milik yang terkuat, tapi milik mereka yang mampu bertahan saat terberat.”

Hidup, seperti pertandingan, tak selalu memberi kita hak memilih lawan. Tapi kita selalu bisa memilih sikap di lapangan.

Foto/Instagram Candra Wijaya

Foto/Instagram Candra Wijaya

Dan Candra, dengan lima katanya, mengajak kita untuk tidak sekadar bermain, tapi berjuang, sampai peluit terakhir berbunyi.

Di setiap langkah yang kita ambil, di lapangan, di arena hidup, atau di persimpangan pilihan, lima kata Candra mengingatkan kita bahwa kemenangan sejati bukan hanya soal medali atau trofi.

Ia tentang keberanian melangkah, keberanian gagal dan bangkit kembali. Tentang nekat mencoba saat semua terasa mustahil. Tentang memaksa diri untuk maju saat raga ingin berhenti. Tentang keyakinan bahwa kita harus bisa, meski suara ragu terus berdenting.

Foto/pbdjarum.org/AFP/ROBYN BECK

Foto/pbdjarum.org/AFP/ROBYN BECK

Dan yang terpenting: menolak menyerah, menolak kalah sebelum benar-benar mencoba. Karena hidup, seperti pertandingan, memberi peluang bagi mereka yang berani bertanding sampai peluit terakhir.

Mari jadikan lima kata itu bukan sekadar slogan, tapi denyut dalam nadi perjuangan kita sehari-hari:

Berani. Nekat. Paksakan Diri. Harus Bisa. Jangan Mau Kalah.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!