Lima Selebritas Taekwondo Indonesia: Dari Dojang ke Layar, dari Disiplin ke Imajinasi
Ludus01


"Mereka memulai dengan tendangan dan disiplin di atas matras. Kini, langkahnya menembus layar, panggung, bahkan politik. Inilah lima wajah taekwondo Indonesia yang mengubah gelanggang jadi ruang publik."

Grafis/Pipis Fahrurizal/LUDUS.id
Taekwondo sering kita kenal lewat bunyi hentakan kaki di matras, teriakan kihap yang membelah ruang, atau tubuh yang jatuh bangun mengejar poin. Tapi kisahnya tidak berhenti di gelanggang. Ada jalan lain yang kadang tak kita sangka: jalan menuju layar hiburan, dunia yang sama sekali berbeda, tapi diam-diam terhubung oleh sesuatu yang mendasar, disiplin tubuh dan jiwa.
Bruce Lee pernah berkata, “The successful warrior is the average man, with laser-like focus.” (Sang pejuang yang berhasil bukanlah sosok luar biasa, melainkan orang biasa dengan fokus yang setajam laser.)
Barangkali itulah yang menyatukan lima nama yang datang dari dojang, lalu melintas ke panggung hiburan Indonesia. Mereka bukan dewa, bukan pula mitos, melainkan orang-orang yang menemukan fokus dan ketekunan di tengah kerasnya latihan, lalu membawa itu ke ruang lain di luar arena.
Ada Aghniniy Haque, juara kyorugi yang terbiasa menantang lawan di arena, kini menyalurkan energi itu ke layar kaca sebagai model, bintang film, sekaligus figur publik yang memancarkan keteguhan yang lahir dari disiplin tanding.
Ada Dede Yusuf, bintang laga yang tubuhnya pernah berhadapan dengan kamera, kemudian dengan podium politik, hingga kini masih berdiri sebagai wakil rakyat, sebuah perjalanan panjang dari tanding, seni peran, hingga tata negara.
Ada Lamting, sosok yang lahir dari gelanggang, lalu menyeberang ke sinema dan mengisi layar dengan gerak yang nyata, bukan pura-pura. Ia membuktikan bahwa keindahan jurus bisa hidup kembali dalam adegan film, di balik sorot lampu dan skenario.
Ada Tya Ariestya, artis yang membawa taekwondo ke dalam ruang keluarga, bahkan mengajarkannya kepada putranya, seolah ingin mengatakan bahwa bela diri bukan hanya pertahanan diri, tapi juga warisan nilai.
Dan ada Yoseph Hungan, atlet tangguh yang menemukan dirinya di film laga bersama Barry Prima, membawa taekwondo yang keras dan otentik ke layar lebar, mengikat dua dunia: olahraga dan sinema.
Lima sosok ini berdiri di simpang jalan antara olahraga dan hiburan. Masing-masing membawa ceritanya, tapi benang merahnya jelas: taekwondo melahirkan disiplin, disiplin melahirkan daya hidup, dan daya hidup itu bisa menjelma ke ruang-ruang yang tak pernah kita bayangkan.

Mungkin inilah yang membuat taekwondo lebih dari sekadar olahraga. Ia adalah bahasa tubuh yang bisa ditafsirkan ke banyak bentuk. Dari arena penuh keringat, ke layar yang riuh oleh imajinasi. Dari keheningan latihan, ke sorotan kamera. Dari tubuh yang melawan tubuh, ke tubuh yang menyampaikan cerita.
Dan lima nama itu menjadi bukti, bahwa setiap tendangan dan tangkisan, jika ditempa dengan sepenuh hati, bisa melahirkan sesuatu yang melampaui dirinya sendiri.
Aghniniy Haque: Dari Matras Kyorugi ke Layar Hiburan

Tubuh yang pernah mengayun tendangan di arena kyorugi, kini hadir di layar perak. Aghniny Haque, nama yang dulu bergaung lewat teriakan kihap dan sorakan penonton, adalah potret tentang bagaimana seorang atlet dapat berubah wajah tanpa kehilangan jejak disiplin.
Nama Aghniniy Haque pertama-tama dikenang bukan di panggung hiburan, melainkan di arena taekwondo. Ia adalah salah satu taekwondoin putri Indonesia yang menekuni kyorugi, disiplin tarung yang keras dan penuh risiko. Keringatnya tercatat dalam sejarah. Dari gelanggang itu, publik mengenalnya sebagai atlet yang tangguh, terbiasa menghadapi lawan dengan keberanian yang dingin dan refleks yang terlatih.
Jejaknya di taekwondo jelas: perunggu di SEA Games 2013, perak di Kejuaraan Taekwondo Asia 2014, emas di Hong Kong Open, Thailand Open, dan Islamic Solidarity Games III. Di masa jayanya, ia bahkan masuk dalam enam besar dunia untuk kategori finweight –46 kg. Peta prestasi yang menegaskan: Aghniny bukan sekadar penggiat, melainkan petarung sejati.

Foto/Instagram/Aghniniy Haque
Namun, tubuh yang ditempa keras tak selalu abadi. Robekan meniskus di lutut memaksanya turun dari Pelatnas, dan dengan itu, sebagian mimpi berhenti di garis batas. Tetapi pintu lain terbuka: layar lebar. Dari film Wiro Sableng hingga KKN di Desa Penari, tubuhnya tetap berbicara, hanya dengan bahasa berbeda. Dari gerakan yang dulu dinilai juri, kini ia bergerak dalam sorot kamera, membangun karakter, menyalurkan energi disiplin yang sama, meski dengan bentuk yang lain.
Kamera televisi dan layar sinema menyambutnya dengan cara lain. Jika di gelanggang ia mengejar poin dan kemenangan, di layar ia mengejar ekspresi, membangun karakter, dan berbicara kepada penonton yang jumlahnya jauh lebih luas daripada tribun pertandingan.
Ia tampil di berbagai sinetron dan acara televisi, memperlihatkan sisi lain dari dirinya. Dari disiplin yang lahir di matras, ia menjelma menjadi figur publik yang luwes di depan kamera. Ada sesuatu yang berpindah, namun tidak benar-benar hilang. Disiplin, daya tahan, dan keberanian yang dahulu dipertajam di taekwondo, masih terlihat dalam cara ia membawa diri di dunia hiburan.

Foto/Instagram/Aghniniy Haque
Aghniniy Haque adalah contoh langka: seorang atlet bela diri yang pernah bertarung di level tinggi, lalu menyeberang ke layar hiburan tanpa kehilangan identitasnya. Dari setiap langkahnya, kita melihat bagaimana tubuh yang pernah menjadi alat untuk bertahan dan menyerang, kini menjadi medium untuk bercerita.
Ada ironi sekaligus kesinambungan di sana. Olahraga dan seni peran sama-sama menuntut presisi, pengendalian diri, dan keberanian menghadapi penonton. Perbedaan hanya terletak pada arena: di matras, tendangan adalah angka; di layar, tendangan adalah adegan.
Aghniny adalah cermin bahwa taekwondo tak berhenti di dojang. Ia bisa menjelma menjadi narasi lain, berpindah dari gelanggang ke panggung hiburan, dari medali ke film, tanpa kehilangan disiplin yang pernah menempanya.
Dede Yusuf: Dari Sabuk Hitam, Layar Laga, hingga Panggung Politik

Nama Dede Yusuf Macan Effendi sudah lama menjadi bagian dari ruang publik Indonesia. Banyak yang mengenalnya sebagai aktor laga era 1980–1990-an, wajah yang kerap muncul dalam film penuh adegan pertarungan. Sebelumnya, ia dikenal sebagai pemandu acara kuis Tak Tik Boom yang fenomenal. Namun di balik layar, Dede adalah seorang taekwondoin sejati, menyandang sabuk hitam dan ikut mengibarkan bendera Indonesia di kejuaraan internasional. Ia adalah bagian dari generasi yang memperkenalkan taekwondo sebagai olahraga prestasi di tanah air, menanamkan keyakinan bahwa bela diri Korea ini bisa berdiri sejajar dengan cabang olahraga lain.
Di atas matras, Dede belajar disiplin dan keberanian. Nilai-nilai itu kemudian membentuknya ketika memasuki dunia film. Gerakan yang ia tampilkan di layar bukanlah sekadar koreografi, melainkan cerminan dari latihan panjang sebagai atlet. Film-film yang dibintanginya, menjadikannya ikon generasi yang tumbuh bersama layar kaca Indonesia.

Namun perjalanan Dede tidak berhenti di sana. Ia kemudian melangkah ke dunia politik, dan sekali lagi, jejak taekwondo tetap menempel dalam dirinya. Tahun 2008, ia dipercaya mendampingi Ahmad Heryawan sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat, sebuah jabatan yang ia emban hingga 2013. Dari matras ke layar, lalu ke birokrasi pemerintahan, perjalanan itu seakan menunjukkan bahwa disiplin dan keberanian bisa menjadi modal dalam ruang apa pun.
Setelah selesai di eksekutif, Dede Yusuf tidak meninggalkan politik. Ia melanjutkan kiprahnya di legislatif, terpilih menjadi anggota DPR RI. Hingga kini ia masih aktif di Senayan, membawa suara rakyat sekaligus pengalaman panjangnya di tiga dunia: olahraga, hiburan, dan politik.

Sulit mencari sosok yang mampu menjembatani tiga panggung itu dengan konsistensi. Dede Yusuf membuktikan bahwa tubuh yang pernah terlatih menendang di atas matras bisa berdiri tegak pula di hadapan kamera, bahkan di ruang sidang parlemen. Dari sabuk hitam ke layar laga, dari sorot kamera ke ruang rapat politik, perjalanan hidupnya menyimpan kesinambungan: disiplin, keberanian, dan keteguhan yang tidak pernah hilang.
Lamting Saputra: Tubuh yang Menyimpan Dua Panggung

Nama Lamting Saputra mungkin kini lebih akrab disebut di ruang nostalgia. Namun tubuhnya pernah ditempa di gelanggang taekwondo, jauh sebelum ia berdiri di bawah sorotan kamera. Ia menyandang Dan IV Kukkiwon, sebuah tingkatan yang bukan hanya gelar teknis, tetapi tanda dari ribuan jam berulang menendang, menahan, menjaga ritme. Di arena kyorugi, ia bukan sekadar pengisi nomor, melainkan petarung yang tahu bagaimana membaca lawan, menahan nyeri, dan tetap tegak meski peluit wasit telah memotong napas. Medali perunggu di kelas 76 kilogram putra, ia kalungi dari The World Games 1989 di Karlsruhe Jerman.

Lalu, awal 1990-an, tubuh itu berpindah panggung. Tahun 1993 ia menutup babak sebagai atlet, dan membuka lembar baru sebagai aktor. Peralihannya tak pernah terasa sepenuhnya janggal. Kamera, seperti halnya lawan di matras, juga menuntut kesiapan, fokus, dan keberanian. Bedanya, jika di gelanggang ia mengejar poin, di depan kamera ia mengejar emosi.
Film laga menjadi ruang pertemuan yang paling wajar bagi seorang mantan atlet bela diri. Lamting hadir di layar lebar lewat “Saur Sepuh II: Pesanggrahan Keramat” (1988), dan kemudian di layar kaca lewat serial “Tutur Tinular”, memerankan Lou Shi Shan. Kedua panggung itu, arena pertandingan dan layar hiburan, saling berkelindan, karena keduanya sama-sama menuntut tubuh yang mampu bicara tanpa kata-kata.

Mungkin itulah yang membuat Lamting tetap dikenang. Ia bukan hanya aktor laga, melainkan aktor yang membawa keotentikan. Geraknya lahir dari latihan bertahun-tahun, bukan sekadar koreografi buatan sutradara. Ketenangan yang ia tampilkan di depan kamera adalah ketenangan yang pernah ia pelajari di tengah dentuman tendangan lawan.
Kini, nama Lamting tidak seramai dulu. Namun jejaknya menyimpan sesuatu yang jarang dimiliki: tubuh yang menyeberang dari dojang ke dunia hiburan, dari peluh pertandingan ke narasi film. Ia membuktikan bahwa antara gelanggang dan panggung layar, ada garis tipis yang menghubungkan, dan ia telah menyeberanginya dengan tegap.
Tya Ariestya: Tendangan yang Dibawa ke Rumah

Tya Ariestya dikenal luas sebagai artis sinetron, bintang iklan, dan wajah yang akrab di televisi. Namun jauh sebelum kamera menyapanya, ia adalah seorang taekwondoin. Sejak usia muda ia ditempa di dojang, belajar disiplin lewat tendangan dan latihan berulang. Ia pernah menjadi bagian dari tim nasional taekwondo Indonesia, turun di nomor kyorugi, dan menorehkan prestasi di berbagai kejuaraan.
Ia tidak datang ke taekwondo sebagai pengisi waktu semata, melainkan bertarung sungguh-sungguh hingga menembus level nasional. Tya pernah menjadi bagian dari tim taekwondo DKI Jakarta, bahkan ikut membela Merah Putih dalam sejumlah turnamen. Dunia yang menuntut keberanian berdiri di atas matras, menatap lawan, dan mengukur kekuatan diri. Dunia yang menuntut tubuh tidak sekadar lentur, tetapi juga siap menerima pukulan.

Foto/Instagram/Tya Ariestya
Taekwondo adalah rumah awalnya. Dari sana ia belajar ketahanan fisik, mental, sekaligus rasa percaya diri yang tak tergantikan. Tubuh yang dilatih untuk menendang, berputar, dan mengatur napas di tengah serangan lawan, ternyata juga menyiapkannya untuk dunia yang berbeda, dunia hiburan.
Ketika memasuki industri sinetron dan film, Tya membawa serta modal yang jarang dimiliki. Kamera mungkin menuntut ekspresi, namun di balik itu ada sesuatu yang lebih dalam: keberanian untuk tampil, ketenangan untuk menjaga emosi, dan disiplin yang tidak pernah lepas dari dirinya. Taekwondo, dengan cara diam-diam, hadir dalam tiap langkah kariernya.

Foto/Instagram/Tya Ariestya
Kini, Tya juga membagikan nilai-nilai itu kepada keluarganya. Ia memperkenalkan taekwondo kepada putranya, Kanaka, seakan ingin menegaskan bahwa seni bela diri ini bukan hanya soal prestasi atau medali, melainkan warisan hidup. Dari gelanggang ke layar, dan dari dirinya ke generasi berikutnya, taekwondo tetap menyertai perjalanan panjangnya.
Tya Ariestya adalah wajah yang menyeberang dengan mulus antara dua panggung: gelanggang olahraga dan panggung hiburan. Dua dunia yang tampak bertolak belakang, namun dalam dirinya saling menyempurnakan.
Ada sesuatu yang tak lekang dari seorang atlet, bahkan ketika ia sudah lama meninggalkan arena. Tubuh mungkin berubah, panggung bisa berganti, tetapi disiplin yang pernah ditanamkan di dojang tetap menetap di dalam diri.
Yoseph Hungan: Tendangan di Arena, Jejak di Layar

Lahir di Ambon, 15 Juli 1959, Yoseph Hungan adalah contoh sosok yang relung kehidupannya membentang antara matras dan kamera film Indonesia. Dahulu, ia berdiri di arena taekwondo dengan keberanian seorang petarung, menantang tiap pukulan dan pertarungan di disiplin kyorugi, jenis pertarungan paling intens dalam bela diri Korea.
Keberaniannya terbukti lewat perolehan medali perunggu di Asian Games 1986, menjadikannya salah satu atlet taekwondo penting di era itu.
Karier sebagai atlet diakhiri bukan sebagai penanda, melainkan sebagai titik awal. Transisi terjadi saat ia tampil sebagai aktor pembantu dalam film laga “Saur Sepuh/Satria Madangkara” (1987), perubahan panggung yang justru membukakan jalan panjang di industri hiburan.
Ada jejak-jejak tubuh yang masih tegar: gerakannya bukan sekadar koreografi, melainkan sisa disiplin dari jahitan latihan di dojang. Film demi film pun menghampiri namanya: “Pendekar Mata Satu” (1989), “Si Rawing II” (1993), serta berbagai judul lain seperti “Tutur Tinular”, “Saur Sepuh III–V”, “Prabu Anglingdarma II”, “Walet Merah”, hingga “Panther” dan lebih banyak lagi, daftar yang panjang dan mencerminkan perannya yang lalu-lalang dalam pusaran film laga tanah air.

Ketika layar menyorot, tubuh petarung itu tetap hadir, ketegasan postur, ketepatan gerak, dan wibawa yang tidak sekadar dibuat. Kamera menangkap sosok yang lebih dari sekadar aktor: ia adalah legitmasi fizikal dari adegan laga yang pernah dirasakan secara nyata.
Tidak hanya menjadi bagian industri hiburan, Yoseph juga pernah mengemban tanggung jawab sebagai manajer timnas taekwondo Indonesia pada SEA Games 2011, membawa pengalaman kompetitif dan kepedulian terhadap olahraga ini pada ranah administrasi dan pembinaan.
Namun hidup tak hanya soal panggung dan matras. Saat ini, di usianya yang telah menginjak kepala tujuh, tubuh itu menghadapi ujian berbeda. Penyakit stroke mengecam, langkahnya harus dituntun.
Profil Yoseph Hungan adalah perjalanan: dari tarung untuk poin, lalu tarung untuk layar, kemudian tarung melawan waktu dan kondisi tubuh. Ia adalah narasi penuh lapisan, taekwondo sebagai asal, film sebagai ekspresi, dan hidup sebagai ruang tempat semua itu bergaung dalam satu tubuh yang tabah.
Namun jejak Yoseph tidak berhenti di dojang. Pada dekade 1990-an, ia menyeberang ke dunia film laga, membawa keterampilan bela diri yang otentik ke depan kamera. Di masa ketika penonton haus akan aksi nyata, bukan sekadar trik sinematik, Yoseph hadir dengan gerakan yang meyakinkan karena tubuhnya memang ditempa dari gelanggang tanding.

Ia tampil bersama ikon laga Indonesia, Barry Prima, dalam sejumlah film yang hingga kini menjadi bagian dari arsip sinema laga tanah air. Nama Yoseph Hungan selalu melekat sebagai aktor yang benar-benar bisa bertarung, bukan hanya memerankan peran bertarung. Setiap adegan tendangan dan tangkisan adalah kepanjangan dari latihan panjangnya di taekwondo.
Bagi penonton, tubuh Yoseph di layar lebar adalah semacam jembatan: disiplin olahraga yang lahir di dojang berpindah menjadi ekspresi sinema. Ia tak pernah sekadar menjadi figuran yang lewat dalam bayangan, melainkan hadir dengan daya pukau tersendiri. Seperti halnya Barry Prima, ia mewakili masa ketika film laga Indonesia mengandalkan keaslian, otot, keringat, dan ketepatan gerak.
Yoseph Hungan membawa taekwondo keluar dari batas arena. Dari gelanggang tanding yang penuh keringat dan aturan poin, ia masuk ke layar yang membingkai cerita dan drama. Kedua dunia itu berbeda, tetapi tubuhnya menemukan cara untuk hidup di antara keduanya.

Apa yang tersisa dari kisah lima sosok ini bukan sekadar daftar nama atau deret prestasi. Melainkan semacam gema: bahwa taekwondo tidak berhenti pada arena tanding, melainkan mencari jalannya sendiri ke ruang-ruang yang tak terduga.
Kita melihat Aghniniy Haque menyalakan energi tanding di layar kaca, Tya Ariestya menghidupkan taekwondo dalam ruang keluarga, Dede Yusuf menjembatani dunia film dan politik, Lamting membawa keaslian jurus ke sorot kamera, dan Yoseph Hungan mengikat masa emas laga Indonesia bersama Barry Prima.
Mereka berbeda latar, berbeda jalan, tetapi tetap bertemu dalam satu simpul: taekwondo sebagai titik awal. Dari hentakan kaki di matras, mereka menemukan pijakan yang mengantar pada dunia-dunia lain. Dari kihap yang menggema di dojang, mereka belajar mengeluarkan suara di panggung publik. Dari tubuh yang ditempa untuk disiplin, mereka belajar bagaimana tubuh bisa menyampaikan narasi lebih luas daripada sekadar pertandingan.

Seperti kata Bruce Lee, “Adapt what is useful, reject what is useless, and add what is specifically your own.” (Ambil yang berguna, buang yang tidak, dan tambahkan sesuatu yang benar-benar milikmu sendiri.).
Mungkin itulah yang mereka lakukan, menambahkan sesuatu yang khas dalam hidupnya masing-masing. Taekwondo menjadi fondasi, tetapi yang lahir dari sana adalah perjalanan yang unik, penuh belokan, dan kadang di luar dugaan.
Dan di situlah letak keindahannya: dari gelanggang kecil yang sederhana, lahir jejak panjang yang masih menyisakan gaung hingga hari ini.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!