
Rakyat harus sejahtera, kalau rakyat tidak sejahtera, saya katakan kita gagal sebagai negara merdeka,” tegas Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD di Gedung Nusantara, Jakarta, 15 Agustus 2025.

Foto/Instagram/Presiden Republik Indonesia
Setiap 17 Agustus, bendera merah putih kembali berkibar. Upacara berlangsung khidmat, pidato disampaikan, dan kita semua serentak menyebut satu kata yang seolah sakral: merdeka. Tapi merdeka, seperti kata-kata lain yang terlalu sering diucapkan, bisa lelah. Ia kehilangan makna bila hanya tinggal dalam seremoni.
Merdeka yang sejati barangkali lebih dekat dengan tubuh, dengan keringat, dengan letih. Dan tubuh yang paling sering mengingatkan kita tentang arti merdeka adalah tubuh atlet. Mereka yang bertanding, terluka, jatuh, bangun lagi, semua demi sehelai bendera.

Foto/theworldgames.org
Di The World Games 2025 di Chengdu, tubuh-tubuh itu kembali bicara. Panjat dinding kembali jadi penyelamat emas, lewat Desak Made Rita Kusuma Dewi, lagu kebangsaan bergema, dan merah putih berkibar di podium dunia. Dari cabang lain, wushu, medali datang, Seraf Naro Siregar, mempersembahkan perak, medali yang sama yang diraih oleh Kiromal Katibin, sementara Rajiah Sallsabillah menambah perunggu, membuktikan atlet kita mampu bersuara tanpa janji muluk. Mereka merdeka di panggung dunia.
Ironisnya, kemenangan itu tidak mengundang kerumunan sorak, tidak seperti Olimpiade yang tiap langkahnya selalu jadi perebutan kamera. Padahal, di atas kertas, skala The World Games tak kalah: ajang olahraga dunia resmi, lawan-lawan kelas elite. Hanya saja, atlet-atlet kita memilih bersuara lewat keringat, bukan lewat gemerlap perhatian. Mereka tetap berjuang, karena kemerdekaan tubuh dan jiwa itu tak pernah lelah, bahkan ketika tak ada kamera yang menyorot.

Namun di rumah sendiri, kemerdekaan itu terasa letih. Lihatlah dualisme yang tak henti-henti: di tenis meja, di anggar, di tinju. Dua kepengurusan berebut legalitas, saling klaim kebenaran. Atlet yang seharusnya bebas bertanding justru terjepit dalam tarik-menarik kursi. Mereka merdeka di podium, tapi tak merdeka di negerinya sendiri.
Ironinya pahit: dunia mengakui, negeri sendiri membatasi. Atlet dipuja ketika emas diraih, lalu ditinggalkan ketika konflik organisasi menutup jalan. Di situ, merdeka yang kita rayakan setiap 17 Agustus tampak seperti panjat pinang: batangnya licin, hadiah digantung tinggi, sorak-sorai ramai, tapi yang memanjat penuh luka.

Jean-Paul Sartre pernah menulis, “Manusia dikutuk untuk merdeka.” Kebebasan bukan hadiah, melainkan beban yang harus dipikul dengan tanggung jawab. Dan di olahraga kita, kebebasan itu sering berhenti di podium, sementara tanggung jawab tercecer di ruang rapat federasi.
Albert Camus, dalam esainya tentang Sisyphus, menyebut absurditas justru melahirkan makna. Seperti Sisyphus yang tanpa henti mendorong batu ke puncak gunung, atlet kita pun terus berlatih, meski tahu hasilnya kadang dijatuhkan oleh konflik di luar lapangan. Absurditas itulah yang, kata Camus, membuat manusia mesti “membayangkan Sisyphus bahagia.”

Foto/en.volleyballworld.com
Kini, di usia 80 tahun kemerdekaan, kita menyebut empat kata besar: bersatu, berdaulat, rakyat sejahtera, Indonesia maju. Kata-kata yang indah, tapi apakah sungguh hidup di tubuh atlet? Apakah “bersatu” berarti federasi tak lagi terbelah? Apakah “berdaulat” berarti atlet berdiri tenang di podium dunia tanpa dihantui perebutan kuasa? Apakah “rakyat sejahtera” juga sampai pada mereka yang pulang tanpa bonus, yang menua tanpa jaminan? Dan apakah “Indonesia maju” juga berarti olahraga kita tak lagi tersandera konflik internal?
Jika merdeka itu lelah, bukan tanda menyerah. Ia justru pengingat: merdeka bukan selesai pada 1945, bukan selesai di podium, bukan selesai di deretan medali. Ia adalah pekerjaan rumah. Dan mungkin, setiap 17 Agustus kita perlu menafsir ulang: agar merdeka tak berhenti sebagai seremoni, melainkan sungguh hidup, di tubuh atlet yang berjuang, di federasi yang sehat, dan di rakyat yang sejahtera.
Merdeka, pada akhirnya, bukan sekadar arak-arakan lomba rakyat yang riuh sekejap, atau podium olimpiade yang sekali-sekali kita sapa dengan gempita. Merdeka adalah kerja panjang, pengorbanan yang tak berujung, dan tekad yang tak pernah lelah. Presiden Prabowo Subianto mengingatkan, “Rakyat harus sejahtera, kalau rakyat tidak sejahtera, saya katakan kita gagal sebagai negara merdeka.”

Foto/en.volleyballworld.com
Maka, kesejahteraan itu bukan hanya tentang harga beras di pasar atau subsidi di meja birokrasi, tapi juga tentang nasib atlet-atlet yang mengangkat bendera tanpa pamrih. Tentang peluh yang jatuh di lapangan, kolam, atau, di gelanggang besar dunia. Jika mereka dibiarkan sekadar berjuang demi kehormatan, lalu kembali tenggelam dalam kesepian dan hidup pas-pasan, apakah kita sungguh telah merdeka?
Merdeka yang sejati ialah merdeka yang tidak pernah lelah memperjuangkan kesejahteraan, terutama bagi mereka yang dengan tubuhnya sendiri telah membela nama bangsa.
Dan merdeka, yang tak pernah lelah itu, barangkali menunggu saatnya dijelmakan di lintasan-lintasan tempat atlet kita masih berjuang, jauh dari kamera, jauh dari pesta.
Dirgahayu Republik Indonesia.
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!