Pecah Rekor Pribadi di Kairo: Atlet Para Angkat Berat Indonesia Pulang Tanpa Medali, Pulang dengan Pelajaran

Ludus01

Foto/NPC Indonesia

LUDUS - Kairo selalu punya cara membuat setiap perjalanan menjadi ujian batin. Bagi enam atlet para angkat berat Indonesia, langit kota itu menjadi saksi bahwa tidak semua kerja keras harus berujung pada medali. Kadang, hasil terbaik justru adalah kesadaran baru, bahwa jalan menuju Paralimpiade Los Angeles 2028 masih panjang dan berliku.

World Para Powerlifting Championship 2025 yang berlangsung 9–19 Oktober di Mesir, bukan sekadar ajang tanding, melainkan titik awal dari babak kualifikasi Paralimpiade berikutnya. Ada 522 atlet dari 71 negara yang bersaing di sana. Di antara mereka, tim kecil dari Indonesia datang dengan harapan, membawa semangat dari Paralimpiade Paris 2024, tapi juga pulang dengan rasa yang tak mudah diceritakan: tanpa satu pun medali. Namun di balik itu, ada angka-angka yang berbicara tentang keberanian dan keteguhan hati.

Ni Nengah Widiasih, nama yang telah berkali-kali mengharumkan Indonesia, kali ini harus puas di peringkat delapan dunia dan ketiga di antara atlet Asia di kelas 45 kilogram putri. Ia mengangkat 97, 99, dan 101 kilogram, angka yang sama seperti ketika ia berlaga di Paris tahun lalu. Tapi di balik angkatan itu, ada bahu yang belum pulih sepenuhnya.

Foto/NPC Indonesia

Foto/NPC Indonesia

“Dari World Champ ini kita banyak belajar. Kita pulang ke Indonesia untuk berlatih lebih keras lagi agar bisa bersaing dengan atlet-atlet elite lainnya,” katanya, Senin (20/10/2025). Suaranya tenang, tapi terdengar jelas keyakinan di dalamnya. Ia tahu, tiga tahun ke depan akan jadi perjalanan panjang menuju Los Angeles.

Widi, begitu ia disapa, menyebut kejuaraan kali ini penuh kejutan. Banyak atlet berpindah kelas, dari 41 ke 45 kilogram dan sebaliknya. “Tidak bisa saya prediksi. Persaingannya lebih sengit dibandingkan dengan Paralimpiade 2024,” ujarnya. Ia bersyukur masih bisa menyentuh angka 101 kilogram di tengah cedera bahu yang terus ia lawan. “Sepulang dari Mesir saya harus berlatih lebih keras lagi sembari fokus penyembuhan cedera bahu agar tahun depan saya bisa lebih maksimal lagi.”

Foto/NPC Indonesia

Foto/NPC Indonesia

Di sisi lain, ada wajah baru yang berangkat ke Kairo dengan rasa ingin tahu yang besar: Muhammad Mabruk Arib Dzaky. Lahir pada 29 Februari 2004, Dzaky baru pertama kali mencicipi atmosfer World Championships. Ia turun di kelas -59 kilogram putra dan mencatat angkatan 158, 159, dan 161 kilogram. Angka terakhir itu menjadi rekor pribadinya. Ia menempati peringkat 12 dunia, tapi keenam di antara atlet Asia. “Kalau dibilang nervous sih enggak,” katanya tersenyum. “Saya cuma penasaran saja level World Champ ini seperti apa. Ternyata luar biasa. Angkatan dari atlet-atlet dunia sangat luar biasa.”

Bagi Dzaky, pengalaman di Mesir bukan tentang kalah atau menang, tapi tentang pembuktian. Ia pulang dengan motivasi berlapis: merebut tiket Paralimpiade Los Angeles 2028 dan tampil di Asian Para Games 2026. “Setelah ini kita persiapan maksimal lagi. Latihan terus, apapun yang terjadi kita harus berusaha lebih keras lagi,” tegasnya.

Foto/NPC Indonesia

Foto/NPC Indonesia

Pelatih kepala tim, Coni Ruswanta, tersenyum ketika ditanya soal Dzaky. Ia tak menyangka atlet muda itu bisa memecahkan rekor pribadinya di debut dunia. “Dzaky termasuk atlet yang potensial karena usianya masih muda dan angkatannya bisa naik pesat,” ujarnya. Tapi Coni juga realistis, ia tahu jalan menuju podium dunia tak cukup ditempuh dengan semangat saja. Butuh waktu, disiplin, dan pengulangan yang tak terhitung.

Selain Dzaky dan Widi, ada dua nama lain yang juga menulis sejarah kecil dari perjalanan mereka di Kairo. Sriyanti, lifter kelas +86 kilogram putri, memecahkan rekor pribadinya: 145 kilogram, naik dari 138 kilogram di Paris. Siti Mahmudah, di kelas -86 kilogram putri, juga mencatatkan perbaikan dengan angkatan 131 kilogram, setelah sebelumnya hanya mampu 125 kilogram. Tak satu pun dari mereka naik podium, tapi angka-angka itu mencatat kemajuan. Dan kemajuan, seperti halnya harapan, adalah bentuk kemenangan lain yang lebih sunyi.

Foto/NPC Indonesia

Foto/NPC Indonesia

Indonesia juga menurunkan tim di nomor women’s team dan mixed team, dua kategori baru yang akan diperkenalkan di Asian Para Games 2026 di Nagoya. Di women’s team, Indonesia harus puas di posisi keempat setelah kalah dari Uzbekistan dalam perebutan perunggu, sementara di mixed team berakhir di posisi keenam. “Di kejuaraan ini kita ikut team event untuk mengejar peringkat Asia agar bisa tampil di Nagoya,” kata Coni. Ia tahu, perjalanan tim ini bukan tentang kegagalan, tapi tentang arah yang semakin jelas: ke mana mereka harus berlari, dan seberapa jauh mereka sudah berjalan.

Foto/NPC Indonesia

Foto/NPC Indonesia

Maka dari Kairo, mereka pulang bukan dengan medali yang berkilau, melainkan dengan tekad yang diam-diam menyala. Sebab dalam dunia para angkat berat, tak ada hasil yang benar-benar sia-sia. Setiap gram yang diangkat adalah perjuangan, setiap rekor pribadi adalah janji pada diri sendiri, bahwa mereka akan kembali, lebih kuat, lebih siap, dan mungkin, kelak, lebih bahagia di atas podium.

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!