Perempuan-perempuan yang Membawa Merah Putih ke Negeri di Atas Awan

Ludus01

“Bukan gunung yang kita taklukkan, tapi diri kita sendiri.”

— Sir Edmund Hillary —

Foto/Instagram/Adinda Thomas/Angela Gilsha/Nadine Chandrawinata/Raline Shah/Wendy Walters

Foto/Instagram/Adinda Thomas/Angela Gilsha/Nadine Chandrawinata/Raline Shah/Wendy Walters

Di punggung-punggung gunung, lima perempuan ini mendaki bukan untuk menaklukkan alam, tetapi untuk menyelami diri. Di antara kabut yang tebal, jalur yang terjal, dan napas yang berat, mereka mencari sesuatu yang tak bisa ditemukan di pusat kota: ketenangan, keberanian, dan kesadaran bahwa batas manusia bukan ditentukan oleh tubuh, melainkan oleh keyakinan.

Mereka adalah Adinda Thomas, Angela Gilsha, Nadine Chandrawinata, Raline Shah dan Wendy Walters. Perempuan-perempuan yang biasa terlihat di layar, di panggung, di dunia yang gemerlap, tapi diam-diam, mereka menjelajah sunyi. Bukan demi sensasi, bukan karena viral. Mereka membawa Merah Putih ke atas gunung, bukan untuk difoto, tapi untuk dihayati.

Nadine, yang menjadikan alam sebagai ruang advokasi dan refleksi. Adinda, yang membawa matanya menjelajahi setiap kabut demi mencari jawaban sunyi. Angela, yang menjadikan pendakian sebagai bagian dari keberpihakan pada bumi. Wendy, yang tak gentar berdiri di bawah hujan deras dan badai demi satu rasa: bebas. Dan Raline, yang menjadikan Kilimanjaro sebagai altar sunyi untuk merenungkan dunia yang kerap berisik.

Pendakian mereka bukan sekadar petualangan fisik, tapi juga perjalanan spiritual. Sebab di atas gunung, manusia kehilangan sinyal tapi justru menemukan koneksi terdalam. Bukan ke dunia, melainkan ke dirinya sendiri.

Kita memilih lima nama ini bukan hanya karena mereka pernah mendaki gunung, lalu berfoto dengan latar awan. Tapi karena mereka melakukannya lebih dari sekali, dan melakukannya dengan kesungguhan. Mereka bukan pengunjung sesaat, bukan pendaki musiman demi estetika media sosial. Mereka naik, turun, dan naik lagi. Dengan niat. Dengan napas yang dipertaruhkan. Dengan jiwa yang mereka bawa, bukan hanya tubuh yang dipamerkan.

Mereka menunjukkan bahwa perempuan bisa bertumbuh bukan hanya lewat karier dan kamera, tapi juga lewat kabut, batu terjal, dan sabana tak bernama. Bahwa mendaki bukan tentang menaklukkan alam, tapi tentang berdamai dengan diri sendiri.

Dan itu, mungkin, jauh lebih menginspirasi dari sekadar mendaki.

Adinda Thomas: Sunyi yang Menguatkan

Di era ketika banyak orang mendaki demi eksistensi, Adinda Thomas mendaki untuk menyepi. Ia tak berbicara banyak soal gunung di layar kaca. Tapi di Instagramnya, sunyi itu menyelinap lewat kata. Kalimat-kalimatnya tidak megah, tidak pamer, tapi menyimpan semacam energi halus: seperti kabut yang lambat namun pasti membungkus tubuh dan menenangkan napas.

“Ada sesuatu yang tenang dan melekat, energi yang membangunkan kembali jiwa yang kuat,
kedamaian batin yang dicari, dia akan pegang erat-erat,
yang tak akan termakan oleh waktu…
Tidak mampu sering, namun sekalinya dapat akan hadir dengan kualitas terbaiknya,
mendorong dia menjadi dirinya yang terbaik.”
Adinda Thomas, Instagram @adindathomas

Foto/Instragram/Adinda Thomas

Foto/Instragram/Adinda Thomas

Kalimat itu datang bukan dari seorang pendaki profesional, tapi dari seorang aktris yang hidupnya nyaris selalu disorot. Adinda Thomas adalah bintang sinetron, pemeran film layar lebar, penyanyi, penulis, dan pencinta literasi yang diam-diam mencintai ketinggian. Namanya melesat luas setelah membintangi film horor terlaris Indonesia KKN di Desa Penari (2022), dan sebelumnya dikenal lewat peran-peran utama di berbagai sinetron serta film.

Namun di balik karier publiknya yang terang, Adinda menyisihkan ruang untuk menyendiri. Ruang itu ia temukan di gunung.

Dalam salah satu unggahannya, ia menulis dengan ringan:

“Jawaban untuk pertanyaan: Dinda kapan nanjak lagi?”

Dan kita tahu, pertanyaan itu bukan sekadar tentang tanggal pendakian. Tapi juga tentang panggilan batin, kapan jiwa ini kembali dihidupkan oleh dingin, oleh sunyi, oleh peluh yang jujur?

Adinda tidak sedang mendaki untuk menjadi lebih dikenal. Ia justru mendaki untuk diam, untuk menjadi dirinya yang paling sunyi. Seorang perempuan yang menolak riuh, yang mendekap kedalaman.

Gunung, bagi Adinda, adalah cermin yang tidak berbohong. Ia tidak meminta untuk ditonton. Ia tidak membalas pujian. Tapi ia memberi ruang agar seseorang bisa menata ulang detak hatinya. Seperti dalam filsafat Zen:

“Hanya di pegunungan yang sunyi, bayangan hati sendiri menjadi jelas.”

Ia memang tak selalu bisa mendaki. Waktu dan pekerjaan kerap memanggilnya kembali ke kota. Tapi dalam satu catatan reflektifnya, Adinda mengungkapkan bahwa sekali saja ia mendaki, energi itu akan menetap: “Sekalinya dapat, akan hadir dengan kualitas terbaiknya.”

Foto/Instagram/Adinda Thomas

Foto/Instagram/Adinda Thomas

Di antara sela-sela unggahan Adinda Thomas di Instagram, terselip jejak-jejak sunyi yang bukan sekadar visual cantik, melainkan saksi dari proses panjang: mendaki dan berdamai. Dalam satu unggahan, ia membagikan perjalanannya ke Gunung Gede Pangrango via jalur Putri, pendakian yang dilakukannya pada April 2025. Ada wajah letih, peluh yang nyata, dan senyum lega yang tak dibuat-buat. Beberapa minggu sebelumnya, ia membagi ceritanya, juga tampak menyatu bersama tim kecilnya menapaki Gunung Ciremai, titik tertinggi di Jawa Barat. Di sana ia menulis pelan: “Bagiku Semesta bekerja… menyatukan team pendakian Gunung Ciremai.”

Namun langkah Adinda tak berhenti di dua gunung itu. Dari fragmen-fragmen media dan arsip daring, diketahui pula bahwa ia pernah menjejakkan kaki di lereng Salak yang rimbun, Kerinci yang angkuh, Semeru dan danau Ranu Kumbolo yang magis, Merbabu yang bergelombang, Papandayan yang berasap, hingga Rinjani yang menjulang dan memukau.

Adinda mengajarkan kita satu hal: pendakian bukan sekadar fisik, melainkan spiritual. Ia tidak mendaki untuk tepuk tangan, tapi untuk meneguhkan diri. Untuk mengingat kembali: dalam dunia yang penuh tuntutan, ada ruang sunyi yang menunggu dikunjungi.

“Sekalinya dapat di puncak, akan hadir dengan kualitas terbaiknya.”

Seperti air yang menurun dari puncak menuju laut, diam namun tak berhenti mengalir, energia itu menyuburkan jiwanya. Membuatnya lebih jernih, kuat, dan kreatif.

Adinda, dengan segala gemerlap layar dan ekspektasi publik, memilih mendaki bukan demi terlihat, tapi demi menemukan kembali.

Gunung tidak pernah menjanjikan popularitas. Tapi ia bisa menawarkan kejujuran. Dan di antara banyak selebritas yang menanjak demi eksistensi, Adinda justru hadir sebagai pengecualian: ia naik untuk turun, turun ke dalam dirinya sendiri.

Angela Gilsha: “Now, Here I Am.”

Mungkin tidak banyak yang menyangka, Angela Gilsha—dengan wajah bintang sinetron, kulit terawat, dan penampilan menawan di layar—adalah perempuan yang senang menyusuri jalur tanah, menantang angin dini hari, dan merelakan kakinya lecet demi satu hal: berdiri di puncak gunung.

Tapi ia memang berbeda. Saat sebagian orang membayangkan liburan sebagai resor atau kolam renang, Angela memilih trek terjal menuju puncak Rinjani.

“Track-nya pedesss… tapi pas matahari terbit, berasa masuk surga.”
Angela Gilsha, Instagram @angelagilsha

Ia menulis itu bukan untuk pamer kekuatan fisik. Tapi untuk menandai satu hal yang lebih dalam: bahwa mimpi bisa tumbuh di tempat yang sederhana—seperti di atas batu, di antara embusan pagi, atau saat melihat puncak dari kejauhan.

“Tahun lalu lihat puncak Rinjani pertama kali dari Batur.
Lalu dalam hati: ‘One day aku akan berdiri di atas sana.’
Now, here I am.”

Foto/Instagram/Angela Gilsha

Foto/Instagram/Angela Gilsha

Janji itu ia tepati: puncak Rinjani menjadi salah satu perjalanan yang sangat ia syukuri, banyak air terjun, danau, dan bahkan membuatnya berlinang air mata saking terharu. Ia juga mengaku telah mendaki puncak Sindoro, Merbabu, Arjuno, dan Batur, kelima gunung itu menjadi saksi keseriusan cintanya pada alam.

Angela bukan pendaki profesional. Tapi ia tahu bagaimana menjaga mimpi tetap hidup, dan bagaimana mewujudkannya lewat langkah-langkah kecil namun konsisten. Perjalanan hidupnya tak dimulai di ketinggian, melainkan di sebuah halaman majalah. Ia pertama kali dikenal publik setelah menjadi finalis Gadis Sampul 2010, sebuah ajang yang memperkenalkan banyak wajah baru di dunia hiburan Indonesia. Dari sana, ia perlahan menapaki dunia seni peran.

Angela kemudian membintangi berbagai sinetron dan film, menjadikan dirinya salah satu wajah muda paling mencuri perhatian dalam dekade terakhir. Ia juga tampil dalam video klip "Sampai Kau Jadi Milikku" (Judika, 2014) dan "Tak Punya Nyali" (D’Masiv, 2017), sebelum akhirnya makin dikenal sebagai aktivis lingkungan, yang menyuarakan pentingnya menjaga alam, mengurangi plastik, dan hidup selaras dengan bumi.

Maka tidak mengherankan jika kecintaannya pada alam membawanya naik gunung. Ia tidak selalu mendaki, tapi sekali mendaki, ia menghadapinya dengan sepenuh rasa. Seperti seseorang yang sadar bahwa apa yang ia tapaki bukan hanya jalur menuju puncak, tetapi juga jalur kembali pada dirinya sendiri.

Foto/Instagram/Angela Gilsha

Foto/Instagram/Angela Gilsha

Gunung, bagi Angela, adalah tempat untuk menepati janji. Janji kepada dirinya yang dulu pernah berdiri di kaki Batur, menatap jauh ke Rinjani, dan diam-diam berkata: “One day.” Dan ketika hari itu tiba, ia tidak perlu bersorak. Ia cukup menulis:

“Now, here I am.”

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh validasi digital, Angela menunjukkan bahwa pendakian tidak harus keras. Cukup jujur. Cukup tenang. Seperti air yang mengalir menuju laut, ia datang dari dataran tinggi, membawa harapan yang perlahan, namun tidak pernah lelah.

Nadine Chandrawinata: Mendaki, Bukan Menaklukkan

Pada bulan Maret lalu, kabar duka kembali datang dari pegunungan. Dua pendaki perempuan, Ibu Lilie (@mamakpendaki) dan Ibu Elsa (@explorewithelsa), mengembuskan napas terakhir mereka di jalur pendakian menuju Puncak Carstensz, Papua. Dunia pendakian terhenyak, media sosial penuh ratapan. Tapi di antara semua suara itu, ada satu suara yang lirih dan jernih datang dari seorang perempuan yang telah lama menyatu dengan alam: Nadine Chandrawinata.

“Sangat sedih sekali mendengar berita duka tentang pendakian kemarin-kemarin ini. Perjalanan pendakian selalu membuat saya lebih mengerti arti berdamai dengan diri sendiri. Hiks… setiap ada berita seperti ini, rasanya nyesek banget.”
Nadine Chandrawinata, melalui Instagram

Nadine tidak sedang berteori. Ia tahu betul medan pendakian Carstensz, puncak tertinggi di Indonesia, berat, beku, dan sepi. Ia pernah berdiri di atasnya, tubuhnya menggigil karena hipotermia, namun jiwanya menyala dalam diam. Ia tahu bahwa tak semua orang bisa pulang dari sana. Tapi ia juga tahu satu hal yang lebih dalam:

“Gunung tidak pernah berniat jahat. Dia selalu menyediakan ruang untuk manusia yang ingin menyapa alamnya, dan mengingatkan kita untuk selalu merangkul manusia lainnya.”

Foto/Instagram/Nadine Chandrawinata

Foto/Instagram/Nadine Chandrawinata

Itulah mengapa ia menulis, sebagai pengingat bukan hanya bagi orang lain, tapi juga bagi dirinya sendiri:

"Gunung yang keras tidak boleh dilawan dengan keras.
Buka diri, nikmatilah proses perjalanannya.
Air mengalir dari dataran tinggi menuju ke laut,
Saatnya menikmati ketinggian dari sebuah kedalaman."

Dalam kalimat-kalimat itu, Nadine meletakkan inti dari filosofi pendakiannya. Ia bukan hanya menapaki jalur berbatu, tetapi juga menyusuri lekuk-lekuk batin yang jarang disentuh. Karena baginya, naik gunung bukan pencapaian ego, melainkan latihan rendah hati.

Nama Nadine mungkin pertama kali dikenal publik sebagai Puteri Indonesia 2005, perempuan jangkung berparas teduh yang membawa Indonesia ke panggung Miss Universe. Tapi panggung yang benar-benar membesarkan jiwanya bukan di Las Vegas, melainkan di jalur-jalur pendakian: di Rinjani, Tambora, Semeru, bahkan puncak Carstensz yang beku dan senyap. Namun panggung yang benar-benar membesarkan jiwanya bukan di atas catwalk, melainkan di jalur-jalur pendakian dan bentangan laut Nusantara.

Petualangannya di alam bebas tidak berhenti sebagai hobi pribadi. Nadine menjadi pembawa acara program "Hidden Paradise" di Kompas TV, sebuah tayangan dokumenter perjalanan yang memperlihatkan Indonesia dari sudut yang tak biasa—dari laut dalam hingga lembah tersembunyi. Ia kemudian juga tampil di program “My Trip My Adventure”, menjadikan layar televisi bukan hanya sebagai hiburan, tetapi jendela kontemplatif untuk memaknai tanah air.

Ia juga tetap aktif sebagai aktris film, namun memilih peran-peran yang dekat dengan alam dan kemanusiaan.

Dalam perjalanannya, Nadine bukan hanya berjalan sendiri. Ia membawa serta keluarganya: suami dan anaknya. Ia memperkenalkan gunung dan laut kepada anaknya, tidak sebagai tempat rekreasi, tetapi sebagai ruang penghayatan. Sebab baginya, mengenal alam adalah mengenal diri sendiri.

“Bukan menaklukkan gunung, tetapi belajar menaklukkan diri sendiri.”
Nadine Chandrawinata

Kalimat itu terdengar sederhana. Tapi ia menyimpannya dalam-dalam, bahkan ketika hipotermia pernah memaksanya diam selama berjam-jam di Carstensz. Ia bukan mendaki untuk menang. Ia mendaki untuk mengendap, untuk mendengarkan.

Dan mungkin, dalam bait-bait ini, ia menyampaikan bukan hanya perasaan, tapi filsafat hidupnya:

Batu ketegaran di sekitar
Tebing menjadi ujian
Tali saksi kekompakan
Puncak lambang kegigihan
Niat meringankan cobaan
Yang tersorot dari mata sebuah penjajahan pikiran
Hai manusia, turunkan egomu
Jangan bertanya terus dan mencari jawaban
Jalankan saja,
Selesaikan apa yang sudah Anda mulai.
Laksanakan! Gunung yang keras tidak boleh dilawan dengan keras.
Buka diri, nikmatilah proses perjalanannya.
Air mengalir dari dataran tinggi menuju ke laut,
Saatnya menikmati ketinggian dari sebuah kedalaman.

Foto/Instagram/Nadine Chandrawinata

Foto/Instagram/Nadine Chandrawinata

Gunung, bagi Nadine, adalah ruang pengakuan. Bahwa tubuh manusia terbatas, dan justru dari keterbatasan itu, kita belajar merunduk. Ia mendaki bukan karena ingin menjadi kuat, tapi karena ingin jujur. Ia tidak ingin menaklukkan puncak, melainkan ingin selesai dengan dirinya sendiri.

Dalam kata Nietzsche:

“Ia yang mendaki tertinggi, tertawa atas segala tragedi—nyata maupun imajiner.”

Tapi Nadine tidak tertawa. Ia berdoa. Ia menghening. Ia mengirim doa untuk semua pendaki, yang pergi, yang kembali, dan yang masih berjalan. Ia menulis bukan untuk menunjukkan betapa jauhnya ia melangkah, tapi betapa dalamnya ia menyelam.

Dan karena itu, kita tidak melihat Nadine sebagai “artis yang suka naik gunung.” Ia lebih dari itu. Ia adalah jiwa yang mendaki, seorang selebritas yang berjalan perlahan di antara awan dan doa. Seorang ibu yang mengajarkan kepada anaknya bahwa hidup bukan tentang mencapai puncak, tapi tentang bagaimana cara kita menapaki setiap langkah.

Raline Shah: Dari Karpet Merah ke Puncak Merah Putih

Di tengah dunia glamor, undangan gala, dan panggung festival film, Raline Shah diam-diam membawa semangat yang lebih sunyi, lebih dalam, lebih merah-putih. Ia tidak hanya mengenakan busana indah di karpet merah, tetapi juga membawa kebanggaan nasional dalam pendakian, saat tubuhnya menggigil diterpa badai, dan hanya doa serta tawa yang menghangatkan jalur beku di ketinggian.

“Tidak ada pendakian yang komplit tanpa membawa semangat Merah Putih!”
Tulisnya, dalam sebuah unggahan bersama sahabatnya Lee—sama-sama dari Medan, dan tanpa janjian mengenakan warna merah dan putih.

Bukan kebetulan. Seolah tubuh mereka tahu: semangat yang dibawa ke puncak bukan sekadar stamina, tetapi juga asal-usul, kenangan, dan keyakinan bahwa merah-putih tak pernah lekang, bahkan di lereng paling sunyi.

Foto/Instagram/Raline Shah

Foto/Instagram/Raline Shah

Hujan deras, hujan es, badai yang datang hampir setiap hari, semuanya mereka lalui. Bukan semata demi pencapaian fisik, tetapi demi mengalami: sebuah perjalanan yang perlahan mengikis ego dan membentuk ulang cara pandang.

“Benar-benar petualangan yang penuh dengan cobaan… tapi kita melalui itu semuanya dengan semangat, musik, doa, dan canda tawa.”

Bagi Raline, pendakian bukan ekspedisi. Ia, sepertinya, adalah inisiasi batin. Ia tak selalu menyebut detail teknis atau ketinggian yang ditaklukkan. Namun dari cara ia bercerita, kita tahu: yang ia banggakan bukanlah data, melainkan lompatan kesadaran.

“Tidak bisa saya uraikan dengan kata-kata pengalaman yang telah mengubah cara pandang hidup saya untuk selamanya.”

Itu bukan kalimat seorang selebritas yang tengah menikmati liburan. Itu adalah suara perempuan yang sedang mengalami perubahan eksistensial. Perjalanannya hingga ke salah satu puncak tertinggi dunia telah memahat ulang cara ia melihat hidup, dengan rasa syukur, dengan keberanian baru, dan dengan kesadaran bahwa tubuh manusia kecil, namun mampu membawa makna besar.

“Dari kota Medan di Sumatera saya dan Lee sampai ke salah satu puncak tertinggi di dunia,
alangkah senang dan bersyukur atas semua kemudahan dalam perjalanan hidup ini.”

Tak semua perempuan yang akrab dengan lensa kamera terbiasa menjejak tanah basah, menembus kabut, dan melawan badai. Tapi Raline Shah adalah pengecualian. Di balik gaun malam dan sorot lampu industri hiburan, ia menyimpan ketertarikan yang lebih senyap: mendaki. Bukan untuk sensasi, melainkan untuk mendengar ulang hidup, dengan lebih pelan, lebih jujur.

Ia pernah menjejak Rinjani, Semeru, Kilimanjaro, hingga Latimojong. Di Semeru, ia menjalani syuting 5 cm selama berminggu-minggu, berhari-hari tanpa mandi, menyatu dengan alam dalam ritme ketahanan yang tak bisa diajarkan oleh naskah. Kilimanjaro memberinya ujian hujan yang tak henti, hingga sang pemandu sempat menyarankan mereka turun. Tapi Raline menolak menyerah. Ia mendaki terus, perlahan.

“Pesan-Nya adalah: jalan perlahan. Tidak perlu buru-buru. Nikmati proses.”

Tahun baru 2023 ia buka dengan menaklukkan Latimojong, puncak tertinggi di Sulawesi Selatan. Medan terjal, cuaca buruk, namun semangatnya lahir bukan dari ego, melainkan dari doa. Ia membawa Merah Putih dari tanah kelahirannya ke puncak-puncak dunia. Sebuah kalimat sederhana di ulangannya itu menggema kuat:

“Tidak ada pendakian yang komplit tanpa membawa semangat Merah Putih.”

Foto/Instagram/Raline Shah

Foto/Instagram/Raline Shah

Raline memulai kariernya dari ajang Puteri Indonesia 2008 sebagai Putri Favorit wakil Sumatera Utara. Namanya melejit lewat film 5 cm, lalu Supernova, Surga yang Tak Dirindukan, Polis Evo, dan sederet proyek film lainnya. Ia juga dikenal sebagai brand ambassador, aktivis sosial, dan pendiri Rumah Harapan Indonesia, membuktikan bahwa panggung hidupnya jauh melampaui layar.

Tak heran jika pendakiannya bukan bentuk pelarian, tapi proses mengenali diri. Ia tidak mendaki untuk terlihat kuat, tapi agar bisa kembali berkata bahwa ia manusia: dengan takut, lelah, syukur, dan keinginan untuk bertahan.

Ia pernah menulis bahwa pengalaman di gunung telah mengubah cara pandangnya terhadap hidup. Itu bukan hiperbola. Bukan kutipan dari buku motivasi. Tapi pelajaran yang datang dari jalur sempit dan dingin, dari napas yang berat, dari kaki yang nyaris menyerah namun hati yang menolak mundur.

Wendy Walters: Mendaki Tanpa Drama, Hanya Jejak dan Napas

Di layar kaca dan media sosial, Wendy Walters sempat dikenal sebagai wajah segar gaya hidup urban, dari konten kreatif, kolaborasi brand, hingga siaran interaktif. Tapi di balik keriuhan digital, sebagian feed dan reels Instagram-nya menyimpan dimensi lain: jalur pendakian yang terjal, kabut pagi, senyum lelah, dan jaket gunung yang kerap lebih jujur daripada semua filter.

Dari unggahan-unggahan itu, terlihat jelas: ia tidak sedang menampilkan pendakian sebagai gaya hidup instan. Empat gunung ia daki dalam kurun waktu tak lama, salah satunya Gunung Cikuray. Di sana, Wendy tak membawa cerita heroik. Ia hanya membagikan foto-foto biasa: tanah basah, tenda sederhana, tubuh yang dipeluk kabut. Tapi justru dari kesederhanaan itulah muncul keheningan yang menggetarkan: pendakian sebagai pengalaman pribadi, bukan konten komersial.

Foto/Instagram/Wendy Walters

Foto/Instagram/Wendy Walters

Sejak April–Mei 2023, Wendy berhasil menaklukkan rangkaian gunung, seperti Prau, Papandayan, Merbabu, Raung, bahkan hingga Annapurna Circuit (Nepal) di luar negeri, menunjukkan konsistensi yang nyata, bukan sekadar hobi sesaat. Ia juga pernah ke Kerinci, Sindoro, Lawu, Slamet, Sumbing, dan Agung. Tak hanya lokal, ia merambah petualangan global, menghadapi cuaca ekstrem dan jalur panjang di Annapurna .

Di gunung, Wendy tidak tampil untuk berdiri di panggung. Ia melayang di antara tebing, kabut, dan detak jantungnya sendiri, menemukan ketenangan yang tak bisa dibeli atau direkam dengan sempurna. Dalam sebuah unggahan di Merbabu, ia bahkan sampai nyangkut badai, namun tetap selamat

Perjalanan Wendy bukan sensasional. Tidak selalu viral. Tidak sarat slogan. Tapi konsisten, tenang, dan penuh kejujuran fisik. Ia tak banyak menulis caption panjang, tapi barangkali justru karena itu kita percaya: ia benar-benar ada di sana, di jalur pendakian yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah kelelahan dan tetap melangkah.

Wendy Walters memulai kariernya sebagai finalis Gadis Sampul, lalu merambah dunia hiburan, jadi pembawa acara, influencer, hingga kolaborator kreatif. Tapi gunung memperkenalkan sisi lain darinya: sisi yang tidak sibuk menjelaskan diri. Di alam, ia tak sedang menciptakan konten. Ia sedang mengosongkan isi. Bukan tentang tampil, melainkan tentang menyusutkan ego, satu langkah setiap tikungan.

Ia pernah menulis:

“Mendaki itu menyederhanakan hidup. Tubuh lelah, tapi hati malah lebih tenang. Kita belajar bahagia dari hal yang tak bisa dibeli: udara, diam, dan keberanian kecil untuk terus naik.”

Foto/Instagram/Wendy Walters

Foto/Instagram/Wendy Walters

Dan pada satu momen tanya-jawab santai di media sosial, ia pernah menuliskan kalimat yang tak terdengar filosofis, tapi justru terasa sangat manusiawi:

“Mendaki bukan tentang siapa yang pertama sampai. Tapi siapa yang tetap bertahan, tetap melangkah meski diam-diam.”

Itu bukan kutipan dari buku motivasi, tapi dari tubuh yang pernah diguyur hujan dan tetap menyalakan langkah kecil. Maka ketika ia menulis, “Ada yang hobinya naik gunung juga? Absen, Bun…”, itu bukan sekadar sapaan. Itu adalah isyarat dari perempuan yang ingin berbagi ruang, bahwa gunung bukan panggung, melainkan tempat untuk menenangkan segala kegaduhan.

Ia juga pernah menambahkan:

“Mendaki itu menyederhanakan hidup. Tubuh lelah, tapi hati malah lebih tenang. Kita belajar bahagia dari hal yang tak bisa dibeli: udara, diam, dan keberanian kecil untuk terus naik.”

Wendy Walters barangkali tidak selalu terlihat “mendaki.” Tapi jejaknya jelas. Dan barangkali justru itu bentuk pendakian yang paling tulus: tidak banyak bicara, tidak mengejar nama, hanya berjalan—dengan tenang dan terus.

Foto/Instagram/Adinda Thomas/Angela Gilsha/Nadine Chandrawinata/Raline Shah/Wendy Walters

Foto/Instagram/Adinda Thomas/Angela Gilsha/Nadine Chandrawinata/Raline Shah/Wendy Walters

Adinda Thomas, Angela Gilsha, Nadine Chandrawinata, Raline Shah dan Wendy Walters. Mereka tidak sedang berlomba. Tak ada podium di puncak gunung. Tak ada medali, tak ada sorak sorai penonton. Tapi langkah-langkah yang mereka ayunkan ke atas, dalam peluh, dalam udara yang makin tipis, menyisakan gema yang justru lebih panjang dari tapak itu sendiri.

Nadine Chandrawinata mendaki bukan untuk menaklukkan gunung, tapi untuk menaklukkan dirinya sendiri. Adinda Thomas mendaki karena kedamaian yang tenang itu terlalu mahal untuk dilewatkan. Angela Gilsha mendaki untuk mewujudkan janji kecilnya kepada diri sendiri, bahwa “satu hari, aku akan sampai di sana.” Raline Shah mendaki dengan membawa merah putih di dada, dan pulang dengan pandangan hidup yang berubah selamanya. Wendy Walters mendaki bukan untuk tampil, tapi untuk tetap berjalan, meski dalam diam yang paling sunyi.

Mereka tidak sekadar perempuan yang mendaki. Mereka adalah perempuan yang dipanggil oleh gunung, bukan karena viralnya, bukan karena tren. Tapi karena gunung adalah satu-satunya tempat yang masih bisa menerima mereka apa adanya: lelah, takut, kuat, kecil, tapi terus ingin tumbuh. Gunung tidak pernah menilai, hanya menguji. Gunung tidak pernah bicara, hanya menggemakan isi hati mereka.

Dan di masa ketika viralitas menentukan segalanya, ketika satu pendaki asal Brasil tewas dan dunia kembali menyorot gunung sebagai tempat bahaya, mereka berlima telah lama memilih naik, bahkan ketika tak ada kamera. Mereka naik bukan karena ramai, tapi karena sepi. Karena di atas gunung, mereka menemukan yang tak bisa ditemukan di tempat lain: diri sendiri.

Kita memilih menceritakan mereka bukan karena mereka selebritas. Tapi karena mereka membuktikan bahwa tubuh perempuan bisa bertahan di dingin, bisa mendaki dengan martabat, bisa pulang dengan cerita yang bukan tentang ego, tapi tentang hidup yang lebih utuh.

Mereka menunjukkan bahwa pendakian bukan olahraga ekstrem, tapi ziarah ke dalam diri. Bahwa perempuan tidak hanya kuat di bawah lampu studio, tapi juga saat mendaki jalur setapak berjam-jam, memikul rasa takut, dan menjinjing harapan. Bahwa inspirasi tidak selalu lahir dari panggung besar, tapi bisa tumbuh dari langkah-langkah kecil yang tak henti mendaki ke arah cahaya.

Dan di puncak gunung yang mereka capai itu, mungkin tak ada tepuk tangan. Tapi ada langit yang lebih dekat. Ada awan yang menggulung pelan seperti doa yang tak terucap, ada udara yang membelai seperti restu, dan ada kesunyian yang terasa lebih jujur dari ribuan kata.

Dan di sanalah mereka, perempuan-perempuan yang menolak berhenti, bahkan ketika dunia menyuruh diam.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!