Surat Terbuka Fajri ke Gubernur Riau: Bonus Atlet Jangan Lagi Jadi Luka Lama
Ludus01

"Kami tidak sedang meminta belas kasihan. Kami hanya ingin hak kami dipenuhi, sebagaimana kami telah memenuhi tanggung jawab kami untuk mengharumkan nama Riau."

Kalimat itu ditulis oleh Rahmad Diyanto, atlet squash Riau, dalam sebuah surat terbuka yang dipublikasikan di ludus.id pada 9 Juli 2025 pukul 18.28 WIB. Tak ada huruf kapital berlebih, tak ada tanda seru. Tapi getarnya justru datang dari kesenyapan itu. Seperti mata yang basah tanpa isak, seperti luka yang mengering tanpa pernah betul-betul sembuh.
Surat itu bukan yang pertama di dunia olahraga, tapi ia membuka sesuatu. Semacam gembok yang selama ini dikunci oleh sopan santun birokrasi dan kesabaran yang terus diuji. Yang diminta bukanlah tambahan, tapi kepastian atas sesuatu yang telah dijanjikan. Yang telah dikeringatkan. Diperjuangkan.
Dan lalu, sesuatu terjadi. Bukan ledakan, tapi retakan yang menjalar.
Beberapa hari setelah surat itu tersebar luas, Komisi V DPRD Riau bersuara. Mereka menyatakan akan memanggil OPD terkait, termasuk Dinas Pemuda dan Olahraga. Alasannya: bonus atlet PON Riau belum dibayarkan secara penuh, dan alasan “defisit” dinilai tak lagi pantas dijadikan tameng. Indra Gunawan Eet, Ketua Komisi V, menyebut bahwa bonus itu harus dicairkan sesuai Pergub. Bukan ditunda, apalagi dilupakan.
Di tengah kekisruhan itu, muncul sebuah ironi yang lebih menyakitkan. Seorang bocah peserta pacu jalur, lomba perahu tradisional, mendapat sorotan karena ekspresinya yang menggemaskan. Gubernur Riau Abdul Wahid kemudian memberikan bonus Rp20 juta dan mengangkatnya sebagai duta pariwisata. Publik tersentuh. Tapi para atlet PON merasa terguncang.

Mereka yang telah berkeringat demi medali emas hanya akan menerima 40 persen dari bonus yang dijanjikan. Sementara seorang bocah yang viral di media sosial, tanpa harus mengangkat pedang atau raket, menerima bonus penuh di hadapan kamera. Beragam reaksi dari atlet yang menanti bonus, bermunculan, dan tak bisa dianggap sekadar sentimen. Ia menunjukkan luka struktural yang belum sembuh: rasa sakit hati.
Surat Rahmad menggugah banyak pihak. Ia dikutip. Ia dibagikan. Ia menyulut. Ia membuka ruang bagi suara lain. Dan justru karena keberanian itu muncul dari atlet sendiri, bukan dari elite, gema itu jadi tak terbendung.
Gema yang lahir bukan dari pengeras suara, tapi dari kalimat jujur yang ditulis pelan. Yang tak marah, tapi mengingatkan.
Dan seperti gema sejati, ia tak pernah berdiri sendiri. Kini, satu suara menyusul. Dari gelanggang anggar. Dari seorang anak Pontianak yang belajar berdiri di atas kaki sendiri sejak ayahnya berpulang. Dari seorang atlet yang tahu bahwa harga diri tak bisa ditunda, dan perjuangan tak boleh dibayar separuh.

Namanya Muhammad Fajri. Dan ia menulis. Bukan untuk menjadi viral, tapi untuk memastikan: jangan ada luka lama yang jadi warisan berikutnya.
Muhammad Fajri. Namanya lebih banyak disebut di arena anggar ketimbang dalam wacana publik. Tapi kini, ia melangkah keluar dari lingkar ketakutan berbicara itu. Seorang atlet yang telah membela Riau di berbagai kejuaraan nasional dan internasional, kini menyuarakan isi hatinya dalam bentuk yang paling sederhana namun paling berani: surat terbuka.
Fajri bukan hanya atlet. Ia adalah anak bungsu dari empat bersaudara, lahir di Pontianak pada 22 Juni 1998. Ayahnya, Lukman, telah lama berpulang. Ibunya, Nurhaidah, seorang wirausaha yang membesarkannya dengan keteguhan yang tak pernah ia lupakan. Dari keluarganya, Fajri belajar nilai-nilai dasar tentang ketulusan, tanggung jawab, dan kejujuran dalam perjuangan.
Ia menempuh studi pendidikan olahraga dan bergabung dengan Bengkalis Fencing Club, klub yang menjadi titik mula langkahnya. Dari situ, ia melangkah jauh. Fajri mewakili Indonesia di Asian Games 2018 Jakarta–Palembang. Ia menyabet emas individu dan tim di Kejurnas 2022 dan 2023, meraih perunggu di Kejuaraan Asia Tenggara 2023, dan tampil luar biasa di PON Aceh–Sumut 2024 dengan emas beregu serta perak individu.

Tapi bagi Fajri, kemenangan bukan hanya soal podium.
“Bagi saya, kemenangan bukan sekadar medali atau pengakuan,” ujarnya tenang.
“Tapi bukti dari perjuangan panjang, disiplin, dan doa yang tak pernah putus. Ini hasil kerja keras tim, dukungan orang-orang terdekat, dan lelah yang dibayar setelah penantian panjang.”
Tentang perjuangan, ia melanjutkan:
“Perjuangan itu proses panjang yang penuh pengorbanan, rasa sakit, jatuh bangun, tapi tidak pernah menyerah. Itu tentang bagaimana kita tetap berdiri meski lelah, karena kita punya tujuan besar, mimpi yang ingin dicapai, dan orang tua yang harus dibanggakan.”
Maka ketika bonus hanya akan dibayarkan 40%, dan sisanya kembali berupa janji lisan yang tak pasti, Fajri tahu ia tak bisa tinggal diam. Ia menyaksikan sendiri bagaimana janji yang sama pernah diberikan kepadanya dan rekan-rekan atlet di Porprov 2022, dan hingga hari ini, sisanya belum pernah dibayar. Luka itu masih menganga. Dan Fajri tak ingin menanggung lagi luka yang sama.
Ia menulis bukan untuk menuntut lebih. Ia hanya ingin kejelasan. Ia hanya ingin keadilan.
Berikut isi lengkap surat terbuka dari Muhammad Fajri, atlet anggar peraih emas PON 2024, yang ditujukan kepada Gubernur Riau:

Surat Terbuka untuk Gubernur Riau, Bapak Abdul Wahid
Yang terhormat Bapak Abdul Wahid,
Gubernur Provinsi Riau
Kami memahami betul pentingnya efisiensi dalam pengelolaan anggaran daerah. Namun, izinkan kami, para atlet yang telah berjuang dan mengharumkan nama Riau di Pekan Olahraga Nasional (PON) 2024, menyampaikan suara hati kami.
Mohon jangan jadikan hak kami sebagai bagian dari efisiensi tersebut.
Bonus yang semestinya menjadi bentuk penghargaan atas kerja keras, pengorbanan, dan dedikasi kami, kini hanya dijanjikan sebesar 40%. Sisanya, 60%, kembali menggantung dalam harapan yang dulu pernah patah.
Kami tidak ingin menghakimi. Tapi kami belajar dari pengalaman. Pada Porprov Kuantan Singingi 2022, janji bonus sebesar Rp35 juta bagi atlet Bengkalis hanya terealisasi 40%. Hingga hari ini, sisanya tak kunjung dibayarkan. Luka itu masih ada. Kepercayaan kami belum pulih sepenuhnya.

Dan kini, kami mendengar kalimat yang sama:
“Dibayar setengah dulu, sisanya nanti kalau ada.”
Bapak Gubernur, kami mohon, jangan ulangi sejarah pahit itu.
Jika memang 60% sisanya belum bisa dibayarkan sekarang, maka kami mohon ada kepastian. Bukan janji lisan, tapi jaminan tertulis. Sertakan nama-nama atlet, besaran bonus yang akan diterima, dan tanggal pasti kapan hak kami akan dibayarkan.
Kami tidak menuntut lebih. Kami hanya meminta kepastian atas sesuatu yang telah kami perjuangkan, demi harga diri kami sebagai atlet, dan demi masa depan olahraga Riau yang kami cintai.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!