
LUDUS - Nama Pratama Arhan sedang memenuhi linimasa. Bek kiri timnas Indonesia itu tak lagi hanya dibicarakan karena lemparan jauhnya yang legendaris, melainkan juga karena kabar perceraiannya dengan Azizah Salsha. Kasus di Pengadilan Agama Tigaraksa (nomor perkara 4274/Pdt.G/2025/PA.Tgrs) pada 1 Agustus 2025 membuatnya viral dengan nuansa yang jauh dari lapangan hijau.

Foto/Dok.LUDUS.id
Namun, di balik sorot kamera dan drama pribadi, ada kisah-kisah lain yang lebih manusiawi, lebih personal, dan jarang tersentuh publik. Kita terlalu sering lupa bahwa atlet, yang di atas rumput hijau terlihat perkasa, di luar stadion hanyalah manusia dengan luka, dengan harap, dengan segala kerentanan yang sama dengan kita.
Kalau Nietzsche pernah menulis bahwa manusia adalah “tali yang direntangkan di atas jurang”, maka Diego Maradona menyederhanakan semuanya: “Ketika kau berada di lapangan, masalahmu hilang. Kau hanya melihat bola.”

Foto/Dok.LUDUS.id
Kedua kutipan itu seperti mengalir pada kisah Pratama Arhan. Di luar stadion, ia adalah sosok yang digempur gosip rumah tangga, perceraian, selain dipuja-puji fansnya. Tetapi di dalam lapangan, ia menjadi pemain yang hanya mengenal satu bahasa: bola.
Kabar perceraian hanyalah serpih permukaan. Di lapisan terdalam, ia mengingatkan kita pada satu hal: betapa rapuhnya manusia di tengah arus ekspektasi. Seperti lemparan jauh yang bisa tiba-tiba dibelokkan angin, hidup seorang atlet pun bisa meleset dari arah yang dibayangkan.
Barangkali, di balik semua ini, Arhan sedang mengajarkan kita sesuatu: bahwa ketangguhan bukan hanya soal berlari tanpa lelah di lapangan, tapi juga tentang bagaimana seseorang menanggung badai ketika stadion sudah sepi, ketika sorakan berubah jadi bisik-bisik, ketika manusia kembali pada dirinya sendiri.

Foto/Dok.LUDUS.id
Namun hidup seorang pesepakbola, seperti bola itu sendiri, tak selalu berputar di atas rumput hijau. Ia juga bergulir di ruang-ruang kuliah, di rumah kayu yang pernah hampir roboh, di tribun penonton tempat seorang adik kecil dulu hanya mengantar kakaknya berlatih. Dari situ, kita melihat sisi lain Arhan: sisi manusia yang kerap dilupakan ketika orang hanya menyebut namanya dalam angka-angka pertandingan.
Dan, di balik sorot kamera dan drama pribadi, ada kisah-kisah lain yang lebih manusiawi, lebih personal, dan jarang tersentuh publik.
Pratama Arhan bukan sekadar bek kiri dengan lemparan jauh yang melegenda. Ia adalah kisah perjalanan panjang seorang anak muda dari Blora yang berani melawan arus. Dari PSIS Semarang, tempat ia pertama kali mencuri perhatian, Arhan memilih jalur lain menuju Jepang bersama Tokyo Verdy. Kariernya sempat singgah di Suwon FC di Korea Selatan, sebelum kini menjejakkan kaki di Thailand, menambah babak baru dalam petualangan seorang pesepakbola Indonesia di panggung Asia.

Foto/Dok.LUDUS.id
Di balik seragam klub, ada seragam yang lain: merah putih. Bersama Timnas Indonesia, Arhan menjadi wajah generasi baru, salah satu pion penting dalam racikan Shin Tae-yong. Arhan bukan sekadar pemain klub. Bersama tim nasional Indonesia, ia hadir di momen-momen penting: dari Piala AFF, SEA Games, hingga kualifikasi Piala Dunia. Peran dan kiprahnya di tim Garuda menjadikannya salah satu wajah paling dikenal di sepak bola Indonesia hari ini.
Lemparan jauhnya bukan hanya senjata, tetapi simbol keberanian. Namun, perjalanan Arhan bukan hanya soal sepak bola. Ada sisi yang lebih tenang, lebih personal, bahkan lebih menyentuh: sebuah skripsi yang kelak membawanya meraih gelar sarjana.
Inilah lima fakta tentang Arhan, dari ruang kuliah, lorong rumah kayu masa kecil, hingga garis putih lapangan yang ia tinggalkan dengan cara unik.
1. Skripsi yang Menyentuh Sepatu

Foto/Istimewa
Di tengah riuh stadion dan sorak penonton, Arhan tetap menapaki ruang kuliah. Meski disibukkan jadwal padat bersama timnas Indonesia dan klub Bangkok United, ia baru saja menuntaskan sidang proposal skripsinya di Universitas Dian Nuswantoro, satu langkah terakhir sebelum sidang akhir.
Judul skripsinya: “Peran Brand Ambassador, Social Media Marketing dan Brand Familiarity dalam Meningkatkan Penjualan pada Sepatu Sepak Bola Mizuno.” Sebuah topik yang tak jauh dari dirinya sendiri: kaki yang melesat di lapangan kini menjadi bagian dari penelitian tentang strategi promosi di industri olahraga.

Foto/Dok.LUDUS.id
“Deg-degan karena jarang presentasi, tapi lega karena sudah sidang proposal. Revisi pasti ada, tapi akan saya selesaikan sebelum sidang akhir. Target saya wisuda November tahun ini,” ujar Arhan, suara mengandung lega dan tekad.
Satu tahun ia mengulik data, survei, dan analisis, semua di sela latihan dan pertandingan. Sebagai brand ambassador Mizuno, Arhan bukan sekadar menulis teori; ia menyelami pengalaman nyata yang dijalani setiap hari. Sepak bola dan studi manajemen menjadi lemparan panjang yang sama-sama menuntut dedikasi dan kerja keras, membuktikan bahwa Arhan tak hanya kuat di lapangan, tapi juga di ruang akademik.
2. Dari Rumah Kayu ke Rumah Permanen

Foto/Istimewa
Arhan lahir di Blora, Jawa Tengah. Rumah keluarganya dulu berdinding kayu, berlantai tanah, dan jauh dari gemerlap stadion. Namun, pada 2022, rumah itu direnovasi total oleh pemerintah daerah dengan dukungan sponsor. Bupati Blora dan pihak swasta terlibat langsung dalam pembangunan rumah permanen itu.
September 2022, rumah baru itu diresmikan. Liputan media menampilkan kontras yang menyentuh: dari sederhana menjadi layak, dari kayu menjadi bata, dari simbol keterbatasan menjadi monumen harapan. Di sana, orang bisa melihat bahwa setiap lemparan jauh Arhan bukan sekadar teknik, melainkan juga perjalanan keluar dari tanah kampung menuju panggung Asia.
3. Lemparan Maut yang Melewati Aturan

Foto/Dok.LUDUS.id
Di lapangan, Arhan dikenal karena “long throw-in” yang bisa melesat sejauh 35–45 meter. Lemparan itu sering menjadi assist langsung, contoh paling jelas adalah saat gol Egy Maulana Vikri ke gawang Vietnam di Kualifikasi Piala Dunia 2026 (21 Maret 2024). Dalam ajang AFF 2024, lemparannya juga kembali berbuah gol.
Bahkan pernah ada momen ketika lemparan jauhnya nyaris langsung masuk ke gawang lawan, seperti melawan Yordania U-23. Sayang, aturan sepak bola tak mengizinkan gol lahir langsung dari lemparan ke dalam. Lemparan maut itu sudah menjadi trademark, semacam tanda tangan yang hanya dimiliki oleh bek asal Blora ini.
4. Debut “Paling Singkat” di Korea Selatan

Foto/Instagram/Suwon FC
Saat pertama kali turun untuk Suwon FC di K League 1 (26 Mei 2024 vs Jeju United), Arhan mendapat kartu merah sekitar tiga menit setelah masuk. Peristiwa ini terdokumentasi di berbagai laporan pertandingan.
Momen itu menjadi semacam ironi: di Jepang, ia dikenang karena disiplin dan kemampuan bertahan; di Korea Selatan, ia justru mengawali karier dengan catatan pahit. Tapi seperti banyak pemain lain, dari kegagalan singkat itulah ketangguhan ditempa.
5. Dari “Nganter Kakak” Jadi Bek Timnas, Cerita Bibit Blora

Foto/Istimewa
Arhan awalnya hanya mengantar kakaknya latihan ke SSB Putra Mustika, Blora; dari situ ia ikut bergabung, lalu naik ke SSB Terang Bangsa dan akademi PSIS sebelum menembus timnas.
Kisah itu sederhana, bahkan nyaris klise: seorang adik yang awalnya sekadar menemani, justru yang kelak berdiri di lapangan internasional, mengenakan merah-putih. Tapi dari sana kita tahu, kebetulan kecil bisa menjadi jalan takdir yang panjang.

Viralnya kabar perceraian membuat banyak orang lupa bahwa Arhan adalah manusia dengan sisi-sisi lain. Ia seorang mahasiswa yang serius menyelesaikan skripsi, anak kampung yang rumahnya dulu berdinding kayu, bek dengan senjata lemparan maut, pemain yang pernah menelan debut pahit di Korea, sekaligus adik kecil yang ikut SSB hanya karena menemani kakaknya.
Kasus perceraian yang kini disidangkan memang menyedot perhatian publik. Namun, lima fakta ini mengingatkan bahwa Pratama Arhan lebih dari sekadar berita viral. Ia adalah representasi perjalanan panjang seorang anak Blora yang belajar, jatuh, bangkit, dan tetap melempar jauh, baik di dalam maupun di luar lapangan.
Albert Camus pernah menulis: “Everything I know about morality and the obligations of men, I owe it to football.” Dari Arhan kita belajar: hidup, seperti sepak bola, selalu memberi kesempatan untuk melempar jauh sekali lagi, meski tak semua lemparan tepat sasaran.

Foto/Instagram/Pratama Arhan
Barangkali di situlah inti seorang atlet: hidupnya bukan hanya 2 x 45 menit, bukan hanya satu musim, bahkan bukan hanya satu pernikahan. Hidupnya adalah lemparan jauh yang tak selalu sampai ke gawang, tapi terus dilontarkan, seperti harapan yang tak pernah habis.
Dan dari Pratama Arhan, dengan nama lengkap Pratama Arhan Alif Rifai, kita belajar satu hal lagi: bahwa hidup, sebagaimana sepak bola, selalu memberi kita kesempatan untuk melempar jauh sekali lagi.
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!