Sutjiati Narendra: Tubuh yang Tak Akan Pernah Selesai Bergerak

Ludus01

0
0

Catatan tentang Sutjiati Kalenaritma Narendra, senam ritmik, dan babak baru kehdidupannya

Foto: Darwis Triadi

Foto: Darwis Triadi

Tubuh, sering kita kira, adalah milik paling pribadi. Kita rawat ia demi sehat, kita keluhkan jika lelah, kita tuntut agar tampil sesuai kehendak hati. Tapi di dunia Sutjiati Narendra, tubuh bukan lagi milik personal. Ia menjadi instrumen. Sebuah medium. Bahkan, kadang: beban yang harus disempurnakan.

Selama bertahun-tahun, selama delapan hingga sepuluh jam setiap hari, tubuh itu ia latih dalam ruang senam yang tak kenal kompromi. Bukan empat jam seperti yang kita bayangkan sebelumnya. Tapi delapan. Sepuluh. Ia berlatih bukan hanya demi kelenturan atau luwesnya gerak. Ia menuntut tubuhnya tunduk. Lengkung bahu tak boleh meleset. Punggung tak boleh goyah. Pinggul harus seimbang. Dan lengan, oh lengan itu harus mengalir seperti pita yang menari di udara. Tak lebih. Tak kurang.

Tubuhnya kurus. Tapi bukan demi pujian. Bukan demi tren kecantikan Instagram. Kurus adalah tuntutan profesi. Dunia senam ritmik memahat tubuh seperti patung marmer Yunani: estetika tak boleh lepas dari logika. Maka ia menyusun dietnya dengan ketat. Kalori menjadi mata uang. Asupan dipilih seperti memilih kata dalam puisi. Tak ada ruang untuk gula yang manja atau lemak yang nakal. Makan adalah fungsi, bukan perayaan.

Sutjiati lahir di Amerika Serikat. 13 Februari 2004. Ia besar di New York. Dalam darahnya mengalir dua dunia: Barat yang penuh peluang dan Timur yang penuh harapan. Ketika ia memilih mewakili Indonesia, itu bukan keputusan ringan. Ia meninggalkan sistem, pelatihan, dan kesempatan menjadi bagian tim nasional Amerika Serikat. Tapi ia kembali ke akar. Ia mempersembahkan tubuhnya untuk merah-putih. Bukan untuk sorak-sorai. Tapi untuk makna.

Foto: Darwis Triadi dan Roberto Perkasa/Zulul

Foto: Darwis Triadi dan Roberto Perkasa/Zulul

Dan makna itu menjelma medali di panggung nasional. Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021, ia membela Provinsi Lampung dan mempersembahkan dua medali emas dan satu perak dari cabang senam ritmik. Tanpa banyak sorotan. Tanpa gegap gempita. Tapi dengan dedikasi yang nyaris tak terbayangkan.

Meski begitu, ketika SEA Games 2021 tiba, tubuhnya tak diberangkatkan. Bukan karena cedera. Bukan karena prestasi yang menurun. Tapi karena senam ritmik tak termasuk dalam daftar cabang yang didukung. Dunia olahraga, seperti dunia lain, punya politiknya sendiri. Dan tak semua keindahan mendapat tempat. Sutjiati hanya bisa menerima. Dunia terkadang tak adil, bahkan untuk tubuh yang setia.

Kini, setelah tubuhnya tak lagi dituntut menari di arena, ia memilih menuntut ilmu—masih tentang tubuh, tapi dari sisi lain: manajemen. Ia melanjutkan pendidikan di GBSB Global Business School, Barcelona, mengambil jurusan Manajemen Olahraga (Sports Management). Sebab tubuh ini bukan hanya untuk ditampilkan, tetapi juga untuk dikelola. Ia tahu betul, tubuh atlet adalah aset yang harus dipahami bukan hanya dengan keringat, tapi juga dengan ilmu.

Namun bahkan tubuh yang paling setia pun butuh istirahat. Setelah PON XXI kemarin, Sutji memutuskan untuk berhenti dari dunia senam. Bukan karena menyerah. Tapi karena merasa waktunya sudah tiba. Ada tawaran yang datang dari dunia yang sama sekali lain: dunia film, dunia hiburan. Ia menerimanya. Dan ia merasa: ini transisi yang pas.

“Aku merasa ini adalah sesuatu yang benar-benar ingin aku lakukan,”

Tapi ia tahu dunia ini berbeda. Dunia hiburan tidak menuntut lengkung tubuh, tapi mungkin menuntut kesiapan mental yang lebih pelik. Ia bersiap. Ia belajar lagi. Dan tubuhnya masih setia. Hanya kini, gerakannya bukan untuk lomba, tapi untuk layar.

Ia memperlakukan dunia hiburan dengan pendekatan yang sama seperti saat ia menjadi atlet. Disiplin. Fokus. Tekun. Ia menjaga kebugarannya dengan pilates, jogging, lari, dan jalan kaki. Ia tetap berolahraga setiap hari, menjaga tubuh tetap ideal, tapi kali ini bukan demi poin artistik di papan skor, melainkan demi kesehatan dan keberlanjutan sebagai perempuan yang aktif. Beratnya masih sama, seperti waktu jadi atlet: 54 kilo dengan tinggi 165 cm.

Foto: Dok. Pribadi

Foto: Dok. Pribadi

Polanya pun tak berubah: makan makanan sehat dan bergizi, menghindari makanan olahan, dan tetap memandang tubuhnya sebagai sesuatu yang harus dihormati. Bukan diperas. Bukan ditindas. Tapi diajak kerja sama. Tubuh ini, yang dulu bicara lewat pita dan bola, kini bicara lewat layar, kamera, dan naskah.

Dan seperti pita yang dulu ia ayunkan di udara, kini ia pun mengayun langkah—menuju dunia yang masih samar, tapi penuh kemungkinan.

Kemungkinan itu kini mulai menjadi kenyataan. Ia telah menjalani syuting perdana untuk film aksi berjudul 23 Detik, disutradarai oleh Peter Taslim dan Ronaldo Samsara. Ini bukan sekadar coba-coba, bukan pula persinggahan. Ini langkah awal yang konkret. Dunia film, dengan segala tantangannya, telah menyambutnya. Dan Sutji, dengan segala bekal kedisiplinan dan daya tahan mentalnya sebagai mantan atlet, merasa siap menyelami dunia baru itu.

Barangkali, tubuh itu tak pernah benar-benar selesai. Tapi ia terus menjadi. Terus bergerak. Dan dalam setiap menjadi itu, Sutji selalu memilih jalan yang penuh dedikasi. Dari ruang senam yang hening ke set film yang ramai. Dari arena sunyi ke layar yang menyala. Tubuhnya tetap bicara. Hanya mediumnya yang berubah.

Dan mungkin, di situlah letak keindahan sesungguhnya: bahwa seorang perempuan boleh mengatur ulang hidupnya, memilih babak baru, dan tetap setia pada tubuh yang ia bentuk sendiri.

Tubuh yang dulu menari demi bangsa, kini menari demi dirinya sendiri.

Barangkali, rekaman gambar berikut adalah membenarkan bahwa tubuh itu tak pernah benar-benar selesai, ia akan terus bergerak! Dan dunia hiburan adalah sasarannya.

Foto: Yogi Dwi

Foto: Yogi Dwi

Foto: Darwis Triadi

Foto: Darwis Triadi

Foto: Chesoen Tan

Foto: Chesoen Tan

Foto: Yogi Dwi

Foto: Yogi Dwi

Foto: Brian Karundeng

Foto: Brian Karundeng

Model:
Sutjiati Narenda
– Pesenam Ritmik National
– Peraih Medali Emas PON Papua 2021

Busana:
Koleksi Pribadi

Fotografer:
Darwis Triadi, Chesoen Tan, Roberto Perkasa & Zulul, Yogi Dwi dan Brian Karundeng

Lokasi:
Studio Darwis Triadi, Kintamani, Ubud, Kuta Selatan
Kemang– Jakarta & Bali

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!