Taekwondo di Balik Sepak Bola: Zlatan Ibrahimovic, Sabuk Hitam yang Menjadi Striker Dunia
Ludus01


LUDUS - Ada yang ganjil dalam tubuh Zlatan Ibrahimovic. Ia seorang striker, pencetak gol dari garis depan sepak bola Eropa, tetapi tubuhnya sering bergerak dengan kelenturan seorang pendekar. Ia melompat, bukan sekadar meloncat untuk menyundul bola, melainkan seakan mematahkan udara dengan tendangan memutar. Ia menjangkau bola setinggi dada lawan, lalu menyepaknya dengan gerakan yang lebih mirip jurus bela diri ketimbang teknik ortodoks sepak bola.

Foto/Instagram/Zlatan Ibrahimovic
Rahasia itu bukan mitos. Zlatan adalah pemegang sabuk hitam Taekwondo. Ia meraih sabuk hitam secara sah pada usia 17 tahun di Malmo, di klub Taekwondo Enighet, sebuah pusat latihan yang menekankan disiplin tubuh dan jiwa. Kemudian pada 2010, Federasi Taekwondo Italia menganugerahinya sabuk hitam kehormatan, bukan karena ia bertanding di matras, melainkan karena tubuhnya di lapangan hijau telah jadi duta tak langsung Taekwondo: disiplin yang menjelma estetika.

Di Malmo, kota kelahirannya, Zlatan kecil tumbuh di lingkungan keras, anak imigran Balkan yang mengenal dingin jalanan lebih dulu daripada kenyamanan stadion. Taekwondo menjadi sekolah sunyi baginya. Ia belajar menekuk lutut, menendang udara, mengulang gerakan yang sama sampai tubuhnya hafal di luar nalar. Kesabaran itu berbeda dengan sepak bola yang hiruk pikuk. Di matras, ia sendirian. Di lapangan, ia bagian dari sebelas.

Foto/Istimewa
Barangkali itulah mengapa gol-golnya sering tampak mustahil. Tendangan akrobatiknya ke gawang Inggris pada 2012, dari jarak 30 meter, bukan hanya sebuah gol. Itu perwujudan dari tubuh yang dilatih Taekwondo: kaki yang menjelma pedang, udara yang bisa dipotong, ruang yang seakan dilipat. Seorang pemain bola lain mungkin menunggu bola jatuh; Zlatan memilih menjemputnya di udara, dengan gestur seorang pendekar.
Tak ayal, Ibra mampu bikin gol dengan gerakan-gerakan ciamik seperti salto yang indah. Dari taekwondo juga, pria asal Swedia itu turut terbantu untuk bergerak di rumput hijau dan bisa berduel dengan lawan.

Foto/Instagram/Zlatan Ibrahimovic
Sepak bola sering mengajarkan kolektivitas: operan, strategi, taktik tim. Taekwondo mengajarkan yang berbeda: konsentrasi pada satu titik, keberanian menghadapi lawan, kehormatan pada gerak tubuh sendiri. Dalam diri Zlatan, keduanya bertemu, menjadi paradoks yang justru membuatnya unik. Ia kerap dituduh arogan, terlalu individualistis, terlalu keras kepala. Namun bukankah bela diri selalu mengandung sedikit kesendirian? Pada akhirnya, yang berdiri di atas matras adalah satu orang, satu tubuh, satu jiwa.
Zlatan, dalam seluruh kesombongannya yang legendaris, mungkin sedang melanjutkan pelajaran dari Taekwondo: bahwa tubuh bukan sekadar alat, melainkan pernyataan. Tendangan salto, gol tumit, akrobat yang seakan mustahil, itu bukan hanya hiburan penonton, melainkan puisi dalam bahasa tubuh.

Foto/Instagram/Zlatan Ibrahimovic
Dan sepak bola mencatat keindahan itu dengan angka-angka: Di klub, ia meraih gelar liga di Belanda bersama Ajax, di Italia bersama Juventus, Inter Milan, dan AC Milan, di Spanyol bersama Barcelona, di Prancis bersama Paris Saint-Germain, bahkan di Amerika bersama LA Galaxy ia masih bersinar. Total ia mengoleksi lebih dari 30 trofi utama sepanjang kariernya. Ia juga menjadi top skor sepanjang masa Paris Saint-Germain sebelum akhirnya dilampaui Kylian Mbappe.
Di tim nasional Swedia, ia mencatat 122 penampilan dan 62 gol, menjadikannya pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah timnas. Ia bermain di dua Piala Dunia dan empat Piala Eropa, meski Swedia tak pernah melangkah terlalu jauh. Namun setiap kali Zlatan mengenakan seragam kuning-biru, selalu ada rasa percaya bahwa keajaiban bisa datang dari kakinya.

Dan, setelah gantung sepatu di AC Milan pada 2023, Zlatan tak lagi berlari di lapangan. Tetapi ia masih berdiri di lingkaran permainan, meski dengan peran lain: sebagai penasihat senior Milan, menjaga aura dan tradisi klub. Ia juga hadir di ruang-ruang komersial: duta brand olahraga, ikon gaya hidup, sosok yang tubuhnya masih jadi papan iklan. Usianya sudah 42 tahun, rambutnya mulai memutih, tetapi sorot matanya tetap keras, seperti pendekar yang tahu jurusnya belum habis.
Dan siapa bisa melupakan perpisahannya di San Siro? Stadion berdiri, 70 ribu orang bertepuk tangan, sementara Zlatan menahan air mata. Dalam pidatonya, ia berkata: “It’s too difficult, too many emotions. I will see you around, if you’re lucky. Forza Milan and goodbye.” --kalimat yang sederhana, tapi dari seorang yang sepanjang hidupnya tak pernah benar-benar sederhana.

Foto/Instagram/Zlatan Ibrahimovic
Barangkali itulah sebabnya, sebulan lalu, dunia dibuat terkejut oleh sebuah foto. Zlatan berada di Bali. Ia berdiri di Pura Tirta Empul, Gianyar, melakukan ritual melukat: membasuh tubuh dengan air suci, seakan mencuci ulang jiwa. Di tempat yang selama berabad-abad dipercaya menyimpan kesucian, Zlatan Ibrahimovic menundukkan tubuhnya. Dari Malmo ke Milan, dari Barcelona ke Paris, dari Los Angeles ke Bali, ia membawa tubuhnya ke altar-altar berbeda. Dan di Bali, tubuh yang selama ini jadi mitologi, mendadak jadi manusia: seorang peziarah yang ingin dibersihkan.

Foto/Instagram/Zlatan Ibrahimovic
Sabuk hitam Taekwondo itu mungkin sudah tersimpan di lemari, bukan di pinggang. Namun jejaknya masih terlihat di setiap arsip pertandingan, di setiap gol yang diputar ulang jutaan kali. Nietzsche pernah menulis: “One must still have chaos in oneself to be able to give birth to a dancing star.” Zlatan adalah kekacauan itu, yang menari, melompat, dan menendang bola dengan cara seorang petarung dari Malmo.

Di ujung kariernya, Zlatan membuktikan: legenda bukan hanya soal berapa gol yang dicetak, tetapi juga tentang bagaimana tubuh bisa menjelma mitologi.


APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!