Terpeleset di Paris: Anthony Ginting, Luka yang Tak Terlihat di Kejuaraan Dunia 2025

Ludus01

LUDUS - Suasana di Adidas Arena, Paris, sore itu penuh ketegangan. Di tribun, sorak-sorai penonton bercampur dengan dentum shuttlecock yang memantul dari raket ke raket. Anthony Sinisuka Ginting, andalan Indonesia, membuka laga dengan semangat tinggi. Pukulan tajamnya menembus sisi kanan pertahanan Toma Junior Popov, pebulutangkis tuan rumah Prancis, memancing harapan. Namun di balik ritme cepat dan reli panjang yang disajikan, ada semacam bayang-bayang: kegelisahan yang tak terlihat, dan sebuah pertandingan yang pada akhirnya, bisa jadi meninggalkan luka di dalam hati Ginting.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Ginting kalah di laga babak pertama Kejuaraan Dunia 2025. Skor akhir mencatat 18-21, 21-19, 23-25. Angka-angka itu tak pernah sepenuhnya mewakili rasa getir yang mungkin ia rasakan. Betapa tipis jarak antara menang dan kalah. Betapa keras tubuhnya melawan, betapa rapuh sekaligus teguh mentalnya bertahan.

Gim pertama memperlihatkan Popov bermain dengan sabar, memanfaatkan jangkauan panjang tangannya. Ginting sempat menyamakan skor 16-16 dengan percepatan tempo, sebuah tanda bahwa ia masih menguasai momentum. Tapi kesalahan kecil menghukum dirinya. Shuttlecock tipis keluar, reli panjang diakhiri dengan keunggulan lawan. Gim berakhir 18-21, dan rasa frustrasi pun menempel.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Di gim kedua, Ginting mencoba bangkit. Ia memimpin 10-7, lalu memperlebar keunggulan menjadi 14-10. Smash tajamnya di depan net menggema, seperti sebuah perlawanan keras kepala. Namun keunggulan itu nyaris runtuh saat shuttlecock tersangkut di raketnya. Sejenak publik menahan napas. Tapi Ginting menunjukkan kelasnya, menutup gim kedua dengan 21-19. Paris pun seakan mengapresiasi: tepuk tangan bergemuruh, harapan kembali tumbuh.

Lalu datang gim ketiga. Gim penentu, gim yang penuh drama. Ginting unggul, disusul, menyusul lagi. Ia menyentuh match point lebih dulu di posisi 20-19. Satu langkah lagi. Namun pada momen itu, saat seluruh mata menatap ke arahnya, ia terpeleset. Tubuhnya goyah, kaki kirinya terasa kram. Satu titik rapuh yang langsung mengubah alur sejarah pertandingan. Dari sana, Popov mengambil celah, dan skor akhir 23-25 menutup jalan Ginting.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Selepas pertandingan, Ginting tak banyak berkilah. Ia membagikan ceritanya kepada tim humas PBSI, tapi jelas pasti ada sesak di dalamnya.

“Game pertama setelah interval, Toma ada berubah main sedikit dan saya kurang siap, jadi banyak mati-mati sendiri. Game kedua saya sudah lebih siap. Game ketiga pun sebenarnya sama, selalu ketat dari awal, tapi di poin kritis saya terpeleset dan merasa sedikit kram di kaki kiri.”

Kalimatnya sederhana, tapi setiap kata membawa bobot. Ia tidak menuduh nasib, tidak menyalahkan tubuhnya. Hanya sebuah pengakuan bahwa pertandingan adalah duel bukan hanya fisik, tapi juga mental. “Tinggal sekarang bagaimana saya mengembalikan turnamen feeling,” katanya. Kalimat itu mengisyaratkan bahwa kalah pun bisa jadi cara untuk belajar, untuk menemukan kembali irama yang hilang.

Bagi publik, kekalahan ini mungkin mengecewakan. Ginting adalah satu dari sedikit pemain yang mampu menjadi tumpuan Indonesia di panggung dunia. Tetapi di balik skor dan statistik, ada sesuatu yang lebih intim: pergulatan seorang atlet dengan dirinya sendiri.

Sejak kembali bertanding di Jepang, lalu China, hingga Paris, ia menegaskan tidak ada masalah dengan tangannya, cedera yang sebelumnya sempat menghantui. “Cuma ya tetap harus ada maintenance,” ucapnya. Itu artinya, tubuhnya bukan hanya mesin, melainkan medan perang yang terus ia rawat.

BACA JUGA: BWF World Championships 2025: Jonatan Christie Awal Manis di Paris, Revans atas Luka Olimpiade

Kekalahan dari Popov pun memperlihatkan sesuatu yang lebih universal: betapa tipis garis antara kemenangan dan kekalahan, antara kegemilangan dan kegetiran. Satu terpeleset, satu kram, bisa merobohkan segala rencana.

Paris kali ini memang meninggalkan luka. Tapi luka itu bukan akhir. Setiap pertandingan, seperti yang diakui Ginting, adalah ruang untuk mengasah mental dan strategi. Dunia bulu tangkis mengenalnya sebagai pemain yang penuh determinasi, pemain yang pernah mengalahkan para juara besar, dan selalu kembali bangkit setelah jatuh.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Mungkin inilah yang membedakan seorang atlet besar: bukan hanya soal menang, tapi soal bagaimana ia menghadapi kalah. Dalam terpelesetnya di match point itu, publik melihat rapuhnya manusia, sekaligus kekuatan untuk terus melangkah.

Di Adidas Arena, langkah Ginting terhenti lebih cepat dari yang diharapkan. Tapi di hati penonton, ada semacam janji: bahwa setiap luka akan menjelma jadi cerita, setiap terpeleset akan berubah jadi bekal untuk berdiri lebih tegak. (**)

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!