Tujuh Emas Syahreza Azhar Nasution Antar UNJ Juara Umum Gajah Mada Swimming Competition 2025

Ludus01

Di balik riuh kolam Tirta Krida Sleman, lahirlah cerita tentang seorang anak Jakarta bernama Syahreza Azhar Nasution yang dengan napas panjangnya mengubah lintasan renang menjadi panggung emas.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

LUDUS - Di bawah langit Yogyakarta yang perlahan temaram, 30 Agustus 2025, peluit terakhir wasit memecah udara lembap Kolam Renang Tirta Krida, Sleman. Riuh tepuk tangan penonton menggema, sebagian mengibarkan bendera universitas masing-masing, sebagian lain bersorak menyebut nama kawan atau saudara yang baru saja menutup perlombaan. Dari balik semua sorak itu, muncul satu kesimpulan yang tak terbantahkan: Universitas Negeri Jakarta, dengan 18 emas, 11 perak, dan 4 perunggu, menutup hari sebagai juara umum Gajah Mada Swimming Competition 2025.

Namun kemenangan itu bukanlah sekadar angka yang dicatat panitia di papan hasil. Ia punya wajah, punya napas, punya denyut yang bisa kita tangkap dari seorang anak muda bernama Syahreza Azhar Nasution, lahir di Jakarta pada 7 April 2004 dari pasangan Azhari dan Sri Mulyani.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Tujuh kali namanya disebut lantang oleh pengeras suara, tujuh kali ia berdiri di atas podium tertinggi, tujuh kali pula warna emas menggantung di dadanya. Nomor 100 meter gaya bebas, 200 meter gaya bebas, dan 200 meter gaya ganti putra adalah saksi bahwa ia sedang menulis bab baru dalam hidupnya.

“Kami senang bisa mempersembahkan prestasi terbaik buat Universitas Negeri Jakarta,” katanya sederhana, nyaris lirih, tapi justru dari kesederhanaan itu terpancar keyakinan. Masih dengan tubuh basah yang berkilat oleh cahaya lampu kolam, senyum kecilnya seolah menyingkap rahasia: bahwa jalan panjang menuju emas tak pernah ditulis dengan kebetulan.

Di balik setiap kemenangan, ada rutinitas yang kadang tak terlihat. Syahreza terbiasa bangun lebih pagi dari kebanyakan mahasiswa seusianya. Saat teman-temannya masih meraba layar ponsel, ia sudah meluncur ke air, menuntaskan kilometer demi kilometer. Lintasan kolam menjadi buku harian yang ia isi tanpa kata-kata, hanya dengan gerakan tangan, hembusan napas, dan ketahanan tubuh.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

UNJ datang ke Sleman dengan delapan perenang andalan. Hasilnya menunjukkan dominasi mutlak. Dari total 18 emas, dua belas datang dari nomor individual. Syahreza menyumbangkan tujuh medali (3 individual dan 4 dari estafet), Zeldi Oktaviansyah juga tiga dari gaya dada, Khairunnisa Aliya Azizah tiga dari gaya punggung, dan Macheilla Rindu Andyra tiga dari gaya dada. Enam emas lainnya dipanen lewat nomor estafet (putra, putri, dan campuran) menegaskan bahwa UNJ bukan hanya kuat secara individu, melainkan juga padu sebagai satu tim.

Posisi kedua ditempati Tim Renang Universitas Padjajaran dengan 6 emas, 6 perak, dan 6 perunggu. Peringkat ketiga ditempati Universitas Pelita Harapan dengan 5 emas dan 1 perak.

Di balik dominasi itu, Gajah Mada Swimming Competition sendiri semakin tegak sebagai turnamen yang punya arti. Sejak pertama kali digelar, kompetisi ini menjadi ruang temu talenta muda dari berbagai universitas dan klub.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Tahun ini diikuti 12 tim: Universitas Padjajaran, Universitas Pelita Harapan, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Bandung, Aquatik Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Diponegoro, UKMR-UB, Diponegoro Aquatic Club, Universal Aquatic Club, dan tentu saja UNJ.

Ajang ini bukan hanya soal medali, tetapi juga tentang peta masa depan renang Indonesia: siapa yang menonjol, siapa yang harus diperhatikan, siapa yang mungkin suatu saat berdiri membawa nama bangsa di arena yang lebih besar.

Di sinilah Syahreza berdiri, di antara sorak kampus dan harapan yang lebih jauh. Ia adalah perenang universitas, tapi kisahnya memberi refleksi: olahraga di kampus bukan sekadar pengisi jadwal ekstrakurikuler. Ia adalah ruang di mana kedisiplinan akademik bisa berjalan seiring dengan ketekunan fisik, di mana ruang kuliah dan kolam renang sama-sama menjadi medan belajar.

Yogyakarta sore itu menyimpan lebih dari sekadar medali. Ia menyimpan sebuah gambaran: seorang anak Jakarta yang lahir dari keluarga yang menyukai olahraga, berenang bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk universitas, untuk kota, untuk mimpi yang lebih besar. Dan ketika cahaya matahari terakhir menutup perlombaan, mungkin ia sedang bermimpi diam-diam, bahwa dari kolam renang ini, dari lintasan 200 meter yang diulanginya berkali-kali, suatu saat ia akan meluncur lebih jauh, mengibarkan Merah Putih di arena yang lebih luas. (**)

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!