

Dari Sidoarjo hingga Swiss, dan berlabuh di Dubai kini. Dari podium kejayaan hingga senyapnya hari-hari pasca-pertandingan, Umar Syarief menapaki jalan panjang seorang pendekar. Ia adalah legenda yang pernah menggetarkan matras dunia, dan kini menjelma menjadi pelita bagi mereka yang nyaris padam setelah sorotan lampu meredup
Nama Umar Syarief bukan sekadar tercatat dalam sejarah karate Indonesia. Ia hidup di dalamnya. Dalam kategori kumite kelas +84kg, Umar adalah raksasa yang menorehkan tinta emas: 12 medali emas SEA Games dari tahun 1997 hingga 2013, serta perak di Asian Games 2010.
Namun jauh sebelum kejayaan itu, Umar adalah anak laki-laki yang liar dan sulit diatur. Semasa kecil, ia dikenal nakal, suka berkelahi, dan tak pernah bisa diam. Orang tuanya, dalam keputusasaan yang penuh harap, memasukkannya ke klub karate. Alih-alih menjadi tenang, Umar justru makin lihai bertarung. Tapi hidup, seperti dalam seni bela diri, selalu membuka jalan bagi perubahan.

Titik balik datang saat ia dipanggil masuk pelatnas di usia 18 tahun. Di sanalah ia belajar bahwa kekuatan bukan soal adu pukulan, tapi tentang kedewasaan, dedikasi, dan cinta pada negeri. Umar yang dulu mencari lawan di jalanan, kini menemukan makna dalam kesunyian latihan dan kibaran Merah Putih.
Setelah masa keemasan itu, Umar memilih menjalani babak baru. Ia tinggal di Uzwil, Swiss, bersama sang istri Ai Lee Syarief—seorang karateka asal Swiss yang lahir di Malaysia. Di sana, ia membangun Three Elements Dojo, tempat ia melatih sekitar 70 karateka dari berbagai usia, mayoritas anak-anak muda yang ia bentuk bukan hanya sebagai atlet, tapi sebagai manusia tangguh.
Namun, arah angin berubah. Kini Umar menetap di Dubai, mendampingi anaknya melanjutkan sekolah, sekaligus memperpendek jarak untuk pulang ke Indonesia. Sebab ia belum bisa benar-benar melepaskan tanah air dari hatinya.

Semangat Umar nyaris padam. Umar menyaksikan sendiri betapa getir nasib para mantan atlet di negeri ini. Ia tak menutup-nutupi kenyataan itu:
“Intinya, setelah begitu lama perjuangan untuk Merah Putih, tak ada perhatian. Saat juara, kita jadi manusia mulia. Tapi setelah pensiun, banyak yang menderita. Kasihan. Ada juara SEA Games yang sekarang nyambi ngojek.”
Dari luka itulah visinya tumbuh. Umar ingin mengajak masyarakat dan sesama mantan atlet untuk terus bergerak, hidup sehat, dan menemukan kembali martabat dalam aktivitas yang penuh makna.
Bagi Umar Syarief, karate bukan sekadar sabuk, podium, atau medali. Karate adalah hidup. Dan sebagai pendekar sejati, ia tahu: pengabdian tidak pernah benar-benar selesai. Ia hanya berganti bentuk.

Sekarang, usai pensiun dari dunia karate, ia tak lantas menepi. Justru sebaliknya. Dunia kepelatihan menjadi medan baru perjuangannya. Tak hanya membina atlet, ia juga menjadi bagian dari tim edukasi Zumba Fitness asal Amerika Serikat. Di sana, ia dipercaya sebagai Master Trainer untuk program Group Fitness, khususnya Functional HIIT Workout yang dikenal dengan nama Strong Nation, dan menjadi duta program tersebut untuk Indonesia.
Dan, di balik semangatnya, tersimpan getir yang tak bisa disembunyikan. Ia bicara apa adanya. Tentang bagaimana para atlet dulunya dielu-elukan saat mempersembahkan medali untuk Merah Putih. Tapi setelah pensiun? Banyak yang seolah dilupakan.
“Begitu juara, kita jadi manusia mulia. Tapi setelah pensiun, hidup malah menderita. Ada juara SEA Games yang sekarang nyambi ngojek,” katanya lirih. Suaranya datar, tapi menyimpan luka yang dalam.

Dan, hari Rabu, 21 Februari 2025, pukul 21.19 WIB, dari kegelisahannya itu, ia mengirimkan surat terbuka, khusus untuk LUDUS.ID, sebagai keresahan hatinya yang melihat banyak mantan atlet hidupnya kurang beruntung dan tak mendapat perhatian layak.
Ia, berani bicara, mengungkapkan isi hati, karena sesuatu yang diyakini benar dan mengungkap sebuah kebenaran. Yang juga dijadikan motivasi.
Inilah surat terbuka yang ditulis Umar Syarief:
Dubai, 21 Februari 2025
Kepada Indonesia, negeri yang selama ini saya bela dengan segenap jiwa dan raga,
Dengan kerendahan hati, izinkan saya menuliskan sepenggal kisah ini. Kisah yang lahir dari peluh, darah, dan air mata—kisah seorang anak bangsa yang memilih untuk mengabdi melalui jalur olahraga. Bukan untuk menuntut atau mengeluh, melainkan untuk membuka mata hati kita bersama: bahwa di balik kejayaan Merah Putih di pentas olahraga, ada banyak hal yang masih harus kita benahi bersama.
Sejak tahun 1996, saya mengabdikan diri sebagai atlet nasional, membawa nama Indonesia di berbagai kejuaraan internasional. Tidak sedikit keringat, darah, dan air mata yang saya korbankan demi Merah Putih. Selama 20 tahun bertarung di atas matras, saya mengalami delapan kali operasi akibat cedera, tetapi saya tidak pernah menyerah. Saya terus berlatih, membiayai sendiri pemulihan saya, dan tetap berjuang agar tetap berada di puncak. Semua itu saya lakukan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kehormatan bangsa.
Saya memulai perjalanan sebagai atlet nasional pada tahun 1996, memasuki Tim Nasional Karate Indonesia. Dari awal, saya tahu jalan ini bukanlah jalan yang mudah. Berlatih dari pagi hingga sore, mengorbankan masa muda, meninggalkan pergaulan dan kehidupan normal seperti remaja lainnya. Semua itu saya jalani dengan satu tujuan: mengibarkan Merah Putih di pentas dunia.

Kejuaraan Dunia di Sun City menjadi salah satu pengalaman awal yang membentuk mental juang saya. Lalu pada tahun 1997, saya mengikuti SEA Games pertama saya, sebuah ajang yang akhirnya menjadi saksi perjalanan panjang saya. Dari tahun ke tahun, saya berjuang mempertahankan dominasi di SEA Games. Selama karier saya, saya berhasil meraih 7 medali emas di nomor perorangan dan 5 medali emas di kumite beregu, total 12 medali emas SEA Games. Bukan sekadar angka, tapi hasil dari ribuan jam latihan, pengorbanan, dan ketahanan menghadapi berbagai tantangan.
Saya tidak hanya membuktikan diri di Asia Tenggara, tetapi juga di level Asia. Tahun 2004, saya menjadi Juara Asia, sebuah kebanggaan yang luar biasa. Di Asian Games, saya juga membawa pulang medali perak dan perunggu. Keberhasilan ini datang dengan harga mahal: delapan kali operasi, proses rehabilitasi panjang, dan biaya yang tidak sedikit. Tapi saya tidak pernah menyerah, karena inilah jalan yang saya pilih dan cintai.
Cedera pertama yang saya alami terjadi pada tahun 2005, saat persiapan SEA Games. Waktu itu, hanya tersisa tiga bulan sebelum kompetisi. Saya tidak bisa menunggu surat rekomendasi dari KONI untuk menjalani operasi karena prosesnya jelas lama. Akhirnya, saya memutuskan untuk datang sendiri ke rumah sakit, ditemani oleh senior saya, Phillip King. Saat itu, dokter mengatakan bahwa operasi hanya bisa dilakukan jika ada surat persetujuan dari KONI. Karena waktu sangat mendesak, saya memutuskan untuk membayar sendiri operasi tersebut. Alhamdulillah, operasi berjalan lancar meskipun otot saya putus satu. Saat SEA Games 2005, ligamen saya masih dalam kondisi cedera, tetapi saya tetap bertanding di tiga kategori dan berhasil meraih tiga medali emas dalam satu ajang.

Pengorbanan saya berlanjut di Asian Games. Pada Asian Games 2006, saya sebenarnya divonis oleh dokter untuk tidak bertanding karena masih dalam masa pemulihan pasca operasi kaki akibat ligamen yang putus. Saya baru menjalani pemulihan selama lima bulan, sedangkan seharusnya butuh sepuluh bulan. Namun, dengan semangat untuk memberikan yang terbaik bagi Merah Putih, saya tetap turun bertanding meskipun hanya bisa bertumpu pada satu kaki. Dengan segala keterbatasan itu, saya tetap berhasil membawa pulang medali perunggu. Perjalanan ini terus berlanjut dengan berbagai cedera yang saya alami akibat frekuensi pertandingan yang tinggi. Bahkan lawan-lawan saya mulai menggunakan strategi untuk mencederai saya karena mereka kesulitan meraih poin. Hingga kini, saya telah menjalani delapan kali operasi, dari kondisi tubuh yang normal hingga mengalami berbagai cedera—semuanya demi Merah Putih.
Dalam beberapa fase karier, saya harus merogoh kocek pribadi untuk mengikuti turnamen dan mempertahankan performa. Dukungan yang seharusnya ada terkadang minim, tetapi saya tetap berpegang pada prinsip bahwa perjuangan sejati datang dari hati. Saya menghadapi berbagai rintangan, termasuk keterbatasan usia yang sempat menghalangi saya bertanding di PON 2012. Namun, saya tidak pernah menyerah. Saya terus berlatih secara mandiri, membiayai turnamen sendiri, dan akhirnya membuktikan bahwa batasan usia tidak relevan jika seseorang masih mampu berprestasi.
Dari tahun 1996 hingga 2016, saya selalu hadir di Pekan Olahraga Nasional (PON), membuktikan bahwa usia bukanlah batas bagi seorang pejuang. Bahkan di usia 40 tahun, saya masih mampu meraih medali emas di PON Jawa Barat. Namun, tidak semua perjalanan berjalan mulus. Ada masa ketika saya diberhentikan secara tidak adil, hanya karena ada pihak yang mungkin tidak senang dengan dominasi saya. Tapi saya percaya, olahraga haruslah tentang siapa yang terbaik, siapa yang paling bekerja keras, siapa yang benar-benar mengabdikan dirinya.
Puncak perjuangan saya terjadi di SEA Games Myanmar 2013. Saat itu, saya berhasil menutup karier dengan meraih medali emas, sebuah pencapaian yang menjadi kebanggaan pribadi dan negara. Namun, kebanggaan itu tidak berlangsung lama.
Setelah pensiun, saya justru menerima kenyataan pahit: saya diberhentikan dari status pegawai negeri. Tidak ada penghargaan yang layak atas pengabdian saya selama dua dekade. Seakan-akan perjuangan saya hanya dihargai selama masih bisa bertanding, tetapi dilupakan setelah pensiun.

Saya mengerti konsekuensi dari seringnya saya tidak masuk kerja karena menjadi pelatih, tapi saya juga tidak menerima gaji selama itu. Namun, bukan itu yang membuat saya sedih, melainkan kurangnya penghargaan atas dedikasi yang telah saya berikan.
Ini bukan hanya tentang saya, tetapi juga tentang bagaimana negara memperlakukan atlet-atlet yang telah mengorbankan segalanya. Banyak atlet yang setelah pensiun tidak memiliki kepastian masa depan. Padahal, negara lain memberikan jaminan bagi atletnya sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi mereka. Indonesia seharusnya bisa lebih baik dalam menghargai para pahlawan olahraga, bukan hanya saat mereka berjaya, tetapi juga setelah mereka gantung sabuk atau sepatu.
Sebagai atlet, kami dituntut untuk selalu juara, berlatih keras, fokus tanpa gangguan. Kami mengorbankan masa muda demi negara, tapi apa yang terjadi setelah kami pensiun?
Saya tidak menyesali perjalanan ini, karena saya mencintai olahraga dan bangga bisa mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia di negeri orang. Namun, saya berharap ke depan, sistem pendukung bagi atlet bisa lebih baik, agar generasi setelah saya tidak mengalami nasib yang sama. Atlet bukan hanya mesin prestasi sementara, tetapi aset bangsa yang harus dihargai sepanjang hayat.
Saya menulis ini bukan untuk membuka luka. Tapi untuk mengingatkan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pejuangnya—termasuk pejuang olahraga.
Hari ini, saya tidak lagi mengejar medali. Tapi saya masih memegang mimpi: agar generasi setelah saya tak harus menanggung beban yang sama. Agar mereka bisa bertarung tanpa rasa takut akan masa depan. Agar ketika mereka turun dari podium, mereka tetap bisa berdiri tegak sebagai manusia yang dihargai dan dimanusiakan.
Saya tidak menyesali perjalanan ini, karena saya telah memberikan yang terbaik untuk Indonesia. Namun, saya berharap ke depan, sistem pendukung bagi atlet bisa lebih baik, agar generasi setelah saya tidak mengalami nasib yang sama. Atlet bukan hanya mesin prestasi sementara, tetapi aset bangsa yang harus dihargai sepanjang hayat.
Saya percaya Indonesia bisa lebih baik. Tapi itu hanya mungkin terjadi jika kita mulai mendengarkan—bukan hanya saat kami menang, tapi juga saat kami pulang dengan luka. Jika negara hadir bukan hanya saat kami naik podium, tapi juga saat kami menatap masa depan yang tak pasti.
Saya mohon dengan tulus: mari kita bangun ekosistem olahraga yang lebih adil, lebih manusiawi. Untuk masa depan atlet, untuk harga diri bangsa, dan untuk kemuliaan Merah Putih.
Karena di balik setiap medali, ada darah, keringat, dan air mata yang tidak pernah terlihat oleh publik.
Dengan hormat,
Seorang Mantan Karateka Nasional
Pejuang yang Telah Memberikan Segalanya untuk Merah Putih
Terima kasih. Salam Olahraga!



APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!