Alarm dari Langit Rusia: Naufal Takdir Al-Bari dan Cerita tentang Keselamatan

Ludus01

Siapa yang punya alasan untuk hidup, hampir bisa menanggung segala cara untuk hidup." — Friedrich Nietzsche

Saya membayangkan. Di lorong rumah sakit G.A. Zakharyin, Rusia, jam digital berdetik pelan. Tak acuh. Di balik pintu kaca ruang intensif, seorang anak muda terbaring, napasnya ditolong mesin. Dua belas hari ia bertahan, seperti dua belas malam yang panjang, ketika doa-doa menembus kaca, menembus jarak ribuan kilometer dari tanah air.

Namanya Naufal Takdir Al-Bari. Baru 19 tahun. Usia yang, kata kita, terlalu muda untuk mengerti bahwa tubuh bisa menolak mimpi. Ia pergi ke Rusia bukan untuk mati, melainkan untuk melompat lebih tinggi, menggenggam udara di atas palang tunggal. Tapi dunia sering tak mengizinkan kita memilih titik di mana tubuh harus berhenti.

“Manusia adalah makhluk yang paling rapuh sekaligus paling berani, karena hanya dalam kerentananlah ia menemui kemuliaan.”
Foto/Gimnastik Indonesia

Foto/Gimnastik Indonesia

Saya membaca rilis resmi dari humas Gimnastik Indonesia. Ada nada getir di balik kalimat Satria Tri Wira Yudha, kawannya sendiri di Pelatnas. Ia berkata, tim sempat diliputi amarah dan kecewa. Mereka ingin menjenguk Naufal, kawan yang terbaring di ruang intensif. Tapi rumah sakit tak memberi izin. Mereka hanya bisa menunggu di luar pintu, sementara waktu berjalan dingin seperti mesin.

“Agak kesel,” begitu Satria menyebutnya. Kesal yang sederhana, tapi sesungguhnya adalah teriakan dari mereka yang merasa dikebiri oleh jarak. Hanya Coach Ferrous, ditemani Mbak Indri, penerjemah bahasa Rusia, yang diizinkan, atau lebih tepatnya, memaksa agar diizinkan, masuk dan menatap wajah Naufal untuk terakhir kalinya.

Saya membayangkan, betapa getirnya rasa itu. Ketika sahabat sendiri berada di batas hidup dan mati, tapi kita hanya bisa menunggu di balik kaca, menumpuk doa, tanpa bisa menyalami tangannya. Bukankah di situ kita belajar bahwa persahabatan, sering kali, diuji bukan di arena pertandingan, melainkan di ruang tunggu rumah sakit?

Federasi mencatat: ia terjatuh dari gerakan yang dianggap terlalu sulit baginya. Takdir kadang terdengar dingin dalam bahasa prosedural. Setelah itu: asrama pelatihan, ruang ICU, para dokter yang berjaga, kedutaan yang turun tangan. Semua bergerak, semua berharap. Tapi di ranjang itu, yang paling bertahan hanyalah bisikan doa.

BACA JUGA: In Memoriam Naufal Takdir Al Bari: Mimpi yang Terhenti di Langit Rusia Usai 12 Hari Bertarung di Ruang Intensif

Media olahraga Rusia pun tersentak. RBC menurunkan laporan bahwa pihak kepolisian Penza telah membuka kasus pidana atas kematian Naufal, dengan dugaan kelalaian dalam penyelenggaraan latihan. “Ada pertanyaan serius tentang bagaimana seorang atlet muda asing dibiarkan mencoba elemen berbahaya tanpa pengawasan memadai,” tulis laporan itu. Dari kota kecil di Rusia, gema investigasi itu meluas: olahraga tidak lagi hanya soal kemenangan, tapi soal tanggung jawab pada nyawa muda.

Sport.ru mengutip pernyataan pejabat olahraga Rusia: “Ini bukan sekadar tragedi olahraga. Ini soal siapa yang bertanggung jawab. Tidak boleh ada ruang bagi kecerobohan ketika nyawa seorang atlet dipertaruhkan.” Kalimat itu menggema getir, seperti menegaskan bahwa tubuh Naufal berhenti bukan hanya karena gravitasi, tetapi juga karena sistem yang lalai menjaga.

Media olahraga Rusia dan internasional menyebut Naufal mengalami cedera leher parah setelah jatuh awkwardly dari high bar ke dalam bak busa. Ia bertahan 12 hari di ruang intensif sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 25 September 2025. Media lokal PenzaInform menulis kronologi dengan dingin: seorang pesenam Indonesia, usia 19, jatuh saat latihan, koma, dan setelah hampir dua minggu perjuangan medis, meninggal. Dari catatan polisi: kasus pidana dibuka atas dugaan kelalaian dalam penyelenggaraan latihan. Dari catatan manusia: sebuah mimpi berhenti terlalu cepat.

Suara itu sampai ke tanah air. Saya, lagi-lagi, membayangkan: di Penza, malam turun lebih cepat. Lampu jalan berpendar. Sementara di Indonesia, ibu, ayah, keluarga, menahan napas menanti kabar di layar ponsel. Jarak menjadi luka: tak ada pelukan, hanya kabar medis.

Ketika berita itu akhirnya datang, berita yang selalu kita tolak untuk dibuka, kita tersadar: usia 19 bisa menjadi awal dan sekaligus akhir.

Apa arti jatuh di negeri asing? Apakah tubuhnya menyerah, ataukah mimpi yang memang terlalu berat dipanggul? Mungkin keduanya. Namun lebih mungkin: dunia hendak mengingatkan bahwa manusia selalu rapuh ketika berlari terlalu jauh dari rumah.

Foto/Instagram/Naufal Takdir Al-Bari

Foto/Instagram/Naufal Takdir Al-Bari

“Setiap lompatan tinggi mengundang risiko jatuh; justru keberanian sejati bukan pada menghindar dari risiko, melainkan mempersiapkan diri agar ketika jatuh tetap bisa bangkit.”

Naufal lahir di Kuala Pembuang, dibesarkan di Gresik, lalu terbang ke Rusia. Sebuah garis perjalanan panjang, seolah menegaskan bahwa mimpi tak mengenal batas-batas geografis. Tubuhnya berhenti di ranjang Penza, tetapi imaji tentangnya, anak muda yang ingin berlari, ingin melayang di udara, akan terus hidup di benak kita.

Namun kisah ini bukanlah milik Naufal seorang. Sejarah olahraga mencatat, banyak atlet yang meninggal bukan di podium, melainkan di lintasan latihan, tempat di mana mimpi justru dirajut.

Nodar Kumaritashvili, atlet luge asal Georgia, meninggal di Whistler, Kanada, pada 12 Februari 2010, hanya beberapa jam sebelum Olimpiade Musim Dingin dibuka. Ia menabrak dinding lintasan pada kecepatan lebih dari 140 km/jam. Tragedi itu menelanjangi betapa rapuh desain keselamatan bisa melawan ambisi manusia.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Lalu, ada Abdullah Hayayei, atlet lempar disabilitas dari Uni Emirat Arab, meninggal pada 11 Juli 2017 di London. Rangka kandang lempar (throwing cage) jatuh menimpanya saat latihan di Newham Leisure Centre. Dunia Paralimpik terguncang. Kasus ini bahkan berujung pada tuntutan hukum terhadap UK Athletics atas kelalaian keselamatan. Seorang ayah, seorang pejuang, terhenti bukan oleh lawan di arena, melainkan oleh kelalaian teknis.

Kemudian, Matteo Franzoso, atlet ski asal Italia, kehilangan nyawanya di lintasan La Parva, Chile. Latihan pramusim berakhir dengan tabrakan hebat dan trauma kepala yang tak bisa diselamatkan.

Foto/Matteo Franzoso/FISI Pentaphoto

Foto/Matteo Franzoso/FISI Pentaphoto

Adrian Lehmann, pelari maraton Swiss, ambruk saat berlatih pada 2024. Serangan jantung mendadak, usia baru 34. Bahkan olahraga yang terlihat “aman” menyimpan risiko tubuh yang tak terduga.

Setiap nama ini: Naufal, Abdullah, Matteo, Nodar, Adrian, adalah pengingat pahit: olahraga bukan hanya tentang rekor dan medali. Ia juga tentang tubuh yang diuji sampai batas. Tentang sistem yang kadang lalai menjaga. Tentang keluarga yang menunggu tanpa pernah siap pada kabar duka.

Kematian di usia muda bukan sekadar berita duka. Ia adalah penanda bahwa setiap mimpi mengandung risiko, setiap langkah bisa meninggalkan luka, dan setiap tubuh, betapapun kuat, memiliki batas.

Langit Rusia yang dingin, asing, seperti tak mengenal nama, menjadi saksi. Di sanalah mimpi seorang anak muda terhenti. Naufal tak pernah sempat mencicipi atmosfir sebuah kejuaraan dunia, yang ironisnya, sebentar lagi, hanya tiga belas hari setelah kepergiannya, 53rd FIG Artistic Gymnastics World Championships ,digelar di tanah airnya sendiri. Ia pun tak pernah menjejak arena SEA Games di Thailand, tempat ia seharusnya berdiri sejajar dengan kawan-kawan seperjuangan.

Mungkin dari langit yang jauh itu, ia tetap menyaksikan. Dengan cara yang kita tak pernah pahami, ia melihat mereka bertanding, mengibarkan nama yang juga dulu ia sematkan pada setiap loncatan tubuhnya: Indonesia. Kita hanya bisa menebak, apakah ada rindu yang menetes di antara bintang-bintang, apakah ada tanya yang menggantung di udara: mengapa mimpi harus berhenti justru ketika pintu-pintu besar baru saja terbuka?

Dan kita, yang tinggal di bumi, hanya bisa menunduk, dengan perasaan yang sulit dijelaskan, menyadari bahwa olahraga, seperti hidup, tak selalu memberi kesempatan untuk sampai ke garis finis.

Di balik air mata keluarga, ada pertanyaan yang menggantung: siapa yang salah? Apakah hanya tubuh Naufal yang “kalah”? Ataukah sistem yang abai terhadap keselamatan?

Tragedi olahraga sering ditutup dengan kalimat standar: “kecelakaan tak terduga.” Namun justru di situlah kelalaian bersembunyi. Arena latihan seharusnya lebih aman dari kompetisi. Audit keselamatan seharusnya rutin, peralatan dicek, protokol dijalankan, pelatih menakar kemampuan atlet dengan bijak.

Federasi internasional, pemerintah, pelatih, sampai penyelenggara pelatnas punya tanggung jawab bersama. Tidak cukup hanya menunduk dalam duka. Perlu aturan global: audit arena latihan wajib, standar keselamatan yang jelas, sanksi bagi federasi yang lalai. Sebab atlet bukan sekadar angka medali; mereka adalah tubuh-tubuh muda yang menitipkan hidupnya pada sistem.

Maka, jika hari ini kita bertanya “salah siapa?”, jawabannya bukan untuk menunjuk satu individu. Jawabannya adalah sistem yang membiarkan kerapuhan menjadi fatal.

Dan justru di situlah warisan Naufal seharusnya hidup: sebagai alarm yang memaksa dunia olahraga memperbaiki dirinya sendiri.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!