Amarah di Balik Elegansi: Kisah Meledaknya Emosi Para Atlet

Ludus01

Kemenangan itu datang seperti pelepasan panjang yang tak terucap. Begitu laga final China Open 2025 usai, Fajar Alfian dan Muhammad Shohibul Fikri menyalami lawan, lalu berdiri di tengah lapangan. Di situlah, di hadapan ribuan penonton dan sorotan kamera, mereka meluapkan emosi yang tak biasa, bukan dengan raungan atau tangis, melainkan dengan tarian.

Fajar menari mengikuti gerakan viral “Aura Farming,” sebuah gaya yang belakangan populer lewat Pacu Jalur, lomba perahu tradisional dari Riau, yang kemudian merambat jadi tren media sosial. Gerakan mendayung, mengangkat tangan ke atas, dan senyum lebar yang tampak meledak dari dada yang mungkin terlalu lama menahan beban. Penonton tertawa. Bersorak. Tapi seperti banyak hal yang tampak lucu dari luar, selebrasi itu bisa jadi menyimpan sesuatu yang lebih dalam: kelegaan, kemarahan, keletihan yang berubah wujud jadi irama.

Karena kadang, amarah tidak datang dalam bentuk bentakan atau umpatan. Kadang ia menyaru dalam tarian yang tampak lucu di mata orang, tapi sesungguhnya lahir dari tekanan yang lama menggumpal. Publik bertanya, “Kenapa Indonesia paceklik gelar?” Komentator menuding, “Harusnya mereka bisa lebih konsisten.” Dan ketika akhirnya mereka menang, mungkin tubuh ini tak tahu cara lain untuk bicara, selain dengan gerakan yang mengada-ada tapi jujur. Sebuah bentuk emosi yang akhirnya diberi ruang untuk bernapas.

Kita sering lupa, olahraga bukan sekadar pertarungan fisik. Ia juga medan pertempuran emosi yang rumit. Tekanan, ekspektasi, rasa takut gagal, kritik, dan luka yang tak terlihat oleh statistik. Dalam olahraga individu seperti tenis, itu bahkan bisa terasa lebih telanjang. Tak ada tempat bersembunyi. Hanya raket, bola, dan pikirannya sendiri.

Tenis, barangkali adalah satu dari sedikit olahraga yang kerap diasosiasikan dengan keanggunan: pakaian serba putih, gesture sopan, dan suasana senyap di antara servis. Tapi siapa pun yang pernah berdiri sendirian di lapangan tahu: di balik elegansi itu, tenis adalah peperangan yang mengejutkan. Dan dari hening yang panjang, kadang meledaklah yang tak tertahankan, amarah.

Letupan amarah terbesar di lapangan tenis adalah momen-momen yang paling legendaris, mengejutkan, dan terkadang lucu. Dalam tenis, amarah tak selalu berarti kehilangan kendali. Ia bisa menjadi gejolak paling jujur dari seorang atlet yang dibakar oleh tekanan untuk menang, atau untuk mempertahankan kemenangan.

Di balik elegansi lapangan, putihnya pakaian, dan aturan yang sopan, menyala bara emosi yang siap meledak kapan saja: dari umpatan John McEnroe yang legendaris, raket-raket yang remuk di tangan Zverev dan Kyrgios, hingga bola yang tak sengaja meluncur ke wajah wasit oleh tangan Shapovalov. Momen-momen ini, seaneh dan seliar apa pun, adalah potret rapuh dan kerasnya jiwa kompetisi. Bahwa bahkan dalam olahraga yang paling tenang pun, rasa takut gagal, harga diri, dan kelelahan batin bisa memunculkan letupan-letupan yang menggelikan, memalukan, sekaligus manusiawi.

“You cannot be serious!” teriak McEnroe di Wimbledon 1981. Dunia mengingatnya sebagai kutipan lucu, meme abadi, bahkan judul buku. Tapi ada luka yang bergetar dalam intonasinya: suara seorang pemain yang terperangkap antara ego, kelelahan, dan ketidakadilan yang ia rasa tak pantas ia tanggung sendirian. Dalam tenis, tak ada tempat bersembunyi. Tak ada pelatih di pinggir lapangan, tak ada rekan satu tim yang bisa menyerap tekanan. Hanya raket, bola, dan pikirannya sendiri.

Ledakan-ledakan itu tak berhenti pada McEnroe. Nick Kyrgios melempar raket seperti membuang beban batin, Zverev menghantam kursi wasit seperti menghukum dunia, Baghdatis menghancurkan empat raket seperti mengubur empat tahun harapan. Serena berteriak, Djokovic dipaksa keluar karena bola yang terpukul lepas menghantam hakim garis. Dan kita menyaksikannya dengan aneh: tergelak, terkejut, tersentuh. Tapi kita juga mengerti.

Karena kemarahan bukan dosa. Ia adalah bentuk paling jujur dari kelelahan yang disimpan terlalu lama. Ia muncul saat ekspektasi tak bertemu kenyataan, saat tubuh tak sejalan dengan niat, saat sorakan jadi bising yang mematahkan fokus.

Kita pun pernah melihatnya pada atlet kita sendiri. Lalu Muhammad Zohri, misalnya, yang pernah tertunduk lama di garis finis. Bukan karena kalah, tapi karena tahu ada kesalahan kecil yang tak sempat ia perbaiki di awal lomba. Tak ada tangis, hanya tubuh yang tak bergerak, menanggung kecewa dalam diam. Karena tidak semua kemarahan harus dibentak. Kadang ia hanya napas yang terlalu berat, atau kepala yang tertunduk terlalu lama.

Foto/olympic.com/Arnaz M Khairul

Foto/olympic.com/Arnaz M Khairul

Psikolog olahraga tahu, marah adalah sinyal. Bukan kegagalan karakter, bukan ketidakdewasaan. Ia muncul karena sistem saraf mengenali ancaman: dari lawan, dari dalam diri, dari sorotan publik. Pelatih mental tidak mengajarkan untuk menekan emosi itu, tapi untuk mendengarkannya. Karena ketika dikelola, ia bisa menjadi energi. Tapi ketika ditekan terlalu lama, ia bisa berubah menjadi sabotase dari dalam tubuh sendiri.

Nietzsche pernah menulis, “He who fights with monsters should be careful lest he thereby become a monster.” Tapi bagaimana jika monster itu adalah bayangan kita sendiri? Rasa ingin sempurna, takut gagal, malu dilihat lemah, semuanya adalah musuh yang tak bisa dikalahkan dengan latihan otot saja.

Novak Djokovic, yang biasanya dingin, pernah harus didiskualifikasi dari US Open 2020 karena secara tak sengaja memukul bola ke arah belakang yang mengenai leher hakim garis. Dalam wawancara setelah itu, ia berkata:

“I have to look within. This whole situation has left me really sad and empty.”

Foto/ESPN/AP/Seth Wenig

Foto/ESPN/AP/Seth Wenig

Amarah yang meledak tak selalu mencerminkan kebencian. Kadang, ia adalah bentuk kegagalan kita untuk menanggung beban diam-diam. Ini tentang kesedihan yang datang setelah ledakan tak bisa dicegah.

Kyrgios, yang lebih sering disorot karena kemarahan dibandingkan permainannya, pernah berkata: “People think I hate tennis. I don’t. I just hate the version of me I become when I play bad.” Maka marah dalam olahraga bukan cuma soal ego atau disiplin yang lepas kendali. Ia adalah pertarungan batin yang tak selesai. Amarah bukan dosa. Ia adalah sinyal. Sering kali, satu-satunya bahasa tubuh yang tersisa ketika kata-kata tak sanggup menjelaskan beban yang dipikul.

Di negeri ini, kita sering memuja podium, menghitung emas, dan merayakan kemenangan. Tapi kita jarang bertanya bagaimana rasanya kalah. Apa yang dirasakan atlet yang terus gagal naik panggung juara. Bagaimana mereka tidur setelah kalah, bagaimana mereka menjawab pesan “Kok kamu kalah?” dari orang-orang terdekat.

Kita lupa bahwa di balik satu momen kemenangan seperti tarian Fajar/Fikri, atau satu selebrasi spontan yang tampak remeh, ada akumulasi rasa yang sudah terlalu lama dipendam. Bahwa senyum mereka mungkin baru bisa muncul karena telah menelan terlalu banyak kata: kritik, harapan, target, dan rumor tentang siapa yang pantas diganti pelatihnya.

Dan mungkin, dari momen-momen yang tampak konyol itu, kita diingatkan lagi: bahwa di balik seorang juara, selalu ada manusia yang belajar kalah.

Di Indonesia, amarah jarang tampil dalam bentuk raket pecah atau umpire yang diteriaki. Tapi bukan berarti emosi itu tak ada. Barangkali ia berwujud kepala yang tertunduk terlalu lama. Atau ruang ganti yang sunyi. Atau senyum yang dipaksakan dalam wawancara pasca-laga. Atau mungkin, dalam tubuh yang terlalu cepat ingin pensiun di usia 24.

Bagi siapa pun yang merasa pernah menjadi atlet, atau hanya sekadar merasa pernah dituntut terlalu banyak, barangkali tahu rasanya: ingin sekali melempar raket, atau menari di tengah lapangan, atau hanya duduk lama di lantai tanpa kata-kata. Mungkin tubuh itu tidak sedang mencari perhatian. Ia hanya ingin sedikit dimengerti.

Menahan emosi agar tetap rapi di depan kamera, menyembunyikan luka di balik senyum, dan terus berlari meski langkah sudah tak seimbang. Bahwa kadang, kemarahan bukan bentuk pemberontakan, tapi satu-satunya ruang bernapas yang tersisa. Sebuah bisik lirih dari tubuh dan jiwa yang berkata: aku lelah, tapi aku masih ingin terus mencoba.

Dan bagi siapa pun yang pernah merasakannya, atau melihatnya diam-diam, mungkin tahu bahwa di balik setiap letupan itu, tersembunyi harapan. Harapan untuk dimengerti, bukan hanya dipuja ketika menang. Harapan agar dunia tahu, bahwa di balik seorang juara, selalu ada manusia yang belajar kalah. Dan dari amarah yang tak sempat dijelaskan itu, kita belajar: untuk menjadi benar-benar kuat, seseorang harus diizinkan untuk kadang terlihat rapuh.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!