Gala Dinner OCA General Assembly 2025, Pencak Silat di Panggung Asia: Saat Indonesia Bicara Lewat Gerak dan Warisan
Ludus01


Indonesia menjadi salah satu yang paling mencuri perhatian dengan menampilkan tarian yang menghadirkan filosofi olahraga dan budaya adalah dua sisi dari diplomasi yang sama-sama kuat (Foto: NOC Indonesia)
LUDUS - Di tengah megahnya ruang Gala Dinner OCA General Assembly 2025 di Kuwait City, Sabtu malam itu (11/5), Indonesia tak bersuara lewat pidato, melainkan lewat gerak. Ketika lampu sorot menyala dan musik mengalun, sekelompok penari dari Etoile Dancer melangkah ke tengah ruangan, membawa serta denyut tanah air dan semangat Asia Tenggara dalam satu tarian pencak silat yang lirih tapi menggetarkan.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mendapat kesempatan tampil malam itu. Tapi dari 45 negara anggota Olympic Council of Asia (OCA), hanya enam yang terpilih—dan Indonesia menjadi salah satu yang paling mencuri perhatian. Tak sekadar menampilkan pertunjukan, tapi menghadirkan filosofi: bahwa olahraga dan budaya adalah dua sisi dari diplomasi yang sama-sama kuat.
Presiden International Olympic Committee (IOC) terpilih, Kirsty Coventry, duduk di barisan depan, berdampingan dengan Thomas Bach dan Presiden OCA Raja Randhir Singh. Semua mata tertuju ke panggung. Di sanalah, pencak silat tampil bukan sebagai bela diri semata, tapi sebagai kisah. Sebuah cerita tentang jati diri, tentang keberagaman, dan tentang harmoni yang lahir dari gerak yang tertata.

Presiden NOC Indonesia, Raja Sapta Oktohari bersama Presiden International Olympic Committee (IOC) terpilih Kirsty Coventry (Foto: NOC Indonesia)
Presiden NOC Indonesia, Raja Sapta Oktohari, menyebut penampilan ini bukan sekadar hiburan, tetapi bentuk penghormatan dan pernyataan.
“Kami mempersembahkan pertunjukan budaya Indonesia yang indah, termasuk pencak silat. Ini adalah warisan kami, dan kami ingin membawa pencak silat ke level yang lebih tinggi—di mata Asia dan dunia.”
Ada makna dalam setiap gerakan, ada pesan dalam setiap langkah. Josephine Tampubolon dari Komite Eksekutif NOC Indonesia menegaskan bahwa Indonesia tak ingin sekadar hadir sebagai undangan. “Kami selalu ingin berkontribusi, agar eksistensi kita di Asia dan dunia internasional terasa nyata,” katanya.
Archangela Lina Lukman, Art Director dari Etoile Dancer, adalah sosok di balik racikan estetik yang memadukan kekuatan dan kelembutan. “Pencak silat bukan cuma bela diri,” tuturnya lirih, “tapi filosofi hidup. Unity of the world. Kami ingin menyampaikannya secara mendalam, secara artistik.”
Cepi Gunawan, yang bertindak sebagai asisten sutradara dan koreografer, menambahkan bahwa tarian ini juga menyatukan unsur bela diri dari berbagai negara Asia Tenggara. “Kami cari benang merahnya. Dan alhamdulillah, semua berjalan lancar. Pesan itu sampai. Budaya kita diterima.”
Malam itu, Indonesia tak berorasi panjang. Tapi lewat silat, lewat gerak yang tenang namun tajam, lewat kostum dan iringan, Indonesia bersuara lantang. Bahwa di jantung Asia, ada negeri yang tak hanya kaya prestasi, tapi juga kaya makna. Yang berbicara lewat budaya. Yang berdiplomasi lewat warisan.
Dan pencak silat—ia kembali menjadi wajah dari itu semua. (*)
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!