Medali di Leher, Luka di Wajah, Tekad di Dada: Sebelum Semua Orang Tahu Nama Desiana Syafitri

Ludus01

Ada yang bertanding bukan untuk sorak sorai. Bukan demi kamera. Melangkah sendiri. Luka ditahan. Tekad dipelihara dalam hatinya. Seperti kata Khalil Gibran, “Out of suffering have emerged the strongest souls.” Ia, salah satunya. Ia bertanding untuk ibunya. Dan untuk dirinya sendiri.

Ia, bertanding sendirian. Ia menang. Tanpa sorak. Tanpa sorai. Namanya Desiana Syafitri. Ia tak tumbuh dari publikasi media sosial. Tapi dari doa ibunya, dan keputusan sederhana: percaya pada dirinya sendiri. Sebelum semua orang tahu namanya. Sebelum wajahnya muncul di media nasional. Sebelum orang bertanya, “Siapa dia?”

Desiana Syafitri, atau dipanggil Desi, hanya gadis biasa dari Karawang. Tinggal berdua dengan ibunya, Siti Khodijah, pegawai katering. Setiap pagi, ibunya menyiapkan pesanan. Dari dapur itulah Desiana belajar, bahwa ketekunan adalah keberanian tersembunyi dalam hari-hari sederhana. Mereka hidup seadanya, dua perempuan yang memilih bertahan dengan caranya masing-masing: satu dengan panci di tangan, satu lagi dengan tatami di telapak kaki.

Desi lahir di Karawang, 18 Desember 2001. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Siti Khodijah dan Marsudik, pria asal Malang yang sudah lama tidak tinggal serumah. Sejak kecil, ia tahu hidup tidak akan mudah. Tapi justru dari hidup yang keras itu, Desi menemukan semangat bertarung.

Olahraga bukan pilihan keluarga. Bukan saran dari orang tua. Ia memilih sendiri. “Karena diri sendiri,” ucapnya. Sejak kecil, ia senang bergerak. Saat teman bermain boneka, ia belajar membanting dan dibanting. Ia mulai dari judo. Seragam putih lusuh. Lantai klub olahraga kecil di Karawang. Dari sana, pelatih mengenalkannya pada sambo, olahraga keras, asing, dan tak populer. Tapi Desi jatuh cinta.

Olahraga bela diri ia kenal sejak kelas 3 SD, lewat judo. Tapi kemudian ia dikenalkan pada sambo oleh pelatih. "Awalnya saya nggak tahu itu apa, tapi lama-lama jatuh cinta," katanya. "Sambo memang bukan olahraga populer, tapi saya merasa ini jalan hidup saya."

Desi berlatih keras di bawah naungan klub PJTK Karawang. Ia tak pernah bermimpi muluk. Yang penting bisa membawa hasil untuk keluarga dan bisa membanggakan ibunya.

Latihannya berat. Tak glamor. Tapi justru di situlah, di atas matras, ia merasa utuh. “Alhamdulillah. Tapi saya belum puas. Ini semua baru titik awal,” katanya.

Di usia 17, ia meraih medali emas SEA Games 2019. Tahun yang sama, juara Asia di India. Perunggu di Korea Selatan. Tak banyak yang tahu. Tapi dari situlah ia membeli rumah. Bukan apartemen mewah. Tapi rumah sungguhan. Untuk ibu. Untuk dirinya sendiri. “Saya dapat rumah dari bonus SEA Games 2019,” katanya pelan.

PON Papua 2021, ia meraih dua medali emas di kelas 50 kg dan gelar Best of the Best. Tahun 2023, ia kembali ke judo, juara Kejurprov Jabar. Tahun berikutnya, ia menjadi wisudawati terbaik Universitas BSI Karawang, jurusan Sistem Informasi Akuntansi. Tak ada jeda. Ia menolak hanya hidup dari tubuh. Ia ingin punya ijazah. Punya masa depan.

Ketika Kejuaraan Asia & Oseania Sambo 2025 digelar di Uzbekistan, ia dipanggil. Tapi hanya cukup anggaran untuk dirinya sendiri. Tak ada pelatih. Tak ada staf. Ia berangkat sendirian. Transit tiga kali: dari Malaysia ke India, lalu ke Uzbekistan.

Saat ia berdiri di tepi matras, lututnya bergetar. Ia takut. “Rasa takut pasti ada. Karena ini pertama kali saya bertanding tanpa pelatih. Tanpa siapa pun yang mengawasi.”

Tapi begitu berhadapan dengan lawan, hanya satu kalimat yang muncul: Harus bisa buktiin, Des.

“Saya takut, iya. Tapi saya cuma bisa bilang ke diri saya sendiri, ‘Harus bisa buktiin, Des,’”

Ia membawa bendera merah putih dengan segala keberanian yang ia punya. Bagi banyak orang, itu mungkin mimpi buruk. Tapi bagi Desi, panggilan akrabnya, ini justru awal dari babak paling penting dalam hidupnya. Tak ada yang mengangkat papan strategi. Tak ada pelatih yang meneriakkan aba-aba dari sudut matras. Desi turun ke gelanggang seperti seorang ronin, petarung tanpa tuan. Sendirian. Tapi bukan tanpa tujuan.

Namanya tak masuk headline koran nasional. Tidak juga trending di beranda media sosial. Tapi di matras, tubuhnya menjadi lembaran cerita paling jujur tentang keberanian. Di tengah gegap sorak penonton yang menjagokan tuan rumah, Desi bertarung sendirian!

Tapi, bagi siapa pun yang memahami makna sebuah keberanian, langkah Desi ke tengah arena adalah semacam meditasi keberanian. “Biasanya saya tampil didampingi pelatih,” ungkapnya. “Tapi kali ini, saya berangkat sendiri. Karena biaya, saya harus belajar mempercayai diri saya sendiri.”

Arnold Silalahi, pelatih sekaligus Sekjen Sambo Indonesia, tak bisa menemani ke Uzbekistan. “Kami hanya punya anggaran Rp30 juta. Cukup buat tiket, penginapan, dan makan Desi saja. Saya harus ikhlas melepas dia,” kata Arnold.

Tapi ia tak cemas. “Desi itu petarung. Mental dan tekniknya sudah teruji.”

Arnold berharap perhatian dari Kemenpora tak hanya datang saat upacara seremonial. Tapi juga ketika atlet seperti Desi harus pergi sendiri ke luar negeri, menginap sendirian di hotel asing, dan bertanding di bawah sorotan lampu yang menusuk sepi.

“PP Persambi sangat bangga. Medali perak ini bukan sekadar prestasi. Ini tiket ke Kejuaraan Dunia. Dan bukti bahwa keberanian sering datang dari mereka yang sendirian.”

Kita mungkin ingat kata-kata Miyamoto Musashi, samurai legendaris Jepang: “You must understand that there is more than one path to the top of the mountain.” Bagi Desi, jalannya mendaki puncak bukan dengan kemewahan fasilitas. Tapi dengan peluh, rasa percaya, dan tekad yang digembleng sejak kecil.

Tanpa pelatih, ia meminta bantuan dari pelatih tim Singapura dan Filipina. Hubungan personal yang dibangun lewat persaudaraan sesama atlet Asia Tenggara menjadi sandaran teknis di lapangan. “Pelatih saya, Pak Arnold Silalahi, sudah lebih dulu menghubungi mereka. Alhamdulillah mereka mau bantu,” kata Desi.

Di kelas 54 kilogram, Desi menyingkirkan atlet Kazakhstan, Kabraikyzy Kuralay. Di final, ia harus mengakui keunggulan tuan rumah Uzbekistan, Gulservar Urakova. Lampu sorot. Teriakan penonton. Wasit asing. Tapi Desi bertahan. Wajahnya lebam. Matanya bengkak. Tapi ia tak mundur. Ia kalah angka. Tapi ia menang atas dirinya sendiri.

Ia pulang tidak dengan tangan kosong. Medali perak itu ia bawa pulang ke Indonesia. Di matanya yang masih memar, kita bisa melihat pantulan logam perak yang terasa lebih berat dari medali emas, karena perjuangan membawanya tak ringan.

“Saya ingin tiket ke Kejuaraan Dunia Sambo 2025 di Turkmenistan. Dan medali ini jadi jalannya. Medali ini bukan akhir. Ini tiket ke Kejuaraan Dunia,” katanya.

Pulang, ia mandi cepat. Langsung ke bandara. Tiket murah. Transit dua kali. Tak ada penyambutan. Tapi ada yang menunggu: Ketua Umum Sambo Indonesia, Krisna Bayu, datang tengah malam. Membawa Desi ke rumah sakit. Memastikan matanya baik-baik saja. Di sana, luka mulai terasa seperti tanda. Bukan derita.

Didampingi Ketua PP Persambi Krisna Bayu, Desi menemui Presiden NOC Indonesia Raja Sapta Oktohari setelah meraih medali perak di Kejuaraan Asia & Oseania Sambo 2025. Foto/Istimewa

Didampingi Ketua PP Persambi Krisna Bayu, Desi menemui Presiden NOC Indonesia Raja Sapta Oktohari setelah meraih medali perak di Kejuaraan Asia & Oseania Sambo 2025. Foto/Istimewa

Barulah kisahnya viral. Wajah lebamnya muncul di media. Tapi ia tak terbawa suasana. Ia kembali kuliah. Kembali latihan. Menyelesaikan skripsi. Menjaga harapan kecil, dilirik Pemda Karawang, agar bisa jadi ASN.

Perjuangannya bukan hanya di arena. Tapi di rumah. Di dapur ibunya. “Tanpa doa ibu, mungkin saya nggak akan bisa seperti sekarang. Namanya kini dikenal. Tapi tekad itu, telah menyala jauh sebelum dunia tahu siapa dia.

"Tak ada pelatih. Tak ada pendukung. Tapi ada tekad yang duduk tenang di dada. Dan itu cukup."

Desi mengenal olahraga sejak kecil. Sejak kelas tiga SD, ia telah akrab dengan judo. Dunia olahraga adalah jalan hidup yang ia pilih, bukan hanya untuk prestasi, tapi juga untuk menyambung kehidupan. Penghasilan harian sang ibu hanya cukup untuk makan. Sisanya, perjuangan.

“Jadi saya harus berjuang lewat olahraga. Alhamdulillah dari bonus SEA Games 2019 saya bisa kuliah dan beli rumah,” ujar mahasiswi Universitas Bina Sarana Informatika (BSI) Karawang ini.

Kisah hidupnya seperti menghidupkan ulang filosofi Epictetus, filsuf Stoik Romawi: “Wealth consists not in having great possessions, but in having few wants.” Bagi Desi, kekayaan sejati adalah kemampuan mengangkat martabat keluarga, bukan mengumpulkan kemewahan.

Kini, ia tengah menyelesaikan kuliah S1. Ia berharap pemerintah daerah, khususnya Wali Kota Karawang, melirik perjuangannya. “Saya ingin jadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Sudah punya ijazah D3, sekarang lanjut S1. Semoga ada perhatian. Saya ingin terus mengabdi melalui olahraga.””

Desi memang tidak minta banyak. Tapi dari ekspresinya yang tulus, terselip harapan: agar ada lebih banyak perhatian dari pemerintah daerah. “Saya berharap Wali Kota Karawang bisa memberikan perhatian atas prestasi saya.”

Desiana adalah kisah tentang perempuan muda yang tidak menunggu momentum, tapi menciptakannya sendiri. Ia berjalan sendiri ke negeri asing, naik ke matras tanpa pendamping, lalu pulang membawa cerita dan medali.

Bagi Desi, perak ini belumlah akhir. “Saya belum puas. Ini baru titik awal. Saya ingin lebih. Saya ingin buktiin kalau saya bisa jadi juara dunia,” katanya, matanya penuh nyala ambisi.

Dengan medali yang diraihnya itu, Desi resmi lolos ke Kejuaraan Dunia Sambo 2025 di Turkmenistan. Tapi perjuangan belum usai. Dalam setiap perjuangannya, Desi percaya bahwa doa ibunya adalah kekuatan yang paling utama. Ia bukan sekadar bertarung untuk medali, tapi untuk kehidupan yang lebih baik, untuk keluarga yang ia cintai, dan untuk mimpi-mimpi yang terus tumbuh.

Kisah Desiana adalah kisah tentang anak muda yang tidak menunggu kesempatan datang, tapi menciptakannya sendiri. Seperti kata Nelson Mandela: "I never lose. I either win or learn."

Desiana tidak pernah kalah. Ia hanya sedang menyiapkan kemenangan berikutnya. Desi mungkin pulang dengan perak, tapi bagi Indonesia, kisahnya adalah emas yang sesungguhnya.

Seperti kata Epictetus: “No man is free who is not master of himself.”
Dan Desi, sejak lama, telah menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Namanya kini dikenal. Tapi tekad itu, telah menyala jauh sebelum dunia tahu siapa dia. Tapi bukan itu yang ia kejar. Ia hanya ingin ibunya bahagia. Dan suatu hari, menjadi ASN, dengan nama sendiri di lencana dada. Tekad itu tak lahir dari podium juara. Tapi dari dapur sederhana di Karawang. Bersama ibunya.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!