Raja Sapta Oktohari: Merah Putih itu Bukan Sekadar Warna. Itu Napas! Saya Sudah Pilih Musuh Saya!

Ludus01

Tangan kanannya mengepal, seolah menggenggam prinsip yang tak bisa ditawar. Sorot matanya tajam, lurus ke depan, seperti tak pernah gentar menghadapi gelombang. “Olahraga itu rumah bersama. Saya hanya dititipkan mandat,” katanya. Pelan tapi pasti, dengan suara serak yang tak memerlukan pengeras suara untuk menguasai ruangan.

Di kantor Komite Olimpiade Indonesia, lantai 18, ia duduk, bukan sebagai pejabat yang mengejar sorot lampu. Bukan juga pejabat haus panggung. Ia hadir sebagai "anak jalanan", melainkan dalam jiwa: seseorang yang tumbuh dalam dunia keras, yang tahu betul bagaimana rasanya dibohongi, disisihkan, atau diperlakukan tak adil. Paham pahitnya dikhianati. Maka ia memilih bersikap apa adanya, bahkan jika itu berarti jadi musuh bagi banyak orang. “Lebih baik dimusuhi karena jujur, daripada disukai karena pura-pura,” tegasnya, dan kata-kata itu bukan sekadar kalimat, tapi pedoman, yang ia genggam dengan sepenuh keberanian.

Sejak hari pertama menjabat, 9 Oktober 2019, ia tak datang untuk melanjutkan tradisi eksklusif. Ia datang, untuk membongkarnya. Tirai yang, selama ini menutup rapat dunia olahraga, ia singkap. Pintu yang selama ini hanya terbuka bagi segelintir orang, ia buka lebar-lebar, bukan untuk pencitraan, tapi karena ia percaya: rumah besar bernama olahraga harus bisa menampung semua orang yang punya niat baik dan nyali besar.

Ia, adalah Raja Sapta Oktohari, anak dari politisi kawakan Oesman Sapta Odang, yang sejak muda terbiasa berpacu di lintasan hidup dengan idealisme dan nasionalisme sebagai kemudi. Di matanya, olahraga bukan sekadar pertandingan, tapi wajah sejati bangsa: tempat disiplin, martabat, dan semangat gotong royong diuji tanpa kompromi.

Ia, adalah tokoh olahraga Indonesia yang kiprahnya merentang dari pentas tinju hingga ajang balap sepeda dan manajemen multi-event. Ia menjabat sebagai Presiden Komite Olimpiade Indonesia (NOC Indonesia) sejak 2019, dan kembali terpilih untuk periode 2023–2027. Sebelumnya, ia dikenal sebagai promotor tinju profesional dan pendiri Mahkota Promotion, serta menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI) selama dua periode (2014–2019 dan 2019–2023). Okto juga memimpin Indonesia Asian Para Games Organizing Committee (INAPGOC) yang sukses menggelar Asian Para Games 2018, dan aktif mengemban berbagai peran strategis dalam memajukan olahraga Indonesia di tingkat nasional maupun internasional.

Di tengah riuhnya gelanggang olahraga nasional, satu nama terus bergema tanpa harus berteriak: Raja Sapta Oktohari. Ia bukan sekadar Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Ia adalah narasi tentang tekad, tentang nasionalisme yang tak mau dikompromi, tentang anak muda yang sejak awal sudah bersumpah pada satu lagu dan satu bendera.

"Saya sudah memilih jalan saya. Fokus saya cuma satu: merah putih dan Indonesia Raya."

Tak ada yang muluk-muluk dari cita-citanya. Tapi justru karena kesederhanaannya itu, ia terdengar begitu dalam. Ketika bangsa ini terhuyung dalam berbagai friksi antar-lembaga olahraga, Raja Sapta menawarkan arah: bertanding dengan negara, bukan dengan sesama anak negeri. Bagi dia, perjuangan hari ini bukan melawan penjajah, tapi melawan kebodohan, ketidakefisienan, dan ego institusional.

"Saya tuh udah mencapai kesimpulan, salah satu yang membuat Indonesia gagal itu adalah gengsi institusi."

Sebagai mantan Ketua HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), ia ditempa dalam dinamika organisasi dan kegigihan diplomasi. Prinsip yang sama ia bawa ke olahraga. Bahwa kemenangan tak bisa lahir dari fragmentasi, tapi dari kesatuan visi. Itulah mengapa, dalam memimpin Inapgoc (Indonesia Asian Para Games Organizing Committee), panitia besar untuk Asian Para Games 2018, ia memulainya bukan dari anggaran, tapi dari semangat.

"Jangan pikirin uang. Pikirin tiket masuk surga."

Ia tahu, mengurus olahraga bukanlah tugas ringan. Tapi ia melakoninya bukan karena beban, melainkan karena cinta. "Saya nggak pernah capek. Ini hobi," katanya. Ia masih aktif sebagai Ketua Dewan Kehormatan balap sepeda, mengikuti perkembangan karate, bulu tangkis, hingga menembak. Kecintaannya pada olahraga bukan slogan, tapi jalan hidup.

Ketika Indonesia disanksi akibat persoalan doping, Raja Sapta Okto menganggapnya bukan sekadar tugas kelembagaan. Itu soal harga diri.

"Ketika kita memperjuangkan Merah Putih dan Indonesia Raya tapi itu di-ban, disanksi, saya anggap itu masalah pribadi."

Hasilnya? Bendera Merah Putih kembali berkibar. Lagu kebangsaan kembali berkumandang. Ia berhasil memaksa dunia mengakui kembali kehormatan bangsa.

Sebagian mungkin menyebutnya promotor, sebagian lagi organisator ulung. Tapi tak banyak yang tahu bahwa ia menolak dikotakkan oleh jabatan. Baginya, jabatan hanyalah alat. Kalau harus diganti, diganti saja. Ia tidak takut kehilangan.

"Orang yang takut kehilangan jabatan berarti dia tidak percaya diri pada kualitas dirinya."

Visi olahraganya bukan jangka pendek. Ia menatap 2045, tahun emas Indonesia, sebagai titik kulminasi perjuangan. Targetnya jelas: medali emas Olimpiade. Tapi untuk mencapainya, ia tak ingin mengandalkan keberuntungan. Ia memilih desain.

"Selama ini olahraga itu by accident. Sekarang harus by design."

Desain yang ia maksud bukan sekadar pemusatan latihan atau teknologi. Tapi sampai pada bagaimana meyakinkan orang tua agar anak-anaknya mau menjadi atlet. Baginya, masalah terbesar bukan rekrutmen, tapi kepercayaan.

Penataan hubungan KOI dengan Kemenpora pun menjadi bukti lain dari sentuhannya. Tak ada lagi gap yang kentara. Tak ada lagi kompetisi diam-diam antara KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) dan KOI. Meski ia paham, publik kerap tak mengerti pembedaan fungsi keduanya.

"KONI itu institusi sendiri. KOI adalah perwakilan tunggal dari Komite Olimpiade Internasional. Jalurnya berbeda."

Dalam dunia yang semakin digerakkan oleh opini publik dan penghakiman instan, Raja Sapta tetap setia pada jalurnya. Ia menolak sibuk membantah spekulasi. Ia lebih memilih bekerja. Ia tahu, hasil tak bisa selalu dikontrol. Tapi proses bisa.

"Saya nggak pernah mau kalah. Tapi kadang ngalah juga penting supaya bisa menang."

Pada akhirnya, olahraga bukan sekadar soal atlet. Tapi tentang sistem, tentang edukasi, tentang karakter bangsa. Ia percaya, menjadi atlet adalah tugas mulia, setara dengan pejuang masa lalu.

"Kalau dulu berjuang untuk merah putih melawan penjajah, sekarang kita berjuang melawan negara lain—tetap untuk merah putih."

Dan ketika ditanya arti kemenangan baginya, Raja Sapta tak menyebut angka. Ia tak menyebut medali.

"Ketika bendera merah putih dan Indonesia Raya berkibar dan berkumandang."

Raja Sapta Oktohari bukan sekadar nama yang lekat dengan sepeda dan olahraga prestasi. Dalam balutan kemeja putih lengan digulung dan tatapan yang kerap membelah percakapan dengan keyakinan, Ketua Umum KOI ini lebih seperti manajer sebuah tim startup: bergerak cepat, efisien, dan tak mau dihambat keruwetan birokrasi.

Ia datang dari keluarga olahraga. Bukan cuma darahnya yang membawa semangat kompetisi, tapi juga visinya: menjadikan Indonesia juara dunia, bukan sekadar jago kandang. “Saya gengsinya terlalu tinggi untuk masalah nasional pride,” kata dia. “Bendera saya cuma satu: merah putih. Lagunya cuma satu: Indonesia Raya.”

Di tangannya, KOI tak lagi dipandang sekadar seperti event organizer atau institusi tempelan. Di bawah komando pria yang kerap disapa Okto itu, KOI menjadi panggung diplomasi olahraga kelas dunia. Ia tak sungkan "menabrak" mereka yang tak sejalan dengan piagam Olimpiade, dengan satu tujuan: agar Merah Putih terus berkibar di ajang internasional, tak lagi kena sanksi, tak lagi terlambat mendapat panggung.

Akhmad Sef dari ludus.id berbincang dengan Raja Sapta Oktohari, biasa dipanggil Ketum juga, di sela jadwal padatnya. Tentang visi, kegelisahan, nasionalisme, dan dinamika yang ia hadapi dalam memperjuangkan kembali kibaran bendera dan kumandang lagu kebangsaan. Berikut petikan wawancaranya:

Apa yang membuat ketum tertarik menjadi Ketua Umum KOI?

Saya berasal dari keluarga yang hidupnya di dunia olahraga dan politik. Ayah saya (Oesman Sapta Odang), adalah seorang politisi senior, tapi garis darah kami juga sarat dengan semangat juang di lapangan. Sejak kecil, saya tidak hanya diajarkan cara berbicara di depan publik, tapi juga bagaimana berlari mengejar garis finis, bagaimana jatuh dan bangkit lagi. Di keluarga kami, olahraga bukan pilihan. Ia adalah kewajiban, cara hidup, bahkan bentuk lain dari ibadah kepada negeri. Saya merasa nasionalisme saya terlalu tinggi. Kalau ditanya bendera saya apa, saya jawab: merah putih. Lagu saya cuma satu: Indonesia Raya.

Apa tantangan terbesar dalam memimpin KOI?

KOI ini bukan organisasi biasa. Dia bagian dari gerakan Olimpiade dunia, yang artinya harus tunduk pada piagam Olimpiade. Tidak boleh dicampuri urusan politik, tidak bisa disetir oleh kepentingan negara, bahkan oleh menteri sekalipun. Jadi seringkali saya harus “melawan arus” agar kami tetap independen. Saya nggak peduli jabatan. Tapi kalau sudah menyangkut marwah dan kedaulatan organisasi, saya akan pasang badan.

Ketum pernah bersitegang dengan pemerintah soal independensi KOI. Bagaimana itu terjadi?

Ya, waktu itu kami sedang dalam masa transisi setelah Komite Olimpiade Internasional menjatuhkan sanksi ke Indonesia. Kami harus memperbaiki tata kelola, memperjuangkan supaya Indonesia bisa jadi tuan rumah event besar seperti SEA Games atau Asian Games. Tapi ada saja intervensi yang membuat KOI seolah jadi subordinat kementerian. Saya tidak bisa diam. Saya bilang, lebih baik saya dicopot daripada saya tunduk pada aturan yang bertentangan dengan piagam Olimpiade.

Lalu bagaimana hasilnya?

Ya, Alhamdulillah kita bisa tetap eksis. Bahkan kita dipercaya menyelenggarakan World Beach Games. Saya juga berhasil masuk ke dalam Komite Eksekutif Olimpiade Asia. Itu bukan karena saya hebat, tapi karena kita bisa menunjukkan bahwa Indonesia punya kapasitas dan integritas di mata internasional.

Apa filosofi ketum dalam memimpin organisasi olahraga?

Saya selalu bilang: olahraga itu rumah bersama. Siapa pun yang masuk ke dalamnya harus siap duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Tidak ada senior-junior, tidak ada yang merasa paling hebat. Saya bukan pemilik organisasi ini. Saya hanya dititipkan mandat, dan saya akan jaga amanat itu dengan penuh tanggung jawab.

Ketum juga dikenal vokal di luar olahraga. Apakah itu bagian dari karakter?

Saya tidak bisa diam melihat ketidakadilan. Saya bukan politisi, tapi saya punya suara. Saya tidak cari panggung, tapi kalau saya punya kesempatan bicara, saya akan pakai itu untuk kebaikan bersama. Banyak yang bilang saya keras. Ya memang.

“Tapi keras bukan berarti kasar. Saya keras karena saya cinta negeri ini.”

Apa yang ketum anggap sebagai pencapaian terbesar selama memimpin KOI?

Bukan soal berapa banyak event yang kita selenggarakan. Tapi bagaimana kita bisa mengubah wajah Indonesia di mata dunia. Dulu kita dianggap remeh, sekarang kita jadi rujukan. Bahkan Arab Saudi datang ke Indonesia belajar bagaimana cara bikin sistem olahraga nasional.

Apa yang ketum ubah pertama kali saat menjabat?

Mindset. Dulu banyak yang merasa jadi bagian organisasi olahraga itu semacam geng eksklusif. Saya bilang: itu harus dihapus. Olahraga bukan untuk segelintir orang. Saya buka pintu lebar-lebar untuk siapa pun yang mau kerja dan punya niat baik.

Apa tantangan terbesar memimpin organisasi sebesar KOI?

Ego. Banyak orang pintar di olahraga, tapi terlalu banyak yang ingin terlihat sendiri. Padahal, olahraga itu soal kerja tim. Saya harus jadi penengah, kadang harus jadi tameng. Tapi saya jalani dengan senang hati. Kalau niat kita tulus, semesta bantu.

Bagaimana ketum melihat masa depan olahraga Indonesia?

Kita punya potensi luar biasa. Anak-anak muda kita tidak kalah dari negara mana pun. Tapi kita harus serius dari hulu ke hilir. Bukan hanya soal atlet, tapi juga soal sistem. Kita harus bikin ekosistem yang sehat. Kalau itu jalan, prestasi akan datang sendiri.

Ketum adalah anak muda yang visioner. Beberapa tahun lalu sudah memikirkan akan terjadi situasi seperti sekarang ini. Benar begitu?

Sebetulnya kalau melihat ke belakang, saya gak tahu bakal seperti ini. Tapi saya punya cita-cita yang belum kesampaian: Indonesia jadi negara pemenang di olahraga. Saya gengsi kalau untuk urusan nasional pride. Bendera saya cuma satu: Merah Putih. Lagunya hanya satu: Indonesia Raya. Saya sudah pilih musuh saya—negara lain. Bukan negara sendiri.

Apa cita-cita yang belum kesampaian itu?

Saya ingin Indonesia menjadi negara pemenang di bidang olahraga. Kita lihat, kenapa negara seperti China, Amerika, Inggris, Jepang bisa begitu dominan? Bahkan Malaysia pun sekarang mulai muncul di cabang balap sepeda. Lalu kenapa Indonesia belum bisa? Pasti ada yang salah. Keluarga saya itu keluarga olahraga, garis kami dari dulu di dunia olahraga. Saya merasa, kalau saya terlibat di dunia ini, mestinya kita bisa melakukan sesuatu yang lebih baik. Indonesia seharusnya bisa jauh lebih hebat dari sekarang.

Saya ini punya gengsi nasional yang sangat tinggi. Untuk urusan kebangsaan, bendera saya cuma satu: Merah Putih. Tidak ada bendera partai. Lagu saya juga cuma satu: Indonesia Raya.

Jadi kalau ditanya, apa itu perjuangan sekarang? Menurut saya, perjuangan saat ini bukan lagi melawan musuh dari luar. Musuh dari luar itu sudah tidak ada. Tapi banyak orang sekarang bilang, perjuangan itu justru melawan bangsa sendiri. Nah, saya tidak mau ikut arus itu. Saya tetap memilih “musuh” dari luar: bertanding secara regional dengan 10 negara lain, secara kontinental dengan 45 negara lain, dan secara global dengan dunia.

Indonesia harus jadi pemain dunia. Jangan cuma jago kandang. Saya sudah memilih jalan saya, fokus hanya untuk Merah Putih dan Indonesia Raya.

Jadi itu yang menjadi dasar dari semuanya? Termasuk sukses dalam perjuangan soal sanksi?

Ya. Sanksi anti-doping dari WADA itu benar-benar menyakitkan buat saya. Saat kita sedang memperjuangkan Merah Putih dan Indonesia Raya, tapi malah benderanya tidak boleh dikibarkan, itu rasanya seperti tamparan pribadi. Saya anggap itu masalah saya sendiri. Dan saya paksa agar bendera Merah Putih bisa kembali berkibar. NOC tidak libur sampai Merah Putih kembali dikibarkan dan Indonesia Raya kembali berkumandang.

Ada yang berharap NOC gagal, ada juga yang berharap berhasil. Tapi bagi saya, siapa pun yang punya kebanggaan pada Indonesia—terutama yang pernah merasakan ikut multi-event—pasti ingin NOC berhasil. Tapi di sisi lain, kalau gagal pun, apa yang ketum lakukan?

Saya berorganisasi bukan baru sekarang. Saya ditempa di HIPMI—saya anggota, lalu jadi Ketua Umum HIPMI. Itu organisasi yang berurusan dengan hampir 30 ribu pengusaha muda dengan dinamika yang sangat tinggi. Jadi saya paham betul, dinamika itu bagian dari organisasi. Di keluarga pun ada dinamika. Di kantor juga. Dan dinamika itu bukan sesuatu yang harus ditakuti, tapi harus dihadapi.

Semua pengalaman dari masa lalu itulah yang membawa saya sampai ke titik ini. Ketika saya ada di NOC, cita-cita dan tujuannya sudah sangat jelas. Jadi saya tidak punya beban lagi. Pikiran saya cuma satu: Merah Putih dan Indonesia Raya.

Dengan menteri pun begitu. Ketika berkomunikasi saya bilang, “Pak, kepentingan ini hanya untuk Merah Putih dan Indonesia Raya.” Dan semua setuju. Karena kalau ada orang Indonesia yang menentang Merah Putih dan Indonesia Raya, saya kira harus dipertanyakan keIndonesiaannya.

Jadi, semangat itu yang mendorong ketum ketika memperjuangkan pencabutan sanksi doping?

Iya, sanksi itu menyakitkan. Ketika memperjuangkan Merah Putih dan Indonesia Raya, lalu dilarang dikibarkan—itu saya anggap masalah pribadi. NOC gak libur sampai bendera berkibar. Saya paksa bendera itu naik lagi.

Saya melihat Ketum seperti diam-diam melesat. Dari promotor tinju, ketua ISSI, presiden INAPGOC, sampai KOI. Ada sentuhan modern, milenial, bahkan spektakuler. Bahkan saat ketum memimpin Inapgoc, rasanya paradigma pengelolaan olahraga berubah jadi modern.

Saya tuh percaya, dan sudah saya simpulkan: salah satu penyebab kegagalan Indonesia itu gengsi institusi. Kita pecah itu waktu di INAPGOC. Nggak ada duit? Saya bilang, lupakan uang. Pikirin tiket masuk surga. Karena bantuin penyandang disabilitas itu amal besar. Visi kita harus bersih.

Bapak saya ngajarin: good opening, best closing. Saya nggak mau kerja yang biasa-biasa aja. Kalau biasa, jangan panggil saya. Kalau Okto, harus luar biasa.

Jadi kalau pemerintah minta 3 besar, bisa?

Harus bisa. Tapi saya tekankan, kita fokus ke proses. Hasil itu urusan lain, yang penting maksimalkan proses. Kalau sudah maksimal tapi hasilnya biasa, ya setidaknya kita sudah maksa. Kalau nggak, ya paling enggak kita udah mati-matian berjuang.

Ketum terlihat berhasil menjembatani Kemenpora, KONI, dan KOI. Bagaimana Anda lakukan itu?

Masih ada friksi, tapi sudah berkurang. Kuncinya: jiwa besar. Saya gak punya kepentingan pribadi. Di Indonesia, saya udah selesai. Setelah ini, mungkin saya ingin naik ke OCA atau IOC.

Tapi masa jabatan terbatas...

Kalau kita kerja benar, gak perlu takut kehilangan jabatan. Takut kehilangan jabatan itu tanda gak percaya diri.

Banyak yang bilang NOC itu cuma seperti EO. Gimana tanggapannya?

Itu pemikiran dangkal. NOC adalah perwakilan resmi IOC. Kita tunduk pada Olympic Charter. Kalau ada yang ganggu itu, saya tabrak.

Capek enggak?

Enggak. Ini hobi. Saya suka semua olahraga.

Antara pengusaha, olahraga, dan politik, prioritas Ketum?

Pengusaha dan olahraga. Karena olahraga pakai duit, jadi harus jadi pengusaha dulu. Kalau enggak, bisa berurusan sama BPK.

Bagaimana masa depan atlet?

Kita nggak bisa generalisasi. Ada atlet yang gagal karena manusianya. Tapi buat saya, orang gagal itu cuma yang berhenti berusaha.

Apa makna kemenangan bagi Ketum?

Ketika Merah Putih berkibar dan Indonesia Raya berkumandang. Di Olimpiade, setiap bait Indonesia Raya diiringi cucuran air mata. Karena itu momen kita bicara tentang Indonesia, bukan yang lain.

Di tengah riuh rendah dunia olahraga Indonesia yang tak jarang terjerat konflik internal dan ego sektoral, sosok Raja Sapta Oktohari hadir sebagai antitesis. Ia muda, keras kepala dalam hal idealisme, dan tak punya beban untuk berkata blak-blakan. Di balik gaya santainya yang khas anak HIPMI, Okto menyimpan semangat yang membara: merah putih dan Indonesia Raya adalah satu-satunya kiblat. “Saya gengsinya terlalu tinggi untuk urusan nasional pride,” ujarnya.

Duduk sebagai presiden NOC, Okto menjelma bukan hanya sebagai administrator olahraga, tapi juga arsitek perubahan. Ia mengubah wajah pengelolaan olahraga multi-event dari yang birokratis menjadi lebih profesional, lebih milenial. Pengalaman panjang di dunia usaha dan organisasi seperti HIPMI telah menempanya untuk piawai mengelola konflik, mengolah visi, dan memimpin dalam ketidakpastian.

“Saya gengsinya terlalu tinggi untuk urusan nasional pride. Bendera saya cuma satu: merah putih. Lagunya hanya satu: Indonesia Raya. Kalau orang Indonesia menentang merah putih dan Indonesia Raya, harus dipertanyakan ke-Indonesia-annya.”

Dulu KONI, KOI, dan Kemenpora kayak punya gap. Sekarang kelihatannya cair.

Itu tantangan organisasi olahraga: friksi antar stakeholder. Sekarang udah berkurang banyak. Tapi butuh jiwa besar. Saya nggak punya kepentingan pribadi. Cita-cita saya jadi Presiden KOI udah kesampaian. Setelah ini, mungkin saya ingin ke level Asia atau dunia. Tapi di Indonesia, saya rasa sudah cukup.

“Kalau takut kehilangan jabatan, berarti dia nggak percaya diri.”

Tapi periode di KOI ada batasnya. Gimana dengan mimpi Indonesia berprestasi tinggi?

Kalau kerjanya bener, nggak usah takut. Jabatan itu amanah. Yang milih saya cabor. Kalau mereka pilih orang lain, ya berarti saya belum maksimal.

DBON (Desain Besar Olahraga Nasional) gimana? Banyak pro-kontra soal itu.

DBON itu ide baru, jangan langsung resisten. Coba dulu. Semua yang baru pasti butuh waktu. Jangan takut sama perubahan. Ini kan produk manusia. Masih bisa diperbaiki.

Target emas di Olimpiade 2045 masih realistis?

Itu goal bersama. Tapi olahraga itu by design, bukan by accident. Selama ini kita menang karena kebetulan, bukan perencanaan. Sekarang kita mulai scouting serius. Tantangannya bukan nyari bibit, tapi meyakinkan orang tua. Karena tanggung jawab besar itu bukan cuma di atlet, tapi juga di sistem.

Tapi tetap saja kita masih sering lihat dualisme, ego sektoral, bahkan saling jegal antar federasi. Apa penyebabnya?

Ego. Padahal olahraga itu bukan soal siapa yang paling hebat secara individu, tapi siapa yang bisa membangun tim. Kita ini terlalu lama hidup dalam kultur rebutan panggung. Saya selalu bilang, kalau panggung cuma buat satu orang, itu teater. Tapi kalau banyak yang main bareng, itu konser. Indonesia butuh konser prestasi, bukan teater konflik.

“Kalau panggung cuma buat satu orang, itu teater. Tapi kalau banyak yang main bareng, itu konser. Indonesia butuh konser prestasi.”

Tapi faktanya, banyak cabor masih miskin anggaran, infrastruktur belum merata...

Justru itu tantangannya. Makanya saya nggak mau hanya bergantung pada APBN. Saya ngajak swasta, bikin event internasional, bangun sistem pendanaan alternatif. Kita harus kreatif. Saya belajar dari olahraga disabilitas waktu di INAPGOC. Nggak banyak duit, tapi kalau kompak dan visioner, hasilnya bisa bikin orang tercengang.

Ketum dikenal blak-blakan dan kadang frontal. Nggak takut banyak musuh?

Kalau takut punya musuh, mending nggak usah jadi pemimpin. Saya lebih takut kalau nggak jujur sama hati sendiri. Selama saya percaya yang saya lakukan benar, dan untuk merah putih, saya jalan terus. Saya terbuka kok untuk kritik, tapi jangan main belakang. Ayo debat, ayo uji ide.

Ada rumor Ketum akan maju ke posisi internasional. Itu target berikutnya?

Saya nggak pernah mengincar jabatan. Tapi kalau diberi kesempatan, kenapa tidak? Saya ingin bawa Indonesia punya suara kuat di panggung dunia. Kalau kita bisa duduk di meja pengambil keputusan internasional, masa depan olahraga Indonesia bisa lebih terjamin. Saya ingin anak-anak Indonesia punya panggung lebih besar, bukan hanya ASEAN atau Asia, tapi dunia.

Kalau suatu hari nanti bendera merah putih berkibar dan Indonesia Raya berkumandang karena atlet kita juara dunia atau Olimpiade, apa yang akan Ketum rasakan?

(Terdiam sesaat) Mungkin saya akan menangis. Karena saya tahu, itu bukan cuma soal emas. Itu tentang harga diri bangsa. Saya gengsinya kelewat tinggi untuk lihat Indonesia diremehkan. Jadi, kalau itu terjadi, saya akan angkat tangan ke langit dan bilang: “Terima kasih, Tuhan. Indonesia akhirnya berdiri di podium yang pantas.”

Dan semua itu akhirnya nyata. Wawancara sebelum Olimpiade Paris 2024 digelar, bukan hanya ucapan biasa, tetapi menjelma takdir yang menghentak. Okto menangis. Bukan tangisan biasa, tetapi air mata yang membawa getaran dari dada hingga ujung jari. Sebab Indonesia berhasil merenggut dua emas dari panggung termegah, dari cabang yang belum pernah memberi emas sebelumnya.

Yang pertama datang dari dinding yang menjulang. Veddriq Leonardo, pemuda 27 tahun dari Pontianak, memanjat bak peluru, mengukir waktu 4,75 detik dan membawa pulang emas pertama Indonesia dari luar bulutangkis dalam sejarah Olimpiade. Ia bukan hanya juara, tetapi pelopor bagi generasi pemanjat dinding Tanah Air.

Yang kedua datang dari Rizki Juniansyah, pemuda 21 tahun dari Banten, berdiri tegar dengan tatapan penuh tekad. Ia mengangkat total 354 kg dari angkatan snatch dan clean & jerk, bahkan memecahkan rekor Olimpiade dengan angka 199 kg. Medali itu bukan hanya angka, tetapi titik balik dari kerja panjang, dari peluh yang tak pernah berhenti, dari mimpi yang dirajut dalam sunyi latihan.

Bersama lifter Rizki Juniansyah, usai meraih medali SEA Games Kamboja, yang akhirnya mencatatkan sejarah olahraga Indonesia dengan emas Olimpiade Paris. Foto/Istimewa

Bersama lifter Rizki Juniansyah, usai meraih medali SEA Games Kamboja, yang akhirnya mencatatkan sejarah olahraga Indonesia dengan emas Olimpiade Paris. Foto/Istimewa

Okto berdiri gemetar, tatapan basah. Ia tidak menangisi dirinya sendiri, tetapi menangisi kebesaran sebuah bangsa yang berdiri dari kerja bersama dan semangat yang tak pernah padam. Indonesia, dengan Merah Putih yang menjulang tinggi, membawa pesan bagi dunia: dari tanah ini, dari semangat ini, lahir para juara yang siap menaklukkan apa pun. Indonesia Raya terus berkumandang!

Di balik jas formal dan sapaan “Ketum” yang melekat padanya, Raja Sapta Oktohari adalah seorang petarung yang tak pernah melupakan warna benderanya. Ia lahir dari rahim olahraga, tumbuh bersama semangat kompetisi, dan membaktikan seluruh ikhtiar hidupnya untuk satu tujuan yang nyaris utopis: melihat merah putih berdiri tegak di panggung dunia.

Ia bukan politisi, meski piawai berdiplomasi. Ia bukan birokrat, meski menguasai urat nadi kebijakan. Ia pengusaha yang memilih bertaruh bukan pada laba, tapi pada kebanggaan. Gengsinya terlalu tinggi untuk melihat bangsanya dianggap enteng. Visi globalnya tak pernah melupakan akar nasionalismenya. Dan dalam setiap kalimatnya, terselip satu hal yang tak bisa dipalsukan: cinta.

Di tengah dunia olahraga yang sering gaduh karena kepentingan, Raja Sapta hadir sebagai nada yang lain. Bukan sekadar pemimpin organisasi, tapi penjaga bara semangat. Bukan hanya pengatur event, tapi penggagas lompatan. Di tangannya, mimpi tak sekadar dikumandangkan. Ia dirancang, dikejar, dan diwujudkan.

Bagi Raja Sapta, kemenangan bukan sekadar soal medali. Ia tentang siapa yang berani terus berdiri, meski jalan masih panjang dan medan tak selalu ramah. Dan bila satu hari kelak Indonesia benar-benar berdiri di podium tertinggi dunia, mungkin kita akan ingat, bahwa ada satu anak bangsa yang sejak awal telah menaruh seluruh hidupnya demi momen itu. Dengan satu lagu, satu bendera, dan satu tekad: Indonesia Raya.

Meski namanya kerap dikaitkan dengan balap sepeda—dan tak jarang dicurigai "berat sebelah"—Raja Sapta tak pernah lelah menjelaskan bahwa cinta pada satu cabang tak berarti menutup hati untuk yang lain. Alasannya jelas. Sangat jelas. Okto bukan sekadar nama, tetapi sosok yang membawa angin perubahan bagi balap sepeda Indonesia dan Asia. Ia memimpin PB ISSI dalam dua periode penuh semangat — 2015–2019 dan 2019–2023 — setelah pertama kali terpilih dalam Munaslub 2015 dan kembali dikukuhkan secara aklamasi di Munas XVIII Bandung 2019. Kiprahnya tak berhenti di tingkat nasional. Pada 2025–2029, ia memegang kendali sebagai Presiden Konfederasi Balap Sepeda Asia (ACC), sembari tetap memberi arahan sebagai penasihat Federasi Balap Sepeda Asia (ACF). Sebuah perjalanan panjang yang menjadikan Okto bukan hanya pemimpin, tetapi juga penjaga marwah dan masa depan balap sepeda dari Indonesia hingga Asia.

Tapi, baginya, tak ada anak emas dalam olahraga. Semua cabang, kata dia, layak dicintai setara. “Saya juga mengikuti karate, menembak, bulu tangkis. Jadi kalau dibilang saya menganakemaskan sepeda, itu salah. Buat saya, semua cabang olahraga itu emas.”

Raja Sapto Oktohari dekat dengan kalangan pengurus cabang olahraga, termasuk bersama Sekjen PBTI periode 2012-2015 dan 2015-2019 Dirc Richard. Foto/ludus.id

Raja Sapto Oktohari dekat dengan kalangan pengurus cabang olahraga, termasuk bersama Sekjen PBTI periode 2012-2015 dan 2015-2019 Dirc Richard. Foto/ludus.id

Persepsi publik tak selalu bisa dikendalikan. Tapi semangatnya jelas: tidak satu pun cabang boleh merasa menjadi anak tiri. Sebab dalam pandangannya, olahraga adalah kerja kolektif untuk satu tujuan: mengibarkan Merah Putih.

Satu hal yang membuatnya terus menyala adalah keyakinan bahwa olahraga adalah instrumen kebangsaan yang tak boleh dijalankan setengah hati. Ia percaya, kemenangan tak bisa diraih hanya dengan slogan dan selebrasi, tapi dengan perencanaan yang tajam dan semangat yang bersih. “Visinya harus bersih,” katanya, “jangan ada agenda lain selain merah putih.”

Karena itu, ketika orang mempertanyakan kedekatannya dengan balap sepeda, ia tak menampik, tapi juga tak mengamini anggapan bahwa ia hanya memihak satu cabang. “Saya dengan sepeda itu memang nggak bisa dipisahkan,” ujarnya. “Saya masih menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan di balap sepeda, masih Wakil Presiden untuk kawasan Asia, dan juga mewakili dunia.”

Di tengah perjalanan olahraganya, Okto tahu betul medan yang ia tapaki kerap disalahpahami. Salah satu yang paling sering disorot publik adalah soal dualisme antara KONI dan KOI. Ia hanya tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Orang sering bingung karena tidak paham,” katanya. “Padahal KONI dan KOI itu dua hal yang berbeda.”

Banyak yang melihat seolah-olah ada dualisme antara KONI dan KOI. Anda sendiri bagaimana melihatnya?

Nah ini yang sering bikin orang bingung, karena memang banyak yang belum paham. KONI dan KOI itu dua hal yang berbeda. KONI adalah institusi yang punya aturan sendiri, struktur sendiri, dan membawahi cabang-cabang olahraga nasional. Sementara KOI atau NOC (National Olympic Committee) itu hanya satu, perwakilan resmi Indonesia ke Komite Olimpiade Internasional (IOC). Kami ini menjembatani komunikasi antara dunia—IOC, OCA, konfederasi regional, hingga federasi internasional—dengan Indonesia. Bukan duplikasi, bukan dualisme. Ini fungsi yang memang berbeda.

Jadi fungsinya tidak tumpang tindih?

Tidak. Kami di KOI berjalan berdasarkan Olympic Charter, piagam olimpiade yang jadi pedoman seluruh NOC di dunia. Tugas kami itu menjaga hubungan Indonesia dengan stakeholder olahraga global—mulai dari IOC, OCA (Olympic Council of Asia), konfederasi regional, sampai federasi internasional.

Raja Sapta Oktohari melakukan diplomasi dengan Kirsty Coventry, Presiden IOC terpilih yang baru. Foto/NOC Indonesia

Raja Sapta Oktohari melakukan diplomasi dengan Kirsty Coventry, Presiden IOC terpilih yang baru. Foto/NOC Indonesia

Tapi masyarakat sering melihatnya sebagai dua lembaga yang saling berebut kewenangan.

Padahal bukan soal berebut. Ini soal perbedaan fungsi. Jepang saja punya dua lembaga seperti ini—ada sports council, ada JOC (Japan Olympic Committee). Dan sekarang, dengan paradigma baru, PB (pengurus besar) juga bisa langsung menerima anggaran dari pemerintah. Jadi KONI dan KOI berjalan di jalurnya masing-masing.

Kalau ada pihak yang tidak sejalan dengan Olympic Charter?

Kami akan luruskan. Karena ini bukan soal ego, ini soal menjaga kehormatan Indonesia di panggung dunia. Jangan sampai perjuangan atlet dan bangsa ini sia-sia hanya karena kesalahpahaman struktur.

Raja Sapta Oktohari, bukan hanya menjabat, ia menjelma. Sosok yang berdiri di titik temu ambisi dan kerja keras, membawa Indonesia dari pinggir lintasan ke pusat gelanggang dunia. Ia bukan pejabat yang menghamba jabatan, tetapi penggerak yang memaknai setiap langkah dengan kegigihan dan keyakinan.

Saat memegang PB ISSI, ia menjadikan federasi itu bukan cuma rumah bagi para atlet, tetapi medan juang tempat tumbuh para juara. Saat memimpin ACC, ia membawa suara Indonesia bergema hingga sudut-sudut Asia, menjadikan Merah Putih bukan hanya simbol di podium, tetapi penanda perubahan dan marwah yang tak pernah tawar.

Saat berdiri sebagai Presiden NOC Indonesia, ia bukan hanya membawa mimpi para atlet, tetapi membawa Indonesia berdiplomasi di panggung dunia, menjadikan olahraga sebagai bahasa pemersatu antarbangsa. Ada semangat yang terus menyala, sebuah keyakinan bahwa dari tanah ini, dari semangat ini, lahir para juara yang siap menggetarkan semesta.

Seperti kata Winston Churchill, “Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts”. Dan dari sanalah energi Okto tumbuh: dari keberanian untuk terus bergerak, dari keyakinan bahwa kerja belum selesai, dari semangat yang tak pernah padam meski angin bertiup dari berbagai arah.

Raja Sapta Oktohari, bukan hanya nama, tetapi narasi panjang tentang keberanian berdiri tegak, bahkan ketika yang lain memilih duduk. Sosok yang mengajarkan bahwa memimpin bukan soal duduk di kursi, tetapi berdiri di garis terdepan, membawa mimpi dari aspal Velodrome hingga langit dunia, dari pelatnas hingga lobi-lobi diplomasi dunia.

Dan pada akhirnya, terdengarlah gema Indonesia Raya yang menggetarkan arena, terlihatlah Merah Putih yang berkibar perkasa di puncak tiang, sebagai bukti bahwa dari kerja, semangat, dan kegigihan seorang Raja Sapta Oktohari, Indonesia tak pernah berhenti memberi makna bagi dunia. Teruslah Indonesia Raya berkumandang!

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!