Saya Terlambat Menulis Hidupnya: Obituari untuk Oki Yusmika, Petarung yang Bertahan Hingga Titik Terakhir

Ludus01

Saya baru menulis lead-nya begini:

"Satu kaki telah hilang, tapi semangatnya belum. Di tubuh seorang juara bernama Oki Yusmika, kanker tulang menggerogoti diam-diam. Hari ini, ia tak bisa lagi bertanding, tapi kita masih bisa ikut bertarung untuknya, dengan bantuan, doa, dan kepedulian."

Foto/Dokpri

Foto/Dokpri

Itulah paragraf yang saya susun dengan hati-hati. Saya bayangkan akan menyebarkannya malam itu juga, sebagai ajakan terbuka untuk menggalang dana. Untuk membantunya membeli obat. Untuk sedikit meringankan perih yang dideritanya sejak kakinya diamputasi. Saya bahkan sudah menyiapkan kutipan dari istrinya, menyusun ulang tautan berita, membayangkan foto Oki tersenyum lemah di ranjang rumah sakit.

Tapi sebelum tulisan itu selesai, kabar itu datang. Mendahului niat baik. Mendahului kalimat kedua.

Oki Yusmika telah meninggal dunia. Senin (14/7/25) malam.

Kabar duka itu saya terima dari Ibrahim Zarman, mantan taekwondoin nasional, peraih medali emas SEA Games. Suaranya pendek dan berat. Saya tahu, bukan hanya saya yang kehilangan, tapi juga sesama pejuang matras yang tahu betapa besar daya juang Oki, di atas arena maupun di ranjang rumah sakit. Bersama Ibrahim dan Wahyu, istri Oki, kami sebenarnya akan segera memulai penggalangan dana melalui Ludus Peduli Atlet, sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk membantu biaya pengobatannya.

Bukan hanya kami. Beberapa kawannya, juga Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Bungo, telah lebih dulu bergerak. Di media sosial, terutama Facebook, mereka menyebarkan ajakan bantuan. Dengan kalimat sederhana tapi menggetarkan:

“Oki Yusmika, atlet kebanggaan Jambi asal Bungo, sedang berjuang melawan kanker tulang. Saat ini butuh uluran tangan.”

Bersama tulisan itu, mereka mencantumkan nomor rekening atas nama istrinya, Wahyu Ningsih. Sebuah ajakan yang lahir dari solidaritas lokal, dari mereka yang pernah menyaksikan Oki bertanding, bertahan, dan kini, terbaring.

Saya masih sempat berbicara dengan istrinya, Wahyu Ningsih, hanya satu jam sebelumnya. Ia mengabarkan bahwa suaminya sedang drop. Napasnya tersengal. Tapi suaranya masih tenang, tak ada tanda bahwa ia sedang berdiri di ujung kehilangan. “Semalam Pak Gubernur Jambi datang menjenguk,” katanya. Saya membayangkan harapan yang sempat muncul sesaat, bahwa perhatian, meski datang terlambat, masih bisa jadi penguat.

Tapi Tuhan lebih dulu datang.

Oki Yusmika, atau akrab disapa Oki, lahir di Muaro Bungo, 10 September 1995. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara, putra dari pasangan Kanedi, seorang petani, dan Yusnidar, seorang pedagang. Sejak kecil, hidup Oki ditempa kesederhanaan dan disiplin. Ia mengenyam pendidikan di SMK PGRI 2 Kota Jambi, jurusan Akuntansi. Tapi minatnya tak pernah jauh dari olahraga, terutama taekwondo.

Bersama Gema Bungo Persada Taekwondo Club dan Kuju Taekwondo Academy Jambi, Oki menjelma menjadi atlet andalan daerah. Ia menjadi prajurit TNI Angkatan Darat, dan semangat militernya selalu tercermin di atas matras. Ia pernah mewakili Indonesia dalam pelatihan training camp di Korea Selatan selama dua bulan, kesempatan yang tak semua atlet bisa rasakan.

Ia bukan atlet biasa. Ia bukan sekadar peserta yang datang, bertanding, lalu pulang. Di setiap matras tempat ia berdiri, Oki Yusmika membawa napas panjang perjuangan. Ia bukan hanya bertarung dengan tendangan dan poin, tapi dengan harga diri seorang anak petani dari Muaro Bungo yang ingin membuktikan bahwa kampung halamannya bisa punya juara.

Namanya mulai menggema sejak 2013, saat ia mengguncang Kejurnas Senior dengan merebut posisi runner-up nasional. Belum banyak yang mengenal wajahnya saat itu, tapi tendangannya sudah memberi isyarat: ini bukan sembarang pemula.

Lalu datang Indonesia Open 2015 di Riau, dan ia tak memberi ampun, meraih emas, mengalahkan nama-nama besar. Tahun yang sama, ia melaju hingga podium Juara 3 Pra PON 2015. Semua itu menjadi pijakan menuju panggung tertinggi: Pekan Olahraga Nasional.

Dan benar saja. Di PON 2016 Jawa Barat, ia mengukir prestasi: medali perunggu, menghadirkan kebanggaan bagi Jambi. Empat tahun kemudian, ketika PON digelar di Papua, ia membuktikan bahwa kejayaan itu bukan kebetulan, perunggu kembali ia bawa pulang, kali ini dari ujung timur Indonesia.

Sebelum ke Papua, ia sudah menegaskan keunggulannya lewat emas di Pra PON 2019, dan sebelumnya di tingkat lokal, ia juga berdiri tegak di podium tertinggi Porprov Batanghari.

Prestasi demi prestasi itu bukan hanya medali di lemari. Ia adalah catatan sejarah. Jejak dari seorang anak kampung yang berani menantang siapa pun di atas matras. Ia tidak hanya mewakili Jambi, ia adalah simbol bahwa mimpi bisa ditendang sampai menjadi nyata.

Namun, pada September 2024, hidupnya berubah drastis.

Semua bermula dari rasa sakit di kaki, yang semula diduga hanya keram biasa. Tapi dalam hitungan hari, kakinya membiru, lebam, dan membengkak dari paha ke bawah. “Setelah pulang ke rumah tanpa sadar kaki Oki dari ujung paha sampai ke kaki berwarna biru lebam dan bengkak,” cerita Wahyu, atau yang biasa dipanggil Cucun.

Mereka segera membawanya ke RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Pemeriksaan biopsi pun dilakukan. Dua minggu kemudian, hasilnya keluar: positif Sarkoma, kanker tulang.

Langkah-langkah medis dimulai. Tulang bonggol sepanjang 20 cm diangkat, dengan harapan diganti titanium. Tapi harapan itu pupus. Kanker telah menyebar.

Ia sempat pulang dengan kondisi membaik. Tapi tiga minggu kemudian, pendarahan hebat kembali menyerang. Dokter menyarankan amputasi. Namun keluarga mencoba alternatif lain ke RS Fatmawati Jakarta. Di sana, kenyataan pahit diterima: amputasi dari panggul kanan hingga dua jari di bawah rusuk kanan harus dilakukan.

Meski kehilangan sebagian besar tubuhnya, Oki tetap kuat. Ia bahkan sempat merayakan lebaran di rumah. Namun tubuhnya kembali berdarah. Transfusi lebih dari 50 kantong darah diberikan. Radioterapi pun dijalankan. Perlahan ia pulih.

Tapi tidak semua obat bisa dibeli. Salah satu yang penting, albumin, berharga Rp3 juta per botol, dan dari tujuh botol yang dibutuhkan, BPJS hanya menanggung dua. Sisanya ditopang keluarga dan kerabat.

Hanya lima hari setelah pulang ke rumah, Oki batuk darah. Sejak 29 Juni 2025, ia dirawat lagi di RS Fatmawati. Napasnya sesak, luka amputasinya berdarah, dokter menyiapkan bronkoskopi dan trakeostomi.

Tapi waktu terlalu cepat. Dan hidup terlalu pendek. Petang ini, Selasa (15/7/25) jenazah Oki Yusmika akan dimakamkan di kampung halamannya, Kabupaten Bungo, Jambi. Prosesi akan dilakukan dengan upacara militer, sebuah penghormatan terakhir untuk prajurit TNI dan atlet nasional yang telah mengabdikan hidupnya pada negara, baik di arena olahraga maupun dalam seragam dinasnya.

Istrinya, Wahyu Ningsih, sempat mengirimkan video singkat dalam perjalanan menuju rumah duka. Suaranya gemetar tapi tegar. Di balik getar kamera yang merekam jalanan dan wajah keluarga yang menunggu, ada satu hal yang masih terasa kuat: cinta. Dan kehilangan yang belum sempat selesai.

Kisahnya sempat diangkat oleh media di Jambi. Dan viral. Saat itu, ia sedang berjuang di rumah kontrakan, bersama istri dan anak kecil mereka, Ameira Syakila Ramadhani. Istrinya, Wahyu Ningsih, seorang ibu rumah tangga, tak pernah lelah mendampingi. Ia bahkan berharap bisa menggalang bantuan, walau sedikit, untuk membiayai pengobatan sang suami.

Tapi bantuan datang terlambat. Dan saya menulis terlalu lambat.

Tulisan ini seharusnya menjadi seruan donasi. Ajakan untuk menyelamatkan. Tapi kini, ia menjadi elegi. Sebuah catatan tentang seorang atlet yang tubuhnya dikalahkan penyakit, tapi semangatnya tak pernah runtuh. Ia meninggal sebagai petarung sejati, bahkan ketika matras telah lama ia tinggalkan.

Saya hanya ingin kita ingat: penghormatan kepada atlet seharusnya tidak berhenti pada podium kemenangan. Tidak cukup dengan foto saat menerima medali. Tidak boleh berhenti saat mereka pensiun diam-diam, lalu jatuh sakit dalam kesendirian. Mereka telah memberi kebanggaan. Maka saat tubuh mereka terbaring dan meminta tolong, kita seharusnya datang lebih dulu.

Oki Yusmika telah pergi. Tapi semangatnya harus terus hidup. Sebab dunia olahraga bukan hanya soal menang dan kalah. Tapi tentang manusia yang bertarung dengan segala yang mereka punya, dan saat mereka jatuh, kita mestinya hadir.

Jika suatu hari anak-anak kita bertanya, siapa itu Oki Yusmika? Jawablah: ia adalah petarung sejati dari Muaro Bungo. Seorang prajurit, seorang ayah, seorang juara. Yang pernah berdiri gagah dengan medali PON di dadanya. Tapi lebih dari itu, ia adalah orang yang tetap memilih melawan, bahkan ketika tubuhnya tak lagi lengkap. Dan bahwa kita semua, terlambat mencintainya. (Akhmad Sef)


APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!