
LUDUS - Semakin banyak dari kita yang memilih menjauh. Menyepi. Menolak undangan, keluar dari grup WhatsApp keluarga, mematikan notifikasi, dan pura-pura tidak melihat pesan. Alasannya sederhana: terlalu banyak konflik, terlalu banyak tuntutan, terlalu banyak energi sosial yang menguras mental.

Kita menyebutnya toxic. Kita bilang itu demi ketenangan. Tapi sering kali, yang sebenarnya terjadi: kita tidak benar-benar pulih. Kita hanya menghindar. Dan yang tersisa justru residu yang pelan-pelan menggerogoti: stres yang diam-diam mengeras, bad mood yang tak jelas sebabnya, kecemasan yang muncul sebelum tidur, kemarahan yang meledak pada hal kecil, dan kesedihan yang datang tanpa sebab.
Lima emosi itu bukan penyakit jiwa. Tapi jika dibiarkan tumbuh dalam diri, ia bisa merusak mental kita sedikit demi sedikit.
Namun, kabar baiknya: kita tidak selalu perlu terapi mahal atau pelarian jauh ke pegunungan. Kadang, tubuh kita hanya butuh sesuatu yang sederhana: bergerak. Atau tidur.
1. Stres
Stres adalah respons alami tubuh ketika menghadapi tekanan. Tapi bila terlalu sering, ia bisa memicu gangguan tidur, sakit kepala, hingga tekanan darah tinggi.
Latihan aerobik ringan seperti jogging, berenang, atau bersepeda terbukti menurunkan kadar kortisol (hormon stres) dan meningkatkan endorfin. Bahkan WHO dalam panduan tahun 2022 menyarankan 150 menit aktivitas fisik per minggu sebagai pencegah stres jangka panjang.
Atau lakukan jalan kaki cepat 30 menit sambil dengarkan podcast atau musik favorit di pagi hari. Bila memungkinkan, pilih jalur dengan pepohonan atau matahari pagi.

2. Bad Mood
Bangun tidur langsung merasa kusut. Tidak jelas kenapa. Semua terasa salah. Inilah yang disebut bad mood. Tak selalu berbahaya, tapi bila dibiarkan bisa berubah jadi siklus emosi negatif.
Penelitian dari University of Michigan menyebutkan bahwa olahraga ringan selama 10 menit saja sudah cukup mengangkat suasana hati. Gerakan memicu otak melepaskan dopamin dan serotonin, hormon kebahagiaan.
Lakukan peregangan dinamis di pagi hari, seperti yoga atau tai chi ringan, atau sekadar berdansa mengikuti musik kesukaanmu.

3. Marah
Marah adalah emosi yang wajar, tapi bisa menjadi merusak jika tak punya jalan keluar. Dalam jangka panjang, kemarahan terpendam berisiko terhadap penyakit jantung dan gangguan relasi.
Aktivitas fisik yang bersifat eksplosif seperti kickboxing, shadow boxing, atau HIIT dapat menjadi katarsis emosi marah. Studi dalam Journal of Sports Psychology menyebutkan bahwa gerakan cepat dan intens dapat mengalihkan amarah menjadi energi yang produktif.
Pukul samsak, bukan orang. Atau lakukan sprint interval 5–10 menit.

4. Sedih
Kesedihan adalah bagian dari hidup. Tapi jika terlalu lama menetap, ia bisa menjelma menjadi depresi. Salah satu gejalanya adalah hilangnya motivasi untuk bergerak.
Studi dari Harvard menyebut bahwa olahraga bisa bekerja sama efektifnya dengan antidepresan dalam kasus depresi ringan hingga sedang. Bahkan kegiatan fisik ringan seperti berkebun atau menyapu rumah memberi perasaan "mengontrol hidup".
Ajak diri berjalan kaki keliling taman atau bermain dengan hewan peliharaan di luar rumah.

5. Cemas
Kecemasan membuat kita hidup di masa depan yang belum terjadi. Jantung berdebar, tangan dingin, kepala penuh skenario buruk. Bila dibiarkan, ia bisa berkembang menjadi anxiety disorder.
Aktivitas ritmis seperti berenang, mendayung, atau bersepeda melibatkan pola gerak teratur yang menenangkan sistem saraf. Riset dari Anxiety and Depression Association of America (ADAA) menunjukkan bahwa olahraga rutin dapat menurunkan tingkat kecemasan hingga 20–30 persen.
Berenang atau bersepeda sore di rute yang tenang atau ikut kelas pilates yang fokus pada pernapasan.

Mental yang Sehat Bukan Soal Tahan Derita
Stres, bad mood, cemas, marah, dan sedih bukanlah musuh yang harus kita singkirkan. Mereka adalah sinyal tubuh yang perlu kita perhatikan. Kita hanya perlu jujur, bahwa ada hari-hari ketika kita tidak baik-baik saja. Dan itu bukan kelemahan.
Olahraga dan tidur adalah dua alat sederhana untuk mengembalikan ketenangan. Tapi mereka bukan satu-satunya. Kadang, kita juga butuh bicara.

“Tidur adalah rantai emas yang menyatukan tubuh dan kesehatan kita.”
— Thomas Dekker
Jika segala cara telah dicoba tapi jiwa masih terasa sesak, maka beranilah mencari bantuan. Berkonsultasi ke psikolog, psikiater, atau konselor bukan tanda lemah. Justru itu bentuk keberanian paling sunyi: mengakui bahwa kita butuh ditolong.
Kesehatan mental bukan hanya urusan pribadi, tapi juga bagian dari keberadaban sosial. Karena manusia yang merasa utuh, lebih mampu mencintai, bekerja, dan hidup berdampingan dengan sesama.

Maka tolong diri sendiri, agar bisa menolong dunia. Dan jika kamu melihat seseorang yang lelah dalam diam, ulurkan tangan. Kadang yang paling mereka butuhkan bukan solusi, hanya seseorang yang mau mendengar. (Dari Berbagai Sumber)
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!