Perempuan di Antara Sepak Bola: Harsiwi Achmad dan Layar yang Tak Pernah Padam

Ludus01

“Ia tidak bersorak di stadion. Tapi ia memastikan sorak itu terdengar hingga ke pelosok negeri. Untuk Indonesia. Ia tidak berdiri menyanyikan Indonesia Raya di pinggir lapangan. Tapi ia menjaga agar jutaan orang bisa ikut menyanyikannya dari ruang keluarga.”

Jumpa pers pembukaan Piala Presiden 2025 berlangsung seperti biasanya: ramai, penuh kamera, dan deret pejabat serta pengurus federasi yang duduk di panggung utama. Di antara nama-nama berat seperti Erick Thohir, Maruar Sirait, hingga para pemangku kepentingan PSSI dan operator liga, hanya satu perempuan yang duduk di kursi itu: Harsiwi Achmad.

Ia tidak membawa gelar politik. Ia tidak menjabat di federasi. Tapi keberadaannya lebih dari simbol. Ia adalah representasi dari satu kekuatan sunyi yang selama ini menjaga denyut siaran sepak bola Indonesia tetap hidup, bukan hanya untuk stadion, tapi untuk seluruh ruang keluarga.

Harsiwi tak pernah membawa bola ke gawang. Tapi ia tahu persis bagaimana membuat bola itu bergulir jauh ke hati penonton. Ia bukan pelatih. Bukan komentator. Tapi setiap kali laga tayang dan grafik rating melonjak, nama yang muncul di balik layar hampir selalu sama: Harsiwi Achmad.

Baca Juga: Gelanggang yang Ramai, Podium Juara yang Sepi

Kariernya dimulai dari TPI, saat kontes dangdut dianggap remeh. Ia membuat KDI menjadi gerakan budaya, dan TPI, yang kemudian berubah nama menjadi MNC TV, di posisi teratas. Lalu pindah ke RCTI, ketika stasiun ini terpuruk dan jauh di bawah Indosiar, ia membawa kembali ke puncak. Di SCTV, ia menyusun ulang strategi tayangan. Dan ketika Indosiar nyaris dilupakan, terlempar dari posisi 5 besar, ia menyulapnya dengan Dangdut Academy, lalu menyusupkan bola sebagai napas baru. Dalam waktu singkat: nomor satu lagi.

Programming itu bukan soal selera pribadi, tapi membaca apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat.

Kalimat itu datang dari Harsiwi sendiri, sosok yang akrab dipanggil Mbak Siwi oleh kalangan televisi. Baginya, kerja di layar bukan soal ego atau selera, tapi soal mengerti denyut publik. Indosiar kemudian menjadi rumah sepak bola Indonesia, karena ia tahu bahwa bola bukan sekadar tontonan.

Olahraga bukan sekadar tayangan. Ia adalah bagian dari pembangunan karakter bangsa. Kami ingin terus berkontribusi, karena menurut kami olahraga, khususnya sepak bola, memiliki daya pikat luar biasa.

Yang jarang diketahui publik, suaminya, adalah seorang taekwondoin dan pelatih taekwondo. Mungkin dari rumah itulah ia menyerap denyut dunia olahraga sejak lama, bukan hanya sebagai tontonan, tapi sebagai kerja keras, disiplin, dan keteguhan yang tak selalu tampak di layar. Dari situ pula mungkin ia memahami: bahwa olahraga adalah bahasa universal yang menghubungkan perjuangan, semangat, dan rasa hormat, baik di arena, di studio, maupun di ruang keluarga.

Baca Juga: Warisan Cinta Eka Putra Wirya: Museum Catur Indonesia yang Tak Diwariskan ke Anak, Tapi untuk Bangsa

“The medium is the message,” kata Marshall McLuhan. Maka siaran bola, di tangan Harsiwi, bukan hanya tayangan. Ia adalah pesan emosional, tentang harapan, gairah, nasionalisme, bahkan hiburan di tengah hidup yang penat.

Kini, ia bukan hanya dikenal oleh para artis yang dulu ia orbitkan. Ia juga dikenali oleh para pemain bola, pelatih, komentator, bahkan suporter. Banyak yang meminta langsung padanya, kadang lewat media sosial, agar bola tetap tayang, agar pertandingan jangan dipindah jamnya, agar kamera tetap menyala. Ia menjadi penjaga ruang nonton bersama seluruh negeri.

Namun seperti halnya dunia bola yang tak pernah sunyi dari kontroversi, namanya sempat terseret dalam tragedi Kanjuruhan. Saat banyak nyawa melayang di stadion, Indosiar sebagai pemegang hak siar dituding memaksakan jam malam pertandingan. Harsiwi disalahkan, dicaci. Tapi waktu bicara: ia tak pernah memerintahkan laga digelar malam. Ia hanya, seperti biasa, menjalankan siaran yang ditetapkan operator dan federasi.

Foto/Media Piala Presiden

Foto/Media Piala Presiden

Di titik itu, kita mengerti bahwa perempuan di tengah dunia sepak bola bukan hanya soal hadir atau tidak. Tapi soal tahan atau tidak. Ia bertahan.

Dalam dunia yang keras, Harsiwi membawa intuisi dan rasa. Ia membuktikan bahwa televisi bukan sekadar urusan angka dan iklan, tapi soal hubungan antara layar dan rakyat. Ia mengolah konten dengan kepekaan. Ia membangun program seperti meracik drama. Sepak bola pun disentuhnya dengan narasi.

A woman is not born, but rather becomes,” tulis Simone de Beauvoir.

Dan Harsiwi menjadi, bukan karena panggung disiapkan untuknya, tapi karena ia menciptakan panggungnya sendiri. Proses itu ia mulai sejak muda, dengan memilih jurusan Antropologi di Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat ia lulus sebagai mahasiswa terbaik pada tahun 1990. Pendidikan ini tidak hanya memberinya pemahaman tentang manusia dan budaya, tetapi juga bekal membaca kebutuhan penonton dengan ketajaman sosial.

Setelah itu, ia melanjutkan studi ke Monash University di Australia, mengambil Antropologi dan Sosiologi Komparatif, didukung oleh beasiswa AIDAB. Ia tidak belajar siaran. Ia belajar masyarakat, dan itulah kekuatannya. Ia memahami manusia, sebelum ia memahami kamera.

He who has a why to live can bear almost any how,” tulis Nietzsche.

Harsiwi tahu alasan ia bekerja: untuk penonton. Maka setiap hujatan, tekanan, atau ketidakadilan, tetap ia tanggung, karena ia tahu, televisi tak boleh padam. Bola tak boleh berhenti. Penonton tak boleh dikecewakan.

Foto/Media Piala Presiden

Foto/Media Piala Presiden

Maka dalam Piala Presiden ini, saat para pria bicara sistem, struktur, dan strategi, Harsiwi duduk diam. Tapi jangan salah: tanpa dirinya, tak akan ada layar yang menyala. Tak akan ada kamera yang mengalirkan euforia ke rumah-rumah. Tak akan ada perasaan bahwa sepak bola adalah milik semua orang.

Ia bukan komentator. Tapi komentarnya hidup dalam siaran. Ia bukan pemain. Tapi ia menjaga panggungnya. Ia bukan politisi. Tapi ia tahu cara bicara pada publik, lewat program.

Dan itulah mengapa satu kursi di panggung jumpa pers Road to Final Piala Presiden 2025, yang digelar di Gedung Sate, Bandung, Jumat (11/7/25) kemarin, layak didudukinya. Karena sejak lama, ia telah duduk di panggung yang lebih besar: panggung kepercayaan jutaan penonton.

Foto/Media Piala Presiden

Foto/Media Piala Presiden

Dalam semua tampilannya di ruang publik, satu hal, yang selalu tetap ia jaga: tentang keluarganya. Ia tidak mengumumkan siapa suaminya. Tidak pernah membawa anak-anaknya ke panggung publik, dan bagaimana anak-anaknya tumbuh, atau cerita di balik layar rumahnya.

Tapi justru karena itu, kita tahu: ia memilih menyembunyikan yang paling berharga, dan menjaga dua dunia tanpa mengorbankan salah satunya. Sebab, ia adalah ibu rumah tangga biasa, yang tahu persis kapan harus menghitung data kepemirsaan, dan kapan harus menjadi pelindung keluarga. Tak banyak bicara tentang rumah, tapi ia membuktikan: karier tidak harus merampas kehangatan, dan pengabdian pada pemirsa tidak harus menghilangkan peran sebagai istri dan ibu.

Baca Juga: Ketika Atlet Memilih Kemanusiaan: Kisah Ricardo Rosado dan Kiprono di Malaga Maraton 2023

Tapi, siapa pun yang bekerja bersamanya tahu: ia selalu pulang. Ia tak meninggalkan rumah demi layar, dan tak menukar cinta keluarganya demi rating. Ia hidup dalam dua dunia, dan menyentuh keduanya tanpa menjatuhkan apa pun.

Namanya Harsiwi Achmad, Direktur Produksi dan Programming SCM (Surya Citra Media), rumah besar yang membawahi Indosiar dan SCTV. Dan ia telah membuktikan: bola bisa bergulir jauh, selama masih ada layar, dan satu perempuan yang tahu cara menjaganya.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy


APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!