Tak Bernama di Spanduk, Tapi Bernyawa di Setiap Gerak: Yoyok dan Jalan Hapkido
Ludus01

A leader is best when people barely know he exists.” — Lao Tzu
Di tengah hingar-bingar Kejuaraan Hapkido ASEAN ke-2, spanduk tak menyebut namanya. Namun semua kepala menoleh ketika ia melintas.

Siapa dia?
Namanya tak tercetak di billboard, tak ramai diberitakan media, tak muncul dalam debat di televisi. Tapi ia mengatur semuanya. Ia membuat ribuan kaki melangkah rapi, ratusan tubuh bergerak harmonis, dan nama Indonesia berkibar diam-diam di panggung Asia Tenggara.
Di kalangan awam, ia mungkin hanya pria berjas hitam yang sibuk mondar-mandir di tengah kejuaraan Hapkido ASEAN ke-2 di Yogyakarta itu. Tapi di dunia hapkido, dialah kompas yang dituju, sosok yang dihormati tanpa perlu diperkenalkan. Ia menyambut tamu dari Korea, Meksiko, dan Hongkong. Ia memastikan air minum tersedia di ruang tunggu, memastikan jadwal pertandingan tak meleset semenit pun, memastikan bendera-bendera negara sahabat terpasang pada tiangnya masing-masing.
Ia seperti mengurusi semuanya. Tapi siapa dia?
Namanya tak disebut sebagai ketua umum. Di struktur panitia besar, hanya tertulis satu: Technical Delegate. Di organisasi Hapkido Indonesia (PPHI), ia menjabat sebagai Direktur Teknik. Di kepengurusan Hapkido ASEAN, atau South East Asian Hapkido Union (SEAHU), ia bahkan menjadi Sekretaris Jenderal. Tapi ia, tampaknya tak pernah sibuk dengan sebutan. Ia lebih sibuk bekerja.
Vincentius Yoyok Suryadi, atau dipanggil Master Yoyok, tak membangun kerajaan. Ia membangun kesetiaan. Bukan untuk disembah, tapi untuk dikenang sebagai jalan. Ia memulai Hapkido Indonesia bukan dengan modal besar, bukan pula dengan dukungan sistemik. Hanya satu yang ia punya: keyakinan. Bahwa seni beladiri dari Korea ini bisa hidup, tumbuh, dan membentuk manusia Indonesia.

Pada 2014, saat seminar di Yogyakarta, ia memeragakan jurus seorang diri. Tak banyak yang tahu. Tak ada gegap sorak. Tapi dari ruang kecil itulah sejarah mulai digerakkan. Satu demi satu murid berdatangan. Satu demi satu provinsi bergabung. Ia menyebutnya jalan harmoni—karena Hapkido mengajarkan kelembutan yang kuat, kekuatan yang tak membalas kekerasan.
“Hapkido,” katanya, “adalah seni menyerahkan ego.”
Tentu tak mudah. Di negeri ini, yang kuat cenderung ingin menang, dan yang lemah selalu belajar melawan. Tapi Hapkido mengajarkan sebaliknya: hwa (harmoni), won (melingkar), dan yu (mengalir). Filsafat tubuh yang lahir dari rasa dan kendali, bukan dari otot semata.
Yoyok tak sekadar mengajarkan teknik bantingan dan kuncian. Ia mengajarkan cara menjadi manusia yang bisa menerima tekanan, mengendapkan emosi, dan menyambut konflik dengan kepala dingin. Sebab itu ia tak hanya melatih, tapi juga terus belajar. Ia mendalami sistem pengajaran Korea. Ia hadir di seminar internasional. Ia membawa pengurus, pelatih, dan atlet ke ajang-ajang dunia. Ia bukan hanya pembina. Ia sistem itu sendiri.

Foto/Gerasimos Brian/ludus.id
Dan sistem itu mulai tampak. Di PON Papua 2021, Hapkido tampil dalam eksebisi. Di Aceh-Sumut 2024, ia resmi dipertandingkan. Di Kejuaraan Dunia WHMAF 2023 di Seoul, tim Indonesia membawa pulang 7 emas, 2 perak, dan 2 perunggu. Medali itu tak sekadar angka, tapi bukti: bahwa benih yang dulu ditanam Yoyok, kini berbunga.
Dan di Yogyakarta, pada Mei 2025 lalu, benih itu menjadi taman yang ramai. Lebih dari 440 atlet dari 10 negara ASEAN datang. Wasit dari 13 negara hadir, termasuk dari Korea, Meksiko, dan Hongkong. Bendera-bendera berkibar. Aula ramai. Semuanya berjalan mulus. Lalu siapa yang menyulam semua itu?

Foto/Gerasimos Brian/ludus.id
Master Yoyok.
Ia bukan hanya pelatih. Ia juga protokoler. Ia menyambut tamu-tamu VIP. Ia mengatur ritme acara. Ia memastikan tak satu pun sesi meleset dari jalur. Ia merancang semuanya, seperti maestro di balik panggung orkestra. Tapi tak ada papan nama megah di mejanya. Hanya tulisan kecil: Technical Delegate. Karena memang bukan panggung yang ia cari. Yang ia cari adalah keteraturan. Keberhasilan. Kepercayaan.

Foto/Gerasimos Brian/ludus.id
Mungkin kita tak akan melihat namanya tercetak besar di spanduk. Tapi semua yang hadir di sana, entah sadar atau tidak, sedang menyaksikan kerja diam-diam seorang yang mencintai. “Work is love made visible,” tulis Khalil Gibran. Dan Yoyok adalah wujud dari kerja yang mencintai. Ia bukan selebritas olahraga. Ia adalah juru dakwah sebuah kepercayaan: bahwa beladiri bisa membentuk watak.
Barangkali itu pula yang membuatnya tetap bersahaja, bahkan setelah semua pencapaian datang. Ia seperti tak pernah ingin cepat. Seperti tahu, bahwa kekuatan bukan terletak pada kecepatan, melainkan pada irama. Ia membiarkan semuanya tumbuh pelan-pelan. Asal akarnya kuat.
Baca Juga: Gelanggang yang Ramai, Podium Juara yang Sepi
Seorang guru Hapkido tak sekadar mengajar menyerang dan bertahan. Ia mengajar filosofi hidup: bahwa untuk menjadi kuat, seseorang harus bisa lentur. Bahwa untuk menang, kadang kita mesti mengalah. Bahwa untuk bertahan, seseorang harus bisa tunduk lebih dulu. Seperti air.

Foto/Gerasimos Brian/ludus.id
Dan mungkin itu yang membuat Yoyok seperti air pula. Mengalir, menyelinap ke ruang-ruang kosong, memberi daya pada sistem, tanpa pernah membanjiri panggung.
Nietzsche pernah menulis:
“He who has a why to live can bear almost any how.”
Dan Yoyok sudah sejak lama menemukan why-nya. Maka semua how, entah mendirikan perguruan, merintis cabang, mengangkat logistik, melayani tamu, atau mengawal 440 atlet lintas negara, semua menjadi mungkin. Karena ia tahu, bukan pada soraklah ia hidup, tapi pada ketekunan yang tak terlihat.
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu—mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!