Untuk Olahraga Negeri Ini, Kabar Baik yang Kita Butuhkan

“We must learn to live together as brothers or perish together as fools.”

-- Martin Luther King Jr. --

Dalam dunia yang penuh riuh, kabar baik bukan sekadar hiburan, ia adalah oksigen bagi harapan. Di negeri yang gaduh oleh perseteruan organisasi olahraga, kabar baik dari arena bukan hanya statistik kemenangan, tapi pengingat bahwa kita masih punya alasan untuk percaya.

Dan hari ini, itu datang dari seorang anak muda bernama Alwi Farhan.

Begitu sambaran raketnya membuat kok masuk ke area permainan Justin Hoh, pertandingan itu resmi berakhir. Skor 21-15 dan 21-5 dalam 54 menit mengukuhkan nama Alwi sebagai juara sektor tunggal putra Macau Open 2025, turnamen level BWF Super 300 yang pertama kali ia taklukkan.

Ia tersenyum. Tapi bukan senyum yang biasa. Itu senyum seseorang yang tahu betapa panjang jalan menuju podium, betapa banyak hari ia tak disebut-sebut, tak dijagokan. Lalu ia mengacungkan jari telunjuk ke atas, berjalan perlahan di sisi lapangan, lalu menjabat tangan lawannya dengan hormat.

Foto/BWF

Foto/BWF

Tapi Alwi belum selesai. Lalu ia menari. Bukan sembarang tarian, tapi gaya bocah tari khas "pacu jalur", selebrasi yang ramai di media sosial, penuh jenaka sekaligus akrab. Lalu, ia sujud syukur.

Begitulah kabar baik datang. Tanpa retorika, tanpa sambutan resmi, tanpa konferensi pers. Ia datang dari lapangan bulu tangkis, dari seorang anak muda yang bekerja dalam peluh dan menang dalam tawa.

Dan dunia olahraga Indonesia butuh kabar baik seperti itu. Bukan setiap bulan. Bukan setiap pekan. Tapi setiap hari.

Karena hampir setiap hari pula kita membaca kabar sebaliknya: dualisme organisasi, saling tuding antar federasi, pengurus yang bersuara lebih lantang dari atletnya sendiri. Padahal, kabar baik tidak selalu datang dengan gegap gempita. Ia bisa diam, kecil, lahir dari matras latihan atau peluh pelajar yang pulang malam karena tanding.

Dan dua pekan ini, diam-diam, kabar baik itu datang silih berganti, seperti tetes embun di pagi yang terlalu lama panas.

Sepekan sebelum Alwi, dari China Open, pasangan Fajar Alfian dan Muhammad Shohibul Fikri tiba-tiba membalikkan narasi paceklik juara di bulu tangkis kita. Di tengah kritik dan prediksi kejatuhan, mereka justru naik podium tertinggi. Di hari yang sama, Mohammad Zaki Ubaidillah atau Ubaid, meraih gelar juara tunggal putra Kejuaraan Bulu Tangkis Asia Junior 2025 (BAJC 2025) setelah mengalahkan wakil China Liu Yang Ming Yu pada final di GOR Indoor Manahan, Solo, Minggu, 27 Juli 2025.

Dari China, juga, 38 atlet muda Indonesia menari di Kejuaraan Wushu Junior Asia 2025. Mereka pulang membawa 12 emas, 6 perak, dan 9 perunggu. Di balik namanya yang tak masuk trending, tubuh-tubuh kecil itu berdansa dengan angin, menari dalam gerakan Taolu, bertarung dalam keheningan Sanda. Mereka menang. Dan itu kabar baik.

Dan, dari atlet para bulu tangkis, membawa kabar gembira yang sama: sepuluh medali dari British & Irish Para Badminton International 2025: Ketangguhan Para Bulu Tangkis Indonesia di Tanah Wales.

Beberapa hari sebelumnya, dari catur, anak-anak yang bahkan belum genap 13 tahun mengabarkan kabar baik lain: 10 medali internasional mereka bawa pulang. Lalu seniornya, Sean Winshand Cuhendi, mempersembahkan satu gelar yang tak bisa dibeli: Grandmaster, gelar tertinggi dalam dunia catur. Tenang, nyaris tak terdengar, tapi dalam diamnya itu: bahagia.

Dari kickboxing, timnas kickboxing Indonesia raih 3 medali emas dan 3 perak di Turnamen Internasional Tashkent. Dari pencak silat, sabuk juara dikalungkan. Tak banyak headline, tapi cukup untuk mengingatkan kita: bahwa negeri ini belum kehilangan nyalanya.

Di zaman Romawi, kabar baik, evangelium, tidak selalu berarti damai. Kadang ia diumumkan di tengah genangan darah. Ketika seorang gladiator menang dan nyawanya diselamatkan, sorak-sorai pun meletup. Itulah kabar baik versi rakyat: hidup yang ditangguhkan, keberanian yang diangkat. Tapi ketika Kaisar mengumumkan kelahiran putra mahkota atau kemenangan pasukan di medan perang jauh di Galia, itu juga dinamakan kabar baik, versi penguasa.

Takdir kabar baik rupanya bergantung dari siapa yang mengucapkannya. Seorang filsuf Stoa seperti Seneca akan bilang, kabar baik bukanlah bebas dari kekalahan, tapi bebas dari ketakutan. Bukan ketika engkau menang, tapi ketika engkau tak lagi takut kalah. Itulah kemenangan batin.

Sementara Epicurus mungkin akan tersenyum dari taman belakang rumahnya, sembari menyeruput anggur murahan: kabar baik adalah hari yang lewat tanpa rasa sakit, malam yang tiba tanpa kecemasan. Tak perlu meriah, cukup tenang.

Tapi hari-hari ini, kita boleh sedikit bersorak. Bukan di Colosseum, bukan pula di forum-forum filsafat. Di matras, di kolam, di gelanggang yang jauh dari sorotan global, kabar baik datang dari para atlet muda Indonesia. Bukan kemenangan Kekaisaran, melainkan kerja diam-diam dari anak-anak republik.

Mereka mungkin tak kita kenal namanya. Tak masuk trending. Tapi tiap medali itu menyelamatkan satu asa, satu alasan untuk tetap percaya bahwa negeri ini masih bisa menang, tanpa perlu teriak paling keras.

Mungkin kita tidak selalu tahu kapan kabar baik datang. Tapi ia jarang datang dari mereka yang banyak bicara. Ia datang diam-diam. Seperti gladiator yang tak menjanjikan kemenangan, tapi menunjukkan keberanian. Seperti filosofi kuno yang tak menawarkan hadiah, tapi pembebasan.

Kabar baik dari dunia olahraga kita hari-hari ini bukanlah total medali, tapi bahwa mereka masih percaya, dan membuat kita ikut percaya, bahwa kerja keras tidak sia-sia, bahwa keberanian tidak pernah kalah, dan bahwa negeri ini masih punya alasan untuk bangga, walau bukan lewat sensasi.

Kita sedang tidak menanti piala dunia, atau olimpiade. Tapi kabar baik tak selalu harus ditunggu besar-besaran. Kadang ia datang dari peluh anak-anak di pelatnas, dari medali yang ditulis di kolom-kolom kecil media, dari satu bendera merah-putih yang naik di luar negeri, diiringi lagu Indonesia Raya yang kita hafal sejak SD, dan kita tiba-tiba terdiam.

Itulah kabar baik. Bukan karena dunia tahu, tapi karena hati ini sempat lupa.

Tapi kabar baik, sering kali, datang terlambat. Tidak turun dari langit dengan nyanyian malaikat, tak juga menjemput kita di pagi hari dengan secangkir kopi. Ia datang setelah segalanya nyaris hancur, kadang lewat pintu belakang, kadang tanpa suara.

Maximus dalam Gladiator kehilangan anak dan istri sebelum menjadi simbol harapan di arena. Ia tidak mencari kemenangan; ia hanya ingin pulang. Tapi nasib mengajaknya memikul keadilan. Dan ketika orang-orang mulai menyebut namanya, ketika sorak penonton bukan lagi karena darah, tapi karena kebenaran yang mereka tahu akhirnya berdiri, di situlah evangelium itu lahir. Bukan karena ia hidup, tapi karena sesuatu yang benar tidak jadi mati.

Chris Gardner tidur di toilet umum bersama anaknya. Ia bersaing dalam program magang tanpa bayaran, sambil menjual alat medis yang tak laku. Ia bisa menyerah. Tapi ia tidak. Dan ketika seorang manajer berkata, “Selamat datang di tim kami,” Chris keluar dari kantor, berjalan ke trotoar, dan menangis. Kabar baik itu datang tanpa trompet. Tapi barangkali dunia bergetar sedikit.

Kisah nyata Chris Gardner ini kemudian diangkat ke layar lebar dalam film The Pursuit of Happyness, sebuah film yang memperlihatkan betapa kabar baik bisa lahir dari lorong gelap toilet umum, dari peluh, dari kesabaran yang tak diberi panggung.

“You got a dream, you gotta protect it. People can't do something themselves, they wanna tell you, you can't do it.” (Kalau kamu punya mimpi, kamu harus jaga mimpi itu. Orang-orang yang tidak bisa meraih sesuatu akan bilang bahwa kamu juga tidak bisa) -- The Pursuit of Happyness

Oskar Schindler punya daftar. Nama-nama di atas kertas, mewakili nyawa yang bisa hidup jika ia membayar lebih, menyuap lebih, memohon lebih. Di tengah Holocaust, ia menyelamatkan 1.200 orang. “Siapa menyelamatkan satu nyawa,” kata Talmud, “telah menyelamatkan seluruh dunia.” Kabar baik dalam kisahnya tidak mengubah sejarah, tidak menghentikan perang. Tapi dunia berubah sedikit, karena ia menolak menjadi buta.

Ia bukan pahlawan dalam pengertian konvensional. Ia seorang industrialis Jerman, anggota partai yang salah, di tengah rezim yang salah. Tapi justru dari posisi itu ia melawan: dengan menyuap, memohon, dan menghabiskan seluruh pengaruh serta kekayaannya untuk membuat daftar orang-orang Yahudi yang "dipekerjakannya" agar mereka tak dikirim ke kamp konsentrasi.

Kelak dunia mengenalnya lewat film Schindler’s List, dan mengenang satu kalimat dari Talmud yang jadi napas dari segalanya: “Siapa menyelamatkan satu nyawa, telah menyelamatkan seluruh dunia.”

Kabar baik dalam kisahnya tidak mengubah sejarah, tidak menghentikan perang. Tapi dunia berubah sedikit, karena ia menolak menjadi buta.

Nelson Mandela keluar dari penjara dengan tubuh renta, tapi dengan hati yang tak berubah. Ia tak membawa dendam, hanya mimpi yang ditahan 27 tahun. Ia bisa marah, tapi ia memilih rekonsiliasi. Dunia menyaksikan, dan barangkali dunia mengerti: kabar baik itu bukan hanya ketika kekuasaan berganti, tapi ketika luka tidak mewariskan luka baru.

Malala ditembak karena bersekolah. Sebuah peluru hampir menghapus hidupnya. Tapi ketika ia bicara di hadapan PBB, ia tidak bicara tentang balas dendam. Ia bicara tentang pensil, tentang buku, tentang guru. Tentang hak untuk belajar. Kabar baik kadang lahir dari luka yang tak bisa dijahit, tapi bisa diucapkan.

Kita hidup dalam dunia yang riuh. Kita menerima ratusan notifikasi sehari, tapi kadang kita lupa menunggu kabar baik. Kita lebih cepat membaca skandal daripada kemenangan. Lebih cepat mencibir daripada mendoakan. Kita jadi terbiasa percaya bahwa kabar baik itu milik orang lain, bahwa hidup kita terlalu biasa untuk jadi berita.

Tapi mungkin, justru di situlah kabar baik ingin menetap.

Ia tak selalu berupa medali, bukan juga naik jabatan. Ia bisa berupa anak yang tidur tenang malam ini. Ibu yang akhirnya sembuh. Teman yang mengirim pesan, hanya untuk berkata: “Aku ada.” Mungkin hari ini tak spektakuler. Tapi jika kau masih bisa bangun, masih bisa berharap, masih bisa bertahan—itu kabar baik.

Dari Maximus, Gardner, Schindler, Mandela, Malala, dan dari para atlet muda Indonesia yang pulang membawa medali tanpa nama di kepala berita, kita belajar bahwa kabar baik bukan berarti hidup tanpa luka. Tapi luka yang tak membusuk. Bahwa tidak semua perjuangan akan dikenal, tapi semua keberanian berarti.

Dan barangkali, hari ini, engkau tidak menunggu apa-apa. Tapi tetap bekerja. Tetap memberi. Tetap percaya. Itu pun sudah cukup untuk disebut kabar baik.

Untuk dunia. Untuk orang-orang di sekelilingmu. Untuk dirimu sendiri. Dan untuk masa depan olahraga Indonesia, yang tak akan dibangun oleh sensasi, tapi oleh peluh yang tulus dan keberanian.

Kabar baik itulah yang akan membawa kita ke depan. Bukan cuma sekali setahun. Tapi setiap hari, dari gelanggang yang kecil, dari anak-anak yang besar cita-citanya, dari atlet-atlet yang memilih diam tapi menang.

Karena Indonesia Emas tidak akan datang dari keramaian semata. Ia datang dari kabar-kabar baik yang tak kita sadari, tapi kita perjuangkan bersama.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!