Zach Alexander Tjong Juara Asia Timur 2025: Anak Ajaib SCUA yang Tak Gentar di Kandang Naga
Ludus01

LUDUS - Pada suatu sore yang hangat di Zhuhai, kota pesisir yang bermandikan angin dari selatan Tiongkok, seorang anak Indonesia berusia delapan tahun duduk tenang di hadapan papan catur. Tangannya kecil, tapi langkah-langkahnya menjelma seperti mantra: mengatur irama, membaca bahaya, dan memilih keberanian. Di sekelilingnya, 464 pecatur dari 14 negara saling berhadapan dalam kejuaraan catur junior paling kompetitif se-Asia Timur. Tapi di kursi itu, hanya ada Zach Alexander Tjong dan pikirannya yang menari jauh melebihi usianya.

Foto/Dokpri
Tujuh hari kemudian, Indonesia berdiri di puncak podium. Emas menggantung di leher bocah kecil itu, bukan satu, tapi dua. Satu dari nomor standar, satu lagi dari blitz. Sementara dari nomor rapid, ia menyelipkan perunggu ke dalam koper kepulangannya. Dan semua itu bukan kebetulan. Dari tangan mungilnya, lahir kemenangan yang merobek dominasi China di kandangnya sendiri.
“Senang banget... lega juga karena sudah kasih yang terbaik buat Indonesia,” ucapnya, polos namun padat, seperti kalimat seorang veteran.
Segalanya bermula dari sebuah ruang kecil di rumah, pada tahun-tahun gelap pandemi. Ketika dunia terkunci dan anak-anak kehilangan halaman untuk bermain, Zach menemukan papan catur.
Zach pertama kali mengenal catur bukan dari buku strategi, bukan dari pelatih hebat, tapi dari ibunya, Fenny Suteja, dan pengasuh rumah. Usianya baru 4,5 tahun. Dunia saat itu sedang dalam cengkeraman pandemi. Semua kegiatan bergeser ke rumah. Di tengah kebosanan global, catur menjadi pelariannya. “Saat itu sedang zaman Covid. Kami hanya ingin cari kegiatan yang bermanfaat, dan pilihan kami jatuh ke catur,” kenang sang ayah, Winardi Candiawan.

Foto/Dokpri
Tak ada yang menyangka bahwa keisengan itu akan tumbuh menjadi kegigihan. Anak itu betah duduk sendiri berjam-jam, memandangi video pertandingan, menyalin ulang partai, dan mengulang-ulang langkah seperti menghafal lagu masa depan. Ketika pelatih di Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA) mengajaknya ikut Kejurnas U-7 di 2023, usianya baru lima tahun. Mereka hanya ingin mencoba. Tapi Zach pulang dengan medali perunggu dari nomor blitz. Di situlah, semuanya berubah.

Foto/Dokpri
Tahun berikutnya, Zach menggulung semua lawannya di Kejurnas U-7. Ia tampil sebagai juara nasional catur standar, dan memperkuat tahtanya dengan menaklukkan Kejurda DKI Jakarta di kelas usia yang sama. Di Malaysia, ia tampil di ajang festival catur internasional dan meraih emas serta perak di dua kategori rapid berbeda. Di Asian School Chess 2024, Zach melesat, juara blitz, dan dua kali podium di nomor standar dan rapid.
Dan ketika ia melangkah ke Zhuhai pada Juli 2025, Zach bukan lagi bocah kejutan. Ia adalah ancaman nyata, yang dengan langkah-langkah tenangnya, mengguncang papan catur para wakil tuan rumah. Ia datang dengan sejarah, dan pulang dengan kehormatan.
“Zach itu semangatnya luar biasa,” kata sang ayah. “Saat anak-anak lain bermain, dia memilih mempelajari catur, bahkan di waktu luang.”

Foto/Dokpri
Namun semangat saja tak cukup. Di belakang anak delapan tahun ini berdiri dua kekuatan penting yang saling menopang: keluarga dan pembinaan yang terarah. Ayah dan ibunya bukan hanya penyedia papan dan jam digital, mereka adalah penyedia ruang tumbuh yang hangat. Sang ayah, yang juga paham catur, kerap menjadi sparring, teman diskusi, sekaligus pelatih di kala jeda. Ketekunan Zach berlatih dua hingga tiga jam per hari, nyaris setiap hari, hanya mungkin terjadi karena ayah-ibunya meletakkan prioritas yang jelas: bukan sekadar menang, tapi bertumbuh.
Di sisi lain, SCUA telah menjadi ladang tempat bakat Zach digarap dengan serius. Di sanalah, para pelatih melihatnya bukan sebagai anak kecil biasa, tapi benih juara yang harus disiram dengan metode dan mental juang. Di sanalah, Zach belajar disiplin posisi, taktik, dan prinsip berpikir dalam tekanan. Dari SCUA, lahir pecatur-pecatur masa depan seperti Zach. “Dan kebetulan, Zach adalah salah satu bakat terbaik di usia termuda yang pernah saya temui," terang Eka Putra Wirya, pemilik Sekolah Catur Utut Adiando, dengan bangga.

Latihannya bukan sekadar rutinitas. Sepulang sekolah pukul tiga sore, ia mencuri dua sampai tiga jam untuk mengasah pikirannya. Kadang bersama pelatih, kadang bersama ayahnya, kadang sendirian. Setiap dua minggu, ia bertanding. Bukan untuk menang, tapi untuk tumbuh.
Namun, seperti anak-anak lain, Zach pun kadang jenuh. “Tugas kami menjaga agar latihan tidak membunuh rasa senangnya,” ujar sang ayah. Di sinilah seni mendidik sang juara muda: menciptakan keseimbangan antara main dan mimpi, antara waktu bermain dan panggilan takdir.
Menurut pelatihnya di SCUA, Sean Winshand Cuhendri, Zach adalah berlian yang sedang dipoles. “Salah satu bakat terbaik di usia termuda yang pernah saya temui,” ujarnya. “Dan yang tak kalah penting, dukungan keluarganya luar biasa. Papanya juga jago main catur. Dari SCUA, lahir pecatur-pecatur masa depan seperti Zach.”
“Catur itu game yang menantang dan mengasah otak,” kata Zach. “Beda dengan game lainnya.” Di balik kalimatnya yang pendek, ada kebijaksanaan yang tak lazim di usia delapan tahun. Di lapangan yang hening dan penuh ketegangan, ia menemukan dirinya sendiri. Dan dari kemenangan itu, ia tahu: yang dia lakukan bukan hanya soal pion dan raja, tapi tentang membawa nama bangsa dalam diam.

Menurut Lisa Lumongdong, manajer tim Indonesia, Zach adalah salah satu dari generasi baru pecatur Indonesia yang menjanjikan. “Di babak akhir, mereka tampil penuh percaya diri dan berani mengambil keputusan,” katanya. Indonesia sendiri membawa pulang 4 emas, 1 perak, dan 2 perunggu dari Zhuhai, dan sebagian besar medali datang dari anak-anak yang bahkan belum menyentuh usia remaja.
Eka Putra Wirya menyebut kemenangan Zach di Zhuhai sebagai lebih dari sekadar kejutan. “Asia Timur itu pusat kekuatan catur dunia. Kalau anak Indonesia bisa menang di sana, apalagi atas pemain China, itu artinya kita punya peluang besar untuk bersaing di level dunia.”
Zach pun memahami makna dari semua itu. “Aku ingin jadi inspirasi buat pecatur Indonesia,” katanya. “Biar pecatur-pecatur yang lain juga bisa maju.” Ketika ditanya siapa lawan terberatnya di Zhuhai, ia menjawab tegas: “Pemain dari China dan Hongkong, mereka kuat. Tapi aku selalu ingat prinsip pelatih: dalam situasi apa pun, masih ada harapan.”

Foto/Dokpri
Di dunia catur, satu langkah bisa berarti segalanya. Satu keputusan bisa memindahkan sejarah. Dan Zach Alexander Tjong, dengan langkah kecil dan suara tenangnya, telah membawa sebuah negeri merayakan harapan. Dari meja makan saat pandemi, kemudian ke SCUA, dan ke podium emas di “kandang naga,” Zach bukan hanya pecatur. Ia adalah simbol bahwa usia bukan batas, bahwa anak-anak pun bisa menantang dunia, asalkan diberi kepercayaan.

Foto/Dokpri
Ia masih mencintai sepak bola, masih ingin menjadi atlet sejati. Tapi di atas segalanya, ia tahu bahwa pada papan catur yang hitam-putih, ia telah menemukan tempat untuk bermimpi. Dan mungkin, dari situ, langkah-langkahnya baru saja dimulai.

Foto/Dokpri
Zach Alexander Tjong, anak kecil berusia 8 tahun, sedang menulis masa depannya sendiri, bukan dengan pena, tapi dengan langkah-langkah tenang di atas papan catur. Ia belum tahu ke mana jalan ini akan membawanya: Grandmaster, guru, atau inspirasi di sekolah-sekolah catur kecil di Indonesia. Tapi yang ia tahu pasti, setiap gerakan bidak hari ini sedang menyusun sejarah kecil, yang suatu hari akan dikenang sebagai awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.
“Ia belum cukup umur, masih bocah untuk memahami makna sejarah, tapi Zach telah menuliskannya, dengan kesederhanaan, keberanian, dan cinta dari keluarga yang percaya, serta keyakinan bahwa bangsanya akan selalu berdiri di belakang langkah kecilnya.”
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!