


Di setiap awal, ada putih. Begitu pula ketika seorang anak baru masuk ke dojang taekwondo. Ia berdiri kikuk, kadang dengan tatapan bingung, kadang dengan wajah percaya diri yang dibuat-buat. Lalu ia mengenakan dobok: sepotong pakaian sederhana, putih polos, yang dari jauh tampak seragam dan tanpa perbedaan. Putih itu seperti halaman kosong sebelum tinta pertama menyentuhnya.
Dobok putih adalah simbol kesetaraan. Tidak ada nama keluarga, tidak ada jabatan, tidak ada garis keturunan yang disulam di dadanya. Ia sama untuk semua. Di hadapan dobok, seorang anak pejabat dan anak pedagang kaki lima berdiri pada garis awal yang sama. Semua bermula dari putih, dari kesederhanaan, dari kebersihan niat.

Lao Tzu menulis, “Perjalanan seribu mil dimulai dari satu langkah.” Langkah pertama itu, di taekwondo, dimulai dengan dobok putih. Ia adalah kain yang menandai tekad untuk ditempa. Ia akan ternoda oleh keringat, akan terciprat tanah, bahkan kadang sobek di ujungnya. Tapi noda itu bukan cacat. Ia adalah catatan perjalanan. Bukankah hidup pun bekerja dengan cara yang sama? Kita lahir dengan putih yang bersih, lalu waktu memberi goresan, ada yang berupa luka, ada yang berupa pelukan, ada yang berupa kerja keras yang tak kenal selesai.
Dobok yang dulu putih akan menjadi kusut, berubah warna, kehilangan kesuciannya. Tetapi justru dari situlah lahir makna. Dalam setiap lipatan dobok yang basah oleh peluh, kita bisa membaca sebuah biografi: tentang jatuh yang diulang-ulang, tentang bangun yang tak pernah gagal, tentang disiplin yang diam-diam tertulis pada tubuh. Sabuk yang melingkar di pinggang hanyalah tanda; perjalanan sesungguhnya bukan tentang warna sabuk, tapi tentang bagaimana manusia bergerak dari ketidaktahuan menuju kebijaksanaan, dari keluguan menuju pengertian.

Di Korea, tempat taekwondo dilahirkan, para guru mengajarkan lima tenet: ye-ui (kesopanan), yom-chi (integritas), in-nae (ketekunan), guk-gi (pengendalian diri), dan baekjul-boolgool (semangat pantang menyerah). Dobok putih adalah pengingat bahwa setiap kali ia dikenakan, nilai-nilai itu mesti melekat pada tubuh. Kita mungkin bisa menendang lebih tinggi atau memukul lebih cepat, tapi taekwondo bukan hanya tentang gerakan. Ia adalah jalan kaki dan tangan yang bermoral.
Saya teringat pada kalimat Yi Hwang, filsuf besar Korea abad ke-16: “Kesempurnaan manusia terletak bukan pada bebas dari kesalahan, melainkan pada keberanian untuk memperbaikinya.” Dobok, dengan segala noda dan robekannya, seakan membisikkan hal yang sama. Ia tak pernah bersih selamanya. Tapi di situlah letak keberanian: untuk menerima noda, untuk bangkit dari jatuh, untuk memperbaiki langkah yang keliru.
Nietzsche pun menulis: “Ia yang memiliki alasan untuk hidup, sanggup menanggung segala cara.” Dobok, dalam kesunyian kain putihnya, menyimpan alasan itu. Ia mengingatkan kita bahwa latihan bukan hanya soal memenangkan pertarungan di atas matras. Ia adalah cara manusia menundukkan musuh yang tak terlihat: kemalasan, ketakutan, putus asa. Musuh yang selalu mengintai, bahkan di luar gelanggang.

Pada hari ini, 4 September, sebagai Hari Taekwondo Sedunia ini, kita bisa belajar dari selembar dobok putih. Ia tak pernah berteriak, tapi ia mencatat. Ia menyimpan keringat dan air mata, bahkan mungkin darah. Ia sederhana, tapi di balik kesederhanaannya ia mengajarkan satu hal: bahwa hidup bukan tentang menjaga agar putih tetap putih. Hidup adalah bagaimana kita menerima noda, robekan, dan warna, lalu menjadikannya bagian dari diri kita.
Mungkin itu sebabnya para atlet dunia memilih dobok yang bisa setia menemaninya dalam perjalanan, dobok yang tak sekadar kain, tapi juga menjaga filosofi. Mungkin itu sebabnya dobok selalu putih. Warna itu bukan sekadar kain yang menutup tubuh. Ia adalah lambang permulaan, kesederhanaan, juga keterbukaan untuk belajar. Ketika seorang anak mengenakan dobok, ia sesungguhnya sedang masuk ke dalam sebuah ruang suci, tempat tubuh dan jiwa dipertemukan.

Foto/Dok.RATG
Di Bangkok, seorang atlet junior Indonesia baru saja menorehkan emas dalam kejuaraan internasional. Usianya masih belia, tapi tendangannya membawa gema yang jauh. Ada riuh tepuk tangan, ada lagu kebangsaan yang berkumandang. Namun di balik semua itu, yang lebih penting barangkali adalah pelajaran: bahwa kemenangan lahir dari kesetiaan pada latihan yang berulang-ulang, pada disiplin yang sering kali membosankan.
Goethe pernah menulis, “Kebebasan sejati lahir dari ketaatan.” Dalam taekwondo, ketaatan itu diwujudkan lewat gerakan yang tampak sederhana, kihap yang lantang, salam hormat sebelum dan sesudah bertanding. Semua itu adalah tanda bahwa kekuatan tidak pernah boleh dilepaskan dari hormat, dari tata krama, dari keindahan yang hening.

Dan di titik ini, bahkan benda sederhana seperti dobok ikut bicara. Seperti halnya sebuah kuas dalam lukisan, dobok bukan hanya pakaian, ia medium dari perjalanan seorang atlet. Saya teringat pada satu merek yang kini banyak dikenakan para atlet pemula hingga profesional, untuk latihan maupun untuk bertanding: Dobok Ludus. Tak ada yang berlebihan pada jahitannya, tetapi ada ketegasan pada bentuknya, ada kenyamanan yang membuat seorang atlet bisa bergerak leluasa, dan sepenuhnya hadir pada pertarungan. Bukankah justru itu tujuan pakaian? Menjadi nyaman, agar tubuh yang berbicara.
Ada yang percaya pada dobok Ludus: ringan, sederhana, tapi tahan pada setiap jatuh dan bangkit. Bukan sekadar merek, melainkan sahabat yang akan merekam jejak latihan, disiplin, dan pengorbanan.
Ketika medali emas itu digenggam para atlet, kita tahu: kemenangan bukan sekadar catatan skor. Ia adalah kelanjutan dari perjalanan panjang, dari keringat yang jatuh di atas matras, dari salam hormat kepada lawan, dari disiplin yang diajarkan sejak hari pertama seorang anak mengenakan dobok putih.
Mungkin, sebagaimana filosofi timur, kemenangan itu bukanlah ujung, melainkan awal. Dan kita, yang menyaksikan, belajar lagi untuk tidak hanya memuja hasil, tetapi juga menghormati jalan yang ditempuh. Do, jalan itu sendiri.

Kita semua memulai dari putih. Tapi kita tidak ditakdirkan untuk tetap putih. Kita ditakdirkan untuk menjalani, menempuh, dan mengisi. Pada akhirnya, dobok itu, seperti hidup, tak lagi steril. Ia mungkin lelah, lusuh, bahkan berjejak keringat yang tak terhapus. Tetapi justru di situlah ia menemukan dirinya.
Sebuah dobok yang baik tak lekas menyerah pada waktu; ia menua bersama kita, menanggung setiap tarikan napas dan setiap gerakan, menjadi saksi yang diam namun setia. Ada kekuatan dalam ketahanannya, seperti hidup yang tak berhenti hanya karena luka, melainkan justru menjadi utuh karenanya. Mungkin itu sebabnya banyak atlet memilih dobok pendatang baru seperti LUDUS: sederhana, tangguh, dan awet, seolah memang diciptakan untuk berjalan lama bersama pemakainya, hingga ia akan menjadi pemenang pada saatnya.
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!