Jelang Haornas 2025: Nasionalisme yang Berkeringat

Ludus01

Ada sesuatu yang hanya olahraga bisa ajarkan kepada kita. Politik sering memecah, birokrasi kerap memperumit, bahkan semboyan “persatuan” kadang hanya berhenti di spanduk. Tetapi ketika Merah Putih naik di podium tertinggi, ketika “Indonesia Raya” berkumandang di negeri asing, semua sekat itu runtuh seketika. Kita bersatu tanpa dipaksa, tanpa perlu diminta.

Ada saat-saat ketika nasionalisme itu terasa begitu sederhana, begitu murni. Bukan di ruang sidang parlemen yang gaduh, bukan pula di baliho yang bertebaran di jalan raya. Ia justru hadir di tempat yang paling tak terduga: gelanggang olahraga. Di sana, tubuh-tubuh yang berkeringat mewakili kita semua, dan ketika Merah Putih naik ke puncak tiang, dada kita serempak bergetar.

Sepak bola sering menghadirkan momen itu. Ketika tim nasional bertanding, jutaan orang duduk bersama, dari warung kopi sampai ruang keluarga. Tak ada perdebatan partai, tak ada silang sengketa politik. Yang ada hanya teriakan serempak: Indonesia! Indonesia! Bulutangkis bahkan lebih dari itu. Piala Thomas Cup, Piala Sudirman, hingga emas Olimpiade selalu menyalakan api nasionalisme yang nyaris mustahil ditirukan oleh medium lain. Pada saat-saat itulah, nasionalisme tidak hadir lewat pidato, melainkan lewat detak jantung yang serempak.

Saya masih menyimpan jelas satu momen: Sydney, 2000. Candra Wijaya dan Tony Gunawan berdiri di podium tertinggi. “Indonesia Raya” berkumandang, bendera merah putih perlahan naik. Saya berdiri di sudut arena, dada saya bergetar, mata saya panas. Sejak itu saya semakin percaya, nasionalisme paling tulus lahir dari keringat atlet, bukan dari pidato pejabat.

Kita bisa menambahkan nama-nama lain. Dari papan catur yang hening, dari lintasan atletik yang riuh, dari lapangan bulutangkis yang gemuruh, selalu ada tubuh-tubuh yang diam-diam menanggung beban bangsa. Seperti pada saat Veddriq Leonardo tampil di Olimpiade Paris 2024. Ia memanjat dinding setinggi 15 meter dengan kecepatan yang nyaris mustahil, mengalahkan Wu Peng dari China dengan selisih tipis 0,02 detik. Hari itu, di Paris, ia memecah udara seperti peluru cahaya, menantang logika fisika. Tapi jauh dari sorak penonton, di rumah-rumah, di Indonesia, jutaan orang tubuhnya bergetar hebat saat Indonesia Raya berkumandang karenanya.

Pierre de Coubertin, bapak Olimpiade modern, pernah berkata: “The important thing in life is not the triumph, but the struggle.” Penting bukan kemenangan, melainkan perjuangan. Tapi bagi sebuah bangsa, kemenangan itu sering lebih dari sekadar angka. Ia menjadi penanda bahwa kita bisa, kita mampu, kita ada.

Ironinya, begitu sorak sorai selesai, para atlet sering kembali ke realita pahit. Mereka menunggu bonus yang tak kunjung cair, menggenggam medali yang tak menjamin masa depan. Bung Karno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.” Tetapi entah mengapa, para pahlawan olahraga ini sering kita lupakan setelah euforia mereda.

Jean-Jacques Rousseau, dalam The Social Contract, menulis tentang volonte generale, kehendak umum. Bagi Rousseau, nasionalisme bukanlah urusan darah, tanah leluhur, atau ikatan etnis yang diwariskan. Ia lahir dari sebuah ikatan, di mana warga negara membuang kepentingan pribadi demi sebuah kepentingan bersama. Bangsa, dalam pandangannya, adalah komunitas moral-politik.

Di titik itu, nasionalisme tidak lagi sekadar simbol, melainkan perjanjian. Ia rapuh, karena hanya bisa hidup bila ada kesediaan tiap orang untuk percaya pada “kita”. Dan ia juga kuat, sebab tidak ada yang lebih mengikat selain rasa sepenanggungan: bahwa luka satu adalah luka semua, bahwa keberhasilan satu mesti dirayakan bersama.

Di zaman ini, ketika nasionalisme sering diperas menjadi slogan kosong atau dijual dalam bunyi parade, gagasan Rousseau terasa mengganggu. Ia seakan mengingatkan kita: bangsa bukanlah warisan semata, melainkan keputusan yang diulang setiap hari. Nasionalisme adalah kerja tanpa henti untuk tetap percaya pada kita, meski godaan untuk kembali pada diri sendiri selalu lebih mudah.

Mungkin itu sebabnya nasionalisme sejati tidak pernah bisa dipaksakan. Ia tumbuh pelan, dalam kesediaan warga negara menaruh dirinya pada kepentingan yang lebih besar.

Di sinilah paradoks itu hadir: nasionalisme yang lahir di gelanggang begitu jujur, begitu murni. Tapi begitu ia kembali ke tanah air, kadang yang menunggu adalah birokrasi yang berbelit. Atlet yang mengibarkan bendera di negeri asing bisa saja kembali menjadi pegawai honorer dengan gaji pas-pasan. Kita bangga pada keringat mereka, tapi lupa menyiapkan jalan hidup setelah tubuh tak lagi sekuat dulu.

Nietzsche menulis, “There is more wisdom in your body than in your deepest philosophy.” Dan mungkin, benar adanya. Tubuh atlet yang jatuh bangun, yang berdarah, yang berkorban, lebih bijak dari segala teori tentang nasionalisme yang pernah kita baca. Tubuh-tubuh itulah yang membuat kita bersatu tanpa syarat, meski hanya sekejap.

Mungkin hanya di lapangan, di gelanggang, di papan catur atau lapangan bulutangkis, kita benar-benar mengerti arti Indonesia: ia bukan kata, bukan definisi, melainkan air mata yang jatuh ketika Merah Putih naik perlahan, dan lagu kebangsaan terdengar di negeri asing.

Olahraga mengajari kita satu hal: bersatu itu bukan sekadar semboyan, melainkan perasaan yang lahir alami ketika kita melihat Merah Putih naik ke puncak tiang. Dan mungkin, di situlah letak nasionalisme yang paling jujur.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!