Kalah di Final Kumamoto Masters 2025: Harapan yang Masih Membara di Perjalanan Gregoria Mariska Tunjung
Akhmad Sef


LUDUS - Gregoria Mariska Tunjung melangkah masuk. Pelan. Tapi mantap. Ia menggandeng tangan seorang gadis remaja Jepang yang cantik. Keduanya bergerak seiring, seolah mengikuti irama yang hanya mereka berdua dengar. Kumamoto Prefectural Gymnasium bergemuruh. Sorak pecah seperti ombak menghantam tebing. Sejenak, dunia mengecil. Hanya napas. Hanya denyut nadi. Hanya tatapan yang berkelindan: antara harapan yang masih membara dan keberanian.

Foto/PBSI
Gregoria mendongak. Menatap jauh ke deretan penonton. Ke langit-langit arena yang memantulkan cahaya putih. Tatapannya tak padam. Tapi juga tak lagi gelisah seperti dulu. Dan di hadapannya, berdiri lawannya, ramping, tenang, siluet yang pernah membuat banyak lawan terdiam, Ratchanok Intanon, dari Thailand, menunggu dengan sorot mata yang menyimpan sejarah panjang pertemuan mereka.

Foto/PBSI
Di arena yang dipenuhi hiruk-pikuk sorak dan degup yang seakan menyatu dengan langkah para atlet, Gregoria Mariska Tunjung berdiri dengan tatapan yang tak sepenuhnya padam. Final Kumamoto Masters 2025 bukan sekadar pertandingan; ia terasa seperti sebuah kisah yang ditulis oleh napas panjang seorang atlet yang pernah jatuh, bangkit, lalu kembali berlari ke jantung arena dengan keyakinan yang lebih jernih. Di tengah sorot lampu yang tajam, Gregoria menyimpan satu hal yang tidak memudar: syukur. Karena dari podium mana pun, ia tetap menemukan sesuatu untuk dipelajari.

Foto/PBSI
Dia menyebut dirinya cukup puas dengan performanya, meski mengakui hasil ini bukan yang terbaik yang bisa ia raih. Justru dari situlah ruang refleksi dibuka lebar. Dalam kata-katanya terkandung ketenangan setelah badai, karena beberapa bulan terakhir baginya adalah perjalanan yang berat, dan Kumamoto, entah bagaimana, seakan membawakan keberuntungan, membuatnya sampai ke final yang mungkin tak banyak diduganya.

Foto/PBSI
Laga final itu sendiri bergulir seperti dua babak drama yang nyaris berakhir bahagia. Di game pertama, saat ia tertinggal 2-7, Gregoria menemukan tujuh poin beruntun yang mengubah aliran pertandingan menjadi 9-7 lalu 11-8. Interval terasa seperti jeda napas yang menipu; selepas itu, Ratchanok Intanon datang dengan empat poin berturut-turut, menyalip 11-12, dan menutup game dengan 16-21.
Game kedua berubah menjadi perjalanan naik-turun yang menegangkan. Intanon memulai dengan enam poin beruntun, unggul 6-1, mengunci kendali hingga 11-6. Namun Gregoria, dengan daya tahan yang ia akui perlu kembali dipertajam, perlahan mengikis jarak.

Foto/PBSI
Empat poin beruntun mempersempit nilai menjadi 12-11, memberi harapan yang tipis tapi terasa tumbuh. Saat tertinggal 16-20, ia masih berjuang, dan perjuangan itu membuat arena menahan napas. Gregoria menyamakan kedudukan menjadi 20-20, sebuah momen yang membuat seisi stadion seperti berhenti bergerak. Tapi drama itu berujung pada dua poin terakhir yang menutup pertandingan dengan 22-20 untuk Intanon.

Foto/PBSI
Skornya tercatat jelas: 21-16, 22-20. Kekalahan lain dari seorang lawan yang tampak ditakdirkan menjadi tembok paling sulit baginya. Ini kemenangan kesepuluh Ratchanok dalam 13 pertemuan melawan Gregoria, dan kemenangan yang membawa pemain Thailand berusia 30 tahun itu meraih gelar keduanya tahun ini setelah Indonesia Masters 2025.

Foto/PBSI
Di sisi lain, Gregoria kembali meninggalkan jejak yang familiar di Kumamoto. Arena yang pernah memberinya gelar pada 2023 dan menjadi tempat ia mencapai final tahun lalu, kala itu dihentikan Akane Yamaguchi, kini menjadi saksi langkahnya yang kembali berhenti satu tahap sebelum puncak.

Foto/PBSI
Indonesia mengirimkan lima wakil di turnamen ini, namun hanya Gregoria yang mencapai final. Perjuangannya berakhir tanpa gelar bagi Merah Putih, tetapi tidak tanpa makna. Karena dari pertandingan yang menguras energi itu, ia memetik satu kesadaran: kondisi fisik dan endurance harus ditingkatkan lagi. Jalan menuju puncak bukan hanya tentang kemenangan, tetapi tentang bagaimana seorang atlet menatap kegagalan, lalu menyusunnya kembali menjadi pijakan.
Dan di podium yang tak sepenuhnya sesuai keinginannya, Gregoria tetap mengucap syukur. Sebab di Kumamoto, meski gelarnya belum kembali, harapannya tetap hidup.

-- Gregoria Mariska Tunjung --
"Tetap mengucap syukur bisa kembali ke podium walaupun ini bukan hasil yang terbaik yang bisa saya raih. Banyak hal positif yang bisa diambil dari Kumamoto Masters tahun ini dan saya juga cukup senang dengan performa tadi.
Di gim pertama saya ada kesempatan untuk mengambil keunggulan tapi terlepas lalu di gim kedua sudah tertinggal 16-20 tapi saya masih berusaha dan bisa mengejar sampai 20-20 sebelum akhirnya harus mengakui keunggulan Ratchanok. Kredit untuk dia karena bermain sangat bagus, dia layak mendapat gelar ini.
Turnamen Kumamoto bisa dibilang membawa keberuntungan, tidak menyangka bisa sejauh ini karena beberapa bulan lalu yang sangat berat. Evaluasi dari sini pastinya secara kondisi fisik dan endurance perlu kembali ditingkatkan."

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!





