Kursi Kosong di Lantai Sepuluh: Antara Harapan dan Realita

Ludus01

Senin, 8 September 2025. Berita reshuffle kabinet menabrak sore Jakarta. Nama Dito Ariotedjo, yang sehari sebelumnya masih hadir meninjau persiapan perayaan Haornas ke-42, tiba-tiba hilang dari kabinet. Kursi Menpora mendadak kosong.

Kursi itu, tentu, bukan sekadar tempat duduk. Ia simbol. Ia adalah ruang di mana ribuan anak muda menitipkan harapan, di mana setiap keringat atlet mendapat legitimasi, di mana jargon pembinaan dan prestasi diuji.

Seperti kata Nietzsche:

“He who has a why to live can bear almost any how.”

Menpora adalah why itu, alasan mengapa stadion terbangun, kenapa mimpi dikejar, kenapa kalah tidak selalu akhir.

Dan, kursi kosong itu segera jadi milik spekulasi. Nama-nama mulai berseliweran, seolah pertandingan sudah dimulai sebelum wasit meniup peluit. Bahkan, seperti sedang cek ombak, banyak yang melemparkan nama-nama untuk diusung duduk menggantikan Dito.

BACA JUGA: Presiden Prabowo Lakukan Reshuffle, Dito Ariotedjo Tinggalkan Pos Menpora

Ada Puteri Anetta Komarudin, politisi muda yang fasih bicara regulasi dan parlemen. Dia yang mengetahui angka, regulasi, dan anggaran, yang bisa membaca peta kebijakan seperti kadang kita membaca kartu nipas di kartu tarot; mencari masa depan di petak-petak tak pasti.

Ada Raffi Ahmad, selebritas dengan daya tarik publik, wajahnya dikenal semua layar televisi. Nama yang sudah bergema di layar kaca, di mana tepuk tangan publik bisa datang dengan dua klik, repost, trending. Tapi di balik popularitasnya, ada tim sepak bola, bola basket, dan keinginan untuk mendekatkan olahraga ke masyarakat pinggiran, ke desa-desa, ke lapangan yang retak, ke suara-suara yang tidak selalu menang.

Kemudian, ada Taufik Hidayat, yang sekarang Wamenpora, mantan atlet, emas Olimpiade masih menggema di hati banyak orang. Ia tahu bagaimana bunyi peluit terdengar nyaring di arena, bagaimana otot menangis di pagi yang dingin, bagaimana perasaan kalah itu hanya satu bagian dari kemenangan. Ia sosok yang membawa pengalaman, yang belum selesai didengarkan oleh birokrasi, oleh ruang pengambilan keputusan yang sering terlalu jauh dari lapangan. Legenda bulu tangkis ini, tahu betul bagaimana kerasnya mengejar prestasi.

Ada pula Moreno Soeprapto, mantan pembalap mobil, yang memahami bahwa kecepatan bukan hanya soal gas dan rem, tapi soal strategi tikungan, timing, risiko. Ia tahu bahwa kemenangan besar sering lahir dari koreksi kecil, dari mempertimbangkan jalan paling selamat, sekaligus paling menantang. Apalagi, ia aktif sebagai politisi, yang sudah paham tentang risiko, strategi, dan kecepatan.

Mereka bukan sekadar nama. Mereka adalah potret tentang apa yang kita bayangkan dari seorang Menpora.

Ada filosofi yang mengatakan: kursi kosong adalah undangan. Ia mengajak kita berimajinasi, bertanya-tanya, berharap.

Begitu juga publik. Di media sosial, perdebatan terbelah:

  • “Yang muda biar nyambung dengan generasi Z.”
  • “Yang atlet biar paham lapangan.”
  • “Yang populer pasti punya pengaruh.”
  • “Yang politisi sudah terbiasa dengan birokrasi.”

Semuanya benar. Semuanya juga belum tentu benar.

Henri Bergson (1859–1941) adalah seorang filsuf besar asal Prancis, peraih Hadiah Nobel Sastra tahun 1927 pernah menulis:

“The eye sees only what the mind is prepared to comprehend.”

Kita hanya melihat yang ingin kita lihat. Padahal jabatan Menpora lebih rumit dari sekadar popularitas atau pengalaman semata.

Menulis tentang kursi kosong ini mengingatkan saya pada satu hal: betapa olahraga selalu hidup dari ketidakpastian. Seperti bulu tangkis, tenis, atau balapan mobil, semua bisa berubah di satu poin, satu servis, satu tikungan.

Begitu juga Menpora. Kita bisa menebak, bisa berharap, tapi siapa pun yang akhirnya duduk, ia harus menjawab pertanyaan paling sederhana sekaligus paling sulit: apakah ia mampu menyalakan mimpi anak-anak yang berlatih di lapangan yang berlubang?

Sampai pengumuman resmi tiba, kursi di lantai 10 itu tetap kosong. Tapi justru dalam kekosongan itu, imajinasi kita bekerja.

Mungkin politisi. Mungkin selebritas. Mungkin atlet. Mungkin seseorang yang bahkan tak kita duga.

Dan di sinilah teka-teki itu dibiarkan hidup. Karena seperti kata Jean-Paul Sartre:

“Freedom is what you do with what’s been done to you.” (kebebasan adalah apa yang kau lakukan dengan apa yang telah terjadi padamu). Kekosongan kursi bisa dibaca sebagai ruang kebebasan untuk menafsir dan berharap.

Untuk sementara, biarlah kursi Menpora itu menjadi undangan, untuk menebak, untuk berharap, untuk berdoa agar siapa pun yang akan duduk di sana, benar-benar tahu bahwa olahraga bukan hanya soal medali, tapi juga tentang bangsa yang mencari dirinya.

Sampai pengumuman resmi tiba, kursi di lantai 10 itu tetap kosong. Tapi justru dalam kekosongan itulah imajinasi kita bekerja. Mungkin politisi, mungkin selebritas, mungkin atlet, mungkin seseorang yang bahkan tak kita duga.

Namun lebih dari sekadar undangan, kursi Menpora adalah amanat. Ia bukan hanya tentang siapa yang duduk, melainkan tentang arah ke mana olahraga Indonesia hendak dibawa. Prestasi tidak lahir dari tepuk tangan semata, tapi dari kebijakan yang berpihak, dari visi yang berani, dari keberanian memberi panggung kepada mimpi-mimpi kecil di lapangan yang retak.

Dan di titik inilah, saya percaya Presiden Prabowo Subianto akan memilih orang yang tepat. Seseorang yang bekerja bukan karena jatah politik, bukan semata nama besar selebritas, atau sekadar nostalgia sebagai mantan atlet. Melainkan sosok yang mampu menjadikan olahraga sebagai jalan kebanggaan nasional, yang mengerti bahwa medali hanyalah simbol, sementara yang lebih penting adalah martabat bangsa yang terbangun di baliknya. Karena pada akhirnya, dari kursi itu, mimpi Indonesia untuk benar-benar mendunia bisa ditentukan.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!