Lebih dari Emas, Ada Perempuan Perkasa yang Tak Pernah Menyerah

1
0

LUDUS – Di balik sorak penonton dan kilau medali, ada kisah yang tak selalu tampak di layar kaca, tentang perempuan-perempuan perkasa yang memilih jalan keras: menjadi atlet. Bagi mereka, keringat adalah bahasa, dan tubuh adalah senjata. Mereka berlatih saat fajar masih menggigil, bertanding jauh dari rumah, dan pulang dengan otot yang lebam tapi hati yang utuh. Satu dari mereka bahkan sudah menjadi ibu, namun tetap berdiri gagah di podium, membuktikan bahwa cinta pada keluarga dan cinta pada negeri tak harus dipertentangkan.

Di bulan Kartini ini, kita menoleh pada lima perempuan luar biasa dari lima cabang olahraga yang berbeda: para badminton, panjat tebing, angkat besi, bola voli dan beladiri sambo.

Mereka datang dari lintas medan:

ada yang memukul shuttlecock seperti menampar batasan;
ada yang memanjat tebing seperti menaklukkan dunia yang sempit;
ada yang mengangkat besi seberat stigma;
ada yang meloncat di lapangan voli seperti menerjang stereotip;
dan ada yang menggulingkan lawan di arena sambo, seolah berkata: perempuan juga bisa bertarung.

Indonesia tak kekurangan perempuan hebat di arena olahraga. Kita pernah bersorak untuk Susy Susanti, yang mengangkat nama bangsa di Olimpiade Barcelona dengan smes yang melampaui batas sejarah. Medali emas pertama untuk Indonesia di olimpiade pun diraihnya. Kita pernah menyaksikan Trio Srikandi—Lilis Handayani, Nurfitriyana, dan Kusuma Wardhani—memanah emas di hati rakyat lewat perak di Seoul ’88. Dari masa ke masa, perempuan Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan bisa berbentuk halus, tekun, dan penuh dedikasi.

Kini, tongkat estafet itu diteruskan. Tak hanya oleh mereka yang bermain di lapangan bulutangkis atau arena panahan, tapi juga oleh perempuan-perempuan yang memilih jalan terjal: olahraga ekstrem, bela diri, dan cabang-cabang yang menuntut lebih dari sekadar keberanian.

Mereka bukan hanya atlet. Mereka adalah cerita—tentang tubuh yang lelah tapi tak pernah menyerah, tentang kekuatan yang lahir bukan dari otot, tapi dari hati yang rela.

Mereka tak sekadar berprestasi. Mereka menantang persepsi. Mereka bukan pengecualian, mereka adalah bukti bahwa ruang bernama “perempuan kuat” itu nyata. Siapa mereka? Mari kita kenali satu per satu, para perempuan yang menjadikan keringat sebagai bahasa perlawanan, dan prestasi sebagai bentuk cinta paling lantang, yang dipilih oleh ludus.id karena prestasi fenomenalnya sepanjang tahun 2024 dan awal tahun ini.

Lima Besar Perempuan Perkasa di Panggung Olahraga!

1. Desak Made Rita (Panjat Tebing): Memanjat Langit dari Bulengleng

Desak Made Rita Kusuma Dewi pernah merasa takut saat pertama kali menjejakkan kaki di dinding panjat. Ia masih bocah kala itu, baru kelas dua SD, dan hanya ikut sang bibi ke Taman Kota Singaraja. Dinding itu menjulang diam, menantang. Tapi begitu tangannya menyentuh permukaannya yang kasar, ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya: keberanian.

Sejak hari itu, dinding-dinding tinggi bukan lagi tempat yang menakutkan. Justru di sanalah ia merasa hidup. “Awalnya ikut-ikutan. Tapi ternyata nyaman,” ujarnya suatu waktu, dengan tawa tipis dan mata yang menyimpan kilat tekad.

Desak tumbuh menjadi pemanjat yang tak kenal gentar. Tubuhnya ramping, gerakannya ringan dan presisi. Ia melesat di lintasan speed seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya—cepat, terukur, dan mematikan. Ia tak melawan orang lain. Ia melawan dirinya sendiri. “Saya tidak melihat lawan. Saya hanya ingin lebih baik dari Desak yang kemarin,” katanya.

Itulah filosofi yang ia pegang. Bukan hanya di arena, tapi dalam hidup.

“Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Bandingkan dirimu dengan dirimu yang kemarin.”

Falsafah itu bukan kalimat motivasi di dinding kamar, melainkan panduan yang ia praktikkan setiap hari. Saat jemu latihan, saat mental diuji di kompetisi internasional, atau saat ia harus membagi waktu antara karier dan pendidikan.

Ia pernah dianggap remeh. Panjat tebing dianggap bukan dunia perempuan. Terlalu ekstrem, kata sebagian orang. Tapi Desak tak peduli. Ia justru mematahkan semua batas itu dengan catatan waktu dan medali. Emas di Kejuaraan Dunia IFSC 2023 di Swiss, emas di Asian Games Hangzhou 2023, dan yang paling membanggakan: mewakili Indonesia di Olimpiade Paris 2024.

Desak Made Rita saat tampil di Olympic 2024 Paris (Foto: NOC Indonesia)

Desak Made Rita saat tampil di Olympic 2024 Paris (Foto: NOC Indonesia)

Tahun 2023 adalah periode kejayaan bagi Desak Made Rita. Namun sayang, langkah sang juara dunia terhenti di babak perempat final Olimpiade Paris 2024.

Hal ini cukup disayangkan, sebab Desak sempat dijagokan media asing, BBC untuk membuat sejarah di Olimpiade untuk Merah Putih.

Ia adalah sarjana Pendidikan Jasmani dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Bali—lulusan yang mendaki prestasi akademik dan olahraga secara bersamaan. Hebatnya, terbukti, Desak merupakan pemegang gelar sarjana prodi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) pada tahun 2023 silam.

Namanya kini tercatat sebagai pemanjat tebing perempuan pertama Indonesia di nomor speed yang berlaga di Olimpiade. Dari taman kecil di Singaraja, setelah Olimpiade, ia belum ingin berhenti. Masih banyak dinding yang ingin ia taklukkan, bukan hanya dinding panjat, tapi juga dinding persepsi: bahwa perempuan muda dari pelosok bisa berdiri sejajar dengan siapa pun di dunia.

Dari Buleleng, Desak membawa pesan yang sederhana, tapi kuat: mimpi tak butuh tempat megah untuk tumbuh. Cukup keyakinan, keberanian, dan satu langkah kecil yang terus dipijak setiap hari.

Baca juga: Desak Made Rita Kusuma Dewi, Sang Perempuan Laba-laba dari Bali

2. Desiana Syafitri (Sambo): Perempuan Baja di Negeri Asing

Terkini, petarung sambo tanah air, Desiana Syahfitri menyabet perak pada Kejuaraan Asia Sambo 2025, Jumat (18/4). Cobaan sulit mengiringi Desi kala bertolak ke ajang yang berlangsung di Uzbekistan tersebut.

Desi terbang ke Asia Tengah tanpa didampingi pelatih dan ofisial. Sang pelatih, Arnold Silalahi berhalangan mendampingi Desi karena kendala biaya.

Namun Desi tetap bertarung dengan tegar sembari menahan gejolak kesendirian. Selama di Uzbekistan, Desi banyak dibantu oleh sejumlah orang baik hati, seperti pelatih Singapura dan Filipina yang merupakan kenalan Arnold.

Perjuangan Desi terbayar dengan medali perak ajang tersebut. Setelah menumpahkan tetes demi tetes keringat, Desi harus mengakui keunggulan wakil tuan rumah, Gulservar Urakova di kelas 54 kg putri.

Berkat pencapaian ini, Desi berhak menggondol tiket ke ajang Kejuaraan Dunia Sambo 2025 di Turkmenistan. Wanita yang mengawali karier di cabang bela diri judo itu pun tak ragu mengungkapkan bahwa mentalnya memang sekeras baja.

“Sebagai petarung, saya tidak pernah ragu meraih prestasi sekaligus meraih tiket ke Kejuaraan Dunia Sambo 2025,”

Mental baja Desi bukan didapat dengan cuma-cuma. Pasalnya, Desi lahir di keluarga yang kurang berada. Ibunya merupakan pekerja ketering yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Sebelumnya, Desi sudah pernah menyumbang emas di ajang SEA Games Manilla 2019. Atlet berusia 20 tahun ini juga sempat meraih perak pada Kejuaraan Dunia Sambo 2020 di Serbia.

Adapun bonus dari medali emas SEA Games 2019 dipakainya untuk membeli rumah dan mendaftar kuliah. Desi kini menimba ilmu di Prodi Sistem Informasi Akuntansi di Bina Sarana Informatika (BSI), Karawang.

Dan, saat ini, Desi tidak sekadar membawa perak pulang dari Uzbekistan. Ia membawa pulang sebuah kisah tentang bagaimana keberanian, kesendirian, dan keteguhan hati bisa mengalahkan segala keterbatasan. Perjalanan ke Kejuaraan Dunia Sambo 2025 di Turkmenistan sudah menanti. Dan Desi, seperti biasa, siap menjemputnya tanpa gentar.

3. Megawati Hangestri Pertiwi (Bola Voli): Pulang dengan Perjuangan dan Cinta

Srikandi voli nasional, Megawati Hangestri pulang ke Gresik Petrokimia dengan kebanggaan. Sebelum mudik ke tanah air, pevoli berjuluk Megatron ini harus menahan dinginnya suhu Korea Selatan selama dua musim bersama Red Sparks.

Megawati merupakan pevoli muslim dan berhijab pertama yang mentas di Liga Voli Putri Korea Selatan. Di Negeri Ginseng, deretan rekor pun berhasil ditorehkan. Megawati membawa Red Sparks meraih 13 kemenangan sejak November 2024 hingga Januari 2025. Tren kemenangan beruntun itu merupakan yang terpanjang dalam sejarah klub.

Pada 15 Januari 2025, Megawati juga mengukir rekor pribadi dengan meraih poin tertinggi dalam satu laga selama kiprahnya di Korea Selatan. Pada 14 Maret 2025, Megawati genap mencapai raihan 1500 poin.

Hal ini dipastikan berkat sumbangan 35 poin kala Red Sparks menang 3-0 atas Al Peppers Saving Banks. Pevoli asal Jember, Jawa Timur ini menjadi andalan sang pelatih, Ko Hee-jin hingga penghujung kiprahnya di Korea Selatan.

Namun sayang, Megawati gagal membawa Red Sparks juara di akhir musim 2024-2025. Pada 8 April 2025 silam, Red Sparks menelan kekalahan dramatis dari Pink Spiders pada gim pamungkas partai final dengan skor 2-3 (24-26, 24-26, 26-24, 25-23 dan 13-15).

Meski Red Sparks gagal meraih gelar juara setelah kalah dramatis dari Pink Spiders di final, Megawati tetap menunjukkan semangat juang yang tinggi. Dalam pesan perpisahannya, ia menulis:

“Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku cuma mau bilang aku sangat mencintaimu saudari-saudariku. Sampai bertemu lagi. Terima kasih.” ​

Kini, dengan semangat baru, Megawati siap memberikan kontribusi terbaiknya untuk Gresik Petrokimia di Proliga 2025, membawa pengalaman internasionalnya untuk menginspirasi rekan-rekan setim dan para penggemar voli di Indonesia.

Megawati Hangestri Pertiwi, pevoli nasional Indonesia, telah menunjukkan bahwa perjuangan sejati bukan hanya tentang kemenangan di lapangan, tetapi juga tentang dedikasi, semangat, dan makna di balik setiap langkah.

Baca juga: 5 Fakta Megawati Hangestri: Di Ambang Pintu Keluar Red Sparks, Jadi Rebutan Klub Eropa

4. Nurul Akmal (Angkat Besi): Angkatan Perempuan Tangguh

Masa kecil yang sulit membuat mentalitas Nurul Akmal menjadi sekeras karang. Betapa tidak, Nurul tidak memiliki latar belakang olahraga di keluarganya.

“Ibu sama Ayah bukan dari kalangan atlet, Nurul aja yang berkecimpung di dunia atlet, soalnya, ada yang ngajakin sih dulu,” kata Nurul ketika diwawancarai Ludus.id jelang Olimpiade Paris 2024 silam.

“Dulu karena sekolah olahraga, jadi ada yang cocok di cabang angkat besi, badan juga mendukung. Ya sudah nyoba angkat besi kaya gitu, diajakin, Dari umur 16 tahun kelas 1 SMA,” sambungnya menambahkan.

Ayah dan ibunya mencari nafkah sebagai petani. Selain kesulitan ekonomi, Nurul kerap dijadikan bahan ejekan karena fisiknya lebih besar dari teman-teman sebayanya.

Ejekan tersebut masih bising hingga Nurul menjadi lifter profesional. Sempat viral di media sosial kala salah satu orang tak dikenal melontarkan ejekan body shaming kepada dirinya.

“Kalau itu (ejekan teman) ya gak usah dipeduliin, kalau yang udah lalu gak perlu dibahas lagi, ini kan udah Olimpade 2024.”

Tak ayal, Nurul tidak patah arang usai finis di posisi terbawah klasemen angkat besi putri kelas +81 kg pada Olimpiade 2024. Nurul langsung membayar tuntas kegagalan itu setibanya di negeri tercinta.

Lifter asal Banda Aceh itu memecahkan rekor PON dengan tiga kali beruntun medali emas di angkatan Clean and Jerk. Nurul pun sukses menjadi lifter langganan medali emas di PON Jabar, PON Papua dan PON Aceh-Sumut.

Tak ada latar keluarga atlet. Tak ada fasilitas mewah. Hanya ada tekad dan mental sekeras karang. Nurul Akmal, lifter perempuan dari Banda Aceh, membuktikan bahwa kekuatan bukan cuma soal otot—tapi juga tentang hati yang tak mudah patah.

5. Leani Ratri Oktila (Para Badminton): Ratu yang Tak Pernah Menyerah

Bersama Hikmat Ramdani ketika usai meraih medali emas Paralympic 2024 Paris (Foto: NPC Indonesia)

Bersama Hikmat Ramdani ketika usai meraih medali emas Paralympic 2024 Paris (Foto: NPC Indonesia)

Di balik senyum tenangnya dan sorot mata yang teduh, Leani Ratri Oktila menyimpan bara semangat yang tak pernah padam. Perempuan kelahiran Kampar, Riau, 6 Mei 1991 ini bukan hanya atlet para-badminton — ia adalah lambang ketangguhan, simbol dari keberanian menghadapi takdir yang berubah arah.

Tapi, Leani Ratri Oktila tetap perempuan. Yang bisa menangis usai memenangi partai final ganda campuran kategori SL-SU5 pada ajang Paralimpiade Paris 2024. Berpasangan dengan Hikmat Ramdani, wanita berusia 33 tahun ini tampak lega usai harus menumbangkan rekan senegaranya, Fredy Setiawan/Khalimatus Sadiyah.

Gesturnya cukup mudah dipahami. Pasalnya, Khalimatus bukan sekadar rekan senegara, melainkan sahabat seperjuangan. Ratri dan Khalimatus adalah kawan karib sejak Paralimpiade Tokyo 2024 silam. Terlebih keduanya menggondol medali emas pada ajang di Negeri Sakura tersebut.

Leani kecil mengenal bulu tangkis dari keluarganya. Sejak usia tujuh tahun, raket dan shuttlecock sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Ia tumbuh sebagai atlet konvensional dan mewakili provinsi dalam berbagai turnamen. Namun hidup, seperti juga pertandingan, tak selalu berjalan sesuai skenario.

Pada 2011, Leani mengalami kecelakaan sepeda motor yang merusak kakinya. Akibatnya, panjang kaki kirinya menjadi berbeda. Bagi sebagian orang, ini bisa menjadi akhir dari segalanya. Tapi tidak bagi Leani. Ia memilih melanjutkan hidupnya — meski harus dengan cara yang baru.

“Saya pernah merasa semuanya berakhir. Tapi saya belajar, hidup bukan soal apa yang hilang, tapi tentang apa yang bisa kita bangun dari yang tersisa.”

Kutipan itu adalah cermin dari jiwanya. Tahun 2013, Leani bergabung dengan Komite Paralimpiade Nasional Indonesia. Sejak itu, dia menulis ulang takdirnya — bukan sebagai mantan atlet, tapi sebagai pahlawan baru Indonesia di arena yang berbeda.

Ia disebut sebagai “Ratu Para Badminton Indonesia” — gelar yang tak sekadar soal jumlah medali, tapi tentang keteladanan dan dedikasi.

Tak banyak yang tahu, dalam setiap turnamen, Leani selalu membawa bendera Merah Putih di dalam tasnya.

“Bendera itu bukan hanya simbol negara, tapi juga pengingat bahwa saya bermain bukan hanya untuk diri saya. Saya bermain untuk semua orang yang pernah merasa kalah tapi ingin bangkit.”

Pada 2018, Badminton World Federation (BWF) menobatkannya sebagai Female Para-Badminton Player of The Year. Sebuah pengakuan global atas ketekunan dan kegemilangan yang dibangun dari puing-puing musibah.

Kisah Leani adalah tentang membalikkan keterbatasan menjadi kekuatan, luka menjadi cahaya. Di setiap lompatan dan pukulannya di lapangan, terselip pesan sederhana namun kuat: bahwa manusia bisa bangkit — bahkan dari titik terdalam sekalipun.

Laporan: Ilham Sigit Pratama || Editor: Akhmad Sef

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!