


Foto/Instagram/Marc Klok
Di ujung pertandingan terakhir kualifikasi, kamera menyorot wajah-wajah yang sama: patah, tapi pasrah. Satu gol Irak, mengkandaskan mimpi 270an rakyat Indonesia. Para pemain menatap tanah, suporter menatap langit. Dalam diam itu, seolah kita semua mengerti satu hal: mimpi ke Piala Dunia kembali kandas. Dan entah kenapa, rasa sakitnya tak pernah berkurang, tapi juga tak pernah benar-benar berubah.
Kita, bangsa yang mencintai sepak bola, adalah bangsa yang juga mencintai mimpi. Sejak dekade ke dekade, mimpi itu tak pernah padam, ia berpindah dari generasi ke generasi, dari era Ramang ke Boaz, dari stadion Senayan ke GBK yang dipoles ulang. Tapi di setiap zaman, pola yang sama berulang: kita berlari dengan penuh semangat, namun selalu terjatuh di tempat yang sama.
“Kita selalu bermimpi ke Piala Dunia,” tulis seorang kolumnis, “tapi jarang bertanya apa yang telah kita bangun untuk sampai ke sana.”
Itu kalimat sederhana, tapi sesungguhnya menyimpan kepedihan yang dalam.
Indonesia mencintai euforia, bukan proses. Kita cepat berteriak “Garuda di Dadaku!”, tapi enggan duduk lama membangun sistem yang membuat garuda itu benar-benar bisa terbang. Kita riuh memuja kemenangan uji coba melawan tim Asia Tengah, tapi cepat lupa memperbaiki liga yang belum stabil, pembinaan usia muda yang tak merata, dan fasilitas yang lebih sering dijanjikan ketimbang diwujudkan.
“Dreams don’t work unless you do,” kata John C. Maxwell.
Tapi di negeri ini, mimpi sering bekerja sendirian.

Barangkali, di situlah akar tragedi sepak bola kita. Mimpi selalu besar, tapi kesiapan selalu kecil. Kita menyalakan obor api harapan setiap kali pelatih baru datang, pemain diaspora dipanggil, atau stadion direnovasi, seolah semuanya adalah awal dari bab baru. Tapi bab itu tak pernah selesai. Kita memuja perubahan seperti menonton trailer film yang tak pernah benar-benar diputar.
Di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar skor pertandingan.
Sepak bola, seperti halnya hidup, membutuhkan konsistensi dan kesabaran. Jepang, Korea Selatan, bahkan Vietnam tahu itu. Mereka menanam sistem pelatihan sejak puluhan tahun lalu, bukan hanya untuk mencetak pemain, tapi untuk menumbuhkan budaya. Mereka membangun fondasi, bukan sekadar mencari hasil cepat. Dan ketika buahnya datang, dunia menyebutnya “keajaiban Asia”. Padahal, itu bukan keajaiban. Itu konsekuensi dari kesabaran.
Di Indonesia, kesabaran sering dianggap kelemahan. Kita ingin menang cepat. Kita ingin prestasi instan. Kita ingin hasil tanpa akar. Kita lupa bahwa akar yang kuat tumbuh di dalam tanah, tak terlihat, tapi menopang segalanya. Mungkin itu sebabnya bangsa ini sering kagum pada pohon yang tumbuh cepat, tapi jarang mau menanam yang bertahan lama.
Kita pun mudah terbuai oleh simbol. Setiap kegagalan Timnas sering dibungkus dengan narasi heroik: “kita kalah terhormat”, “ini proses menuju masa depan”, “suporter tetap bangga.” Semua benar, tapi juga meninabobokan. Kita terbiasa menukar kenyataan dengan romantisme, dan romantisme dengan ilusi.
Di sisi lain, sepak bola telah menjadi cermin dari politik kita sendiri: penuh janji, penuh gairah, tapi miskin keberlanjutan. Setiap pergantian kepemimpinan membawa jargon baru, rencana besar, visi muluk. Tapi dasar yang lama belum selesai, yang baru sudah dimulai. Yang tersisa hanyalah tumpukan kertas dan stadion yang sepi.

Foto/Instagram/Marc Klok
Camus pernah menulis, “Everything I know about morality and the obligations of men, I owe it to football.”
Dari sepak bola, katanya, ia belajar tentang tanggung jawab, batas, dan kejujuran terhadap diri sendiri. Ironisnya, di negeri ini, sepak bola justru menjadi panggung di mana tanggung jawab sering dioper dari satu pihak ke pihak lain, seperti bola yang tak pernah berhenti berpindah, tapi tak pernah masuk gawang.
Namun, mungkin masih ada secercah harapan. Karena mimpi, meski selalu gagal, tetap membuat bangsa ini hidup. Setiap kali peluit panjang berbunyi, dan kita pulang dengan kecewa, di hati yang paling dalam kita tahu: besok kita akan menonton lagi, berharap lagi, mencintai lagi. Cinta, bahkan dalam kegagalan, tetap menyalakan sesuatu.
Barangkali tugas kita kini bukan berhenti bermimpi, tapi belajar merawatnya.
Karena mimpi yang besar butuh perawatan kecil: disiplin, pembinaan, kejujuran, dan keberanian untuk menolak jalan pintas. Seperti tukang kebun yang sabar menunggu tunas tumbuh, kita pun harus sabar menanam sistem yang tak langsung berbuah, tapi akan bertahan lama.
“Bangsa yang besar,” tulis Soekarno, “adalah bangsa yang berani bermimpi.” Tapi ia juga, mungkin, ingin menambahkan:
“...dan berani bekerja untuk mimpinya.”
Maka, di antara semua kekalahan dan kekecewaan ini, barangkali kita hanya perlu kembali bertanya: apakah kita sungguh ingin pergi ke Piala Dunia, atau kita hanya ingin terlihat sedang menuju ke sana?
Jika jawabannya yang pertama, maka kita harus berhenti bermimpi sambil tidur. Karena mimpi yang tak dirawat hanya akan jadi hiburan, bukan jalan. Dan bangsa yang terlalu lama hidup dari hiburan, cepat atau lambat, akan lupa bagaimana caranya menang.
Sebelum peluit terakhir tenggelam dalam malam, izinkan kami berterima kasih kepada para pemain yang telah berjuang, berlari sampai kehabisan napas, menahan air mata, dan memanggul beban seluruh negeri di pundaknya. Kalian mungkin gagal membawa kami ke Piala Dunia, tapi telah membawa kami pada sesuatu yang lebih dalam: rasa memiliki yang membuat bangsa ini masih mau bermimpi.

Foto/Instagram/Jayidzes
Malam ini kita bersedih bersama. Sebab di balik setiap kegagalan Timnas, selalu ada cermin kecil tempat kita melihat diri sendiri, tentang ambisi yang besar, tapi kesabaran yang pendek; tentang cinta yang melimpah, tapi perawatan yang jarang.
Sepak bola, seperti halnya bangsa ini, mengajarkan bahwa kemenangan lahir bukan dari teriakan, melainkan ketekunan. Bahwa mimpi bukan hanya dinyanyikan di tribun, tapi dikerjakan dengan peluh yang panjang.
Terima kasih, Timnas Indonesia, untuk peluh dan air mata yang kalian tinggalkan di lapangan malam kemarin. Kami ikut merasakan pedihnya, dan tahu, kalian mencintai negeri ini seperti kami mencintai kalian.
Dan ketika stadion sepi, lampu padam, hanya satu kalimat yang tertinggal, bergaung pelan di kepala kita semua: Negeri yang mencintai mimpi, tapi tak merawatnya!
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!