


Foto/PSSI
Mungkin, tak ada yang lebih menyedihkan dari bangku pelatih setelah peluit akhir dibunyikan dan papan skor memutuskan nasib. Pekan ini, Patrick Kluivert duduk di kursi itu untuk terakhir kalinya sebagai pelatih tim nasional Indonesia, dan seperti biasa, publik gaduh. Kita selalu lebih mudah menunjuk jari daripada menatap cermin: siapa sebenarnya yang kita cari dalam sosok pelatih?

Foto/PSSI
Dari stadion modern hingga gymnasium di Yunani Kuno, pelatih: trainer, coach, mentor, adalah figur yang tak pernah sepenuhnya dimengerti. Dalam bahasa Yunani, kata gymnasion berarti “tempat telanjang”, bukan hanya karena para atlet berlatih tanpa pakaian, tapi karena di sanalah tubuh dan jiwa dihadapkan pada kejujuran paling purba: ketelanjangan dari segala alasan. Di tempat itulah muncul para pelatih pertama, bukan sekadar mengajarkan teknik, melainkan menanamkan ethos.

Socrates, yang tak pernah melatih atlet, justru menjadi pelatih bagi pikiran. Ia menyebut dirinya maieutes: bidan bagi jiwa, karena tugasnya bukan memberi jawaban, tapi membantu orang lain “melahirkan” kebenaran dari dalam dirinya. Bukankah itu juga yang dilakukan seorang pelatih sejati? Ia tak mencetak gol, tak berlari, tapi dari matanya, dari kalimat pendek di pinggir lapangan, seorang pemain bisa menemukan keberanian yang lama hilang.
“The coach is someone who tells you what you don’t want to hear, who makes you see what you don’t want to see, so you can be who you have always known you could be.”
(Tugas seorang pelatih adalah mengatakan hal-hal yang tidak ingin kamu dengar, membuatmu melihat hal-hal yang tidak ingin kamu lihat, agar kamu bisa menjadi pribadi yang sebenarnya selalu kamu tahu bisa kamu capai).
— Tom Landry, pelatih legendaris NFL
Pelatih adalah semacam penjaga jiwa, seringkali lebih dari sekadar penyusun taktik. Ia tahu kapan pemainnya siap, bahkan sebelum pemain itu tahu. Ia mengerti makna kelelahan, tapi juga mengajarkan arti bangkit. Dalam dunia modern yang terobsesi dengan statistik, analitik, dan algoritma, pelatih sering dianggap sekadar variabel yang bisa diganti. Namun di ruang yang tak terukur, keyakinan, rasa percaya, moralitas, pelatih adalah pusat orbit yang menahan kekacauan.

“The supreme art of the teacher is to awaken joy in creative expression and knowledge.”
(Seni tertinggi seorang guru adalah membangkitkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan).
— Albert Einstein
Kita lupa bahwa pelatih adalah guru. Bedanya, murid-muridnya bukanlah anak-anak yang menunggu nilai, melainkan orang-orang dewasa yang dihadapkan pada ketakutan mereka sendiri. Di ruang ganti, pelatih bukan memerintah, ia memeluk. Pep Guardiola pernah berkata, “Saya ingin pemain saya bermain dengan hati, bukan hanya dengan kaki.” Itu sebabnya pelatih yang besar tidak hanya dihormati karena kemenangan, tapi karena cinta.
Namun, cinta di dunia olahraga modern adalah hal yang langka. Kita menuntut kemenangan secepat perubahan trending topic. Kalah dua kali, pecat. Tak lolos turnamen, ganti. Padahal pelatih butuh waktu seperti petani menunggu musim panen.
Di zaman Yunani Kuno, para pelatih dikenal sebagai paidotribes, orang yang “memijat anak-anak”, bukan dalam makna harfiah, melainkan merawat, membentuk, melunakkan keegoisan agar menjadi karakter. Dalam kebudayaan Jepang, istilah sensei bermakna “yang lahir lebih dulu”, tanda bahwa pelatih adalah sosok yang menuntun melalui pengalaman, bukan sekadar posisi.
Kita hidup di masa ketika pelatih dilihat dari hasil, bukan dari arah. Dari kursi panas itu, seorang pelatih mengerti kesendirian yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah memikul tanggung jawab atas banyak kepala. Ia hidup di persimpangan antara strategi dan takdir.
“The test of a coach is not what he knows, but what his players have learned.”
(Ujian sejati bagi seorang pelatih bukanlah pada seberapa banyak yang ia ketahui, melainkan pada seberapa banyak yang telah dipelajari para pemainnya).
— Knute Rockne, pelatih legendaris Notre Dame
Patrick Kluivert, atau bahkan Shin Tae-yong (STY), mungkin gagal, tapi dari kegagalannya kita diingatkan tentang hal yang lebih penting dari skor: kesabaran dalam membangun sistem, mendidik manusia, dan mempercayai proses. Dalam setiap perjalanan tim, pelatih adalah narator yang tidak pernah menulis kisahnya sendiri. Ia hanya bisa berharap, sejarah kelak akan membaca dengan lebih adil.
Ketika publik memuja pemain dan manajemen memecat pelatih, hanya sedikit yang bertanya: siapa yang mengajari pemain itu menjadi dirinya? Siapa yang membentuk keberanian, disiplin, kesadaran diri, yang kemudian kita rayakan sebagai “bakat”?
Ada cinta yang lahir dari rasa percaya yang diuji waktu. Ketika publik menuntut ia kembali, itu bukan hanya soal taktik atau hasil, tapi soal kerinduan akan konsistensi: figur yang membawa rasa percaya diri nasional yang lama redup. Ia seperti guru yang keras namun sabar, yang ketika pergi, murid-muridnya baru sadar betapa dalam pelajarannya.
Mungkin, di sinilah letak ironi bangsa ini: kita ingin cepat juara, tapi begitu seseorang sabar menanam, kita tergesa mencabutnya karena panennya tak kunjung datang. Kita ingin hasil instan, tapi diam-diam menaruh rindu pada mereka yang mengajarkan proses.
Mungkin, seperti kata filsuf Jerman Martin Heidegger, “Teaching is more difficult than learning because what teaching calls for is this: to let learn.” Mengizinkan seseorang untuk belajar dari dirinya sendiri.
Pelatih adalah manusia yang rela tidak disorot, agar orang lain bersinar. Ia adalah orang yang memberi arah tapi menyingkir dari peta. Ia tahu bahwa kemenangan tidak pernah abadi, tapi pengaruh adalah sesuatu yang menempel pada jiwa mereka yang pernah dibimbingnya.
Dan ketika sejarah sepak bola Indonesia terus menulis nama-nama yang datang dan pergi, mungkin yang seharusnya kita renungkan bukan siapa pelatih berikutnya, tetapi apa yang kita cari dari seorang pelatih. Mungkin bukan trofi, bukan lolos turnamen, melainkan seseorang yang, dengan cara yang diam-diam, menuntun bangsa kecil ini untuk belajar menjadi besar.

“The direction in which education starts a man will determine his future life.”
(Arah pendidikan yang diberikan kepada seseorang sejak awal akan menentukan perjalanan hidupnya kelak).
— Plato, Republic
Dan pelatih, seperti guru, seperti filsuf, seperti ayah yang sabar, adalah orang yang memulai arah itu.
Barangkali inilah luka lama kita yang tak kunjung sembuh: bangsa yang ingin cepat juara tapi enggan membangun jalan menuju kemenangan. Kita memuja hasil, bukan proses. Kita mengganti pelatih seperti mengganti trending topic, tapi tak pernah menyentuh akar: sistem pembinaan yang rapuh, "oknum" federasi yang sibuk menyelamatkan citra, dan masyarakat yang menuntut hasil tanpa mau memahami jalan menuju ke sana. Di negeri ini, filosofi kepelatihan sering berhenti di ruang konferensi pers, bukan di ruang latihan. Padahal setiap bangsa besar berdiri di atas tradisi yang panjang: sabar membangun karakter, bukan sekadar tim.

Mungkin Patrick Kluivert, atau STY, hanyalah nama yang lewat, tapi kepergiannya mengingatkan kita pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar hasil pertandingan: pentingnya menanam, bukan hanya memetik. Sebab tanpa akar, setiap kemenangan hanya tumbuh sebentar. Dan bangsa yang lupa menghormati pelatihnya, pada dasarnya sedang kehilangan guru bagi dirinya sendiri.
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!