

“Power is not a means, it is an end,” tulis George Orwell dalam novel Nineteen Eighty-Four (1984). Barangkali kalimat itu terasa beda ketika kita menatap lintasan karier seorang Erick Thohir. Sebab kuasa baginya bukan sekadar alat, melainkan ruang untuk terus hadir, untuk memastikan dirinya selalu berada di tengah panggung

Foto/PSSI
Di antara rumor yang beredar tentang siapa menggantikan Dito Ariotedjo sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), sebuah nama disebut paling akhir. Seperti seorang pelari yang menahan diri di tikungan terakhir, baru menyalip ketika garis finis sudah di depan mata. Nama itu: Erick Thohir.
Mungkin tidak asing, justru terlalu akrab. Menteri BUMN, Ketua Umum PSSI, pengusaha yang pernah menggenggam saham Inter Milan, pemilik klub basket, pemilik klub bola. Dalam setiap gelanggang, ia tampak hadir. Dalam setiap arena, ia seolah tak bisa diam.
BACA JUGA: Kursi Kosong di Lantai Sepuluh: Antara Harapan dan Realita

Erick adalah sebuah paradoks. Di satu sisi, ia sibuk membenahi ratusan perusahaan negara, mengatur laba dan rugi, mengangkat citra korporasi. Di sisi lain, ia berdiri di pinggir lapangan, menjadi wajah yang dipuja sekaligus dicaci para suporter sepak bola. Dari podium Piala Dunia U-20 yang gagal digelar di tanah air, sampai sorakan di stadion, nama Erick tidak pernah sekadar nama. Ia adalah simbol, entah untuk harapan atau kekecewaan.
Namun, biografi selalu berbicara lebih panjang daripada sorakan. Erick lahir pada 30 Mei 1970, dari keluarga pengusaha. Ayahnya, Teddy Thohir, adalah sosok di balik Grup Astra, yang menanamkan pada anak-anaknya disiplin bisnis dan jaringan yang luas. Erick menempuh pendidikan di Amerika, meraih gelar MBA di National University, California. Dari sanalah ia membawa pulang bukan sekadar ijazah, melainkan jejaring dan naluri bisnis global.

Foto/PSSI
Ia membangun Mahaka Group pada 1993, sebuah konglomerasi media, hiburan, dan olahraga. Dari radio, televisi, hingga event organizer, Erick meluaskan sayap. Lalu dunia olahraga menjadi panggung yang lebih terang: membeli klub basket Satria Muda, menguasai saham DC United di Major League Soccer, hingga menjadi pemilik mayoritas Inter Milan pada 2013, sebuah pencapaian yang membuat namanya mendunia.

Foto/Instagram/Erick Thohir
Politik kemudian memanggil. Ia menjadi Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf pada Pemilu 2019, sebuah posisi yang bukan hanya strategis, tapi juga membuka jalan ke lingkar kekuasaan. Tak lama, ia dipercaya menjadi Menteri BUMN. Dari sini, ia bukan lagi sekadar pengusaha atau pemilik klub, melainkan birokrat dengan kuasa atas lebih dari 100 perusahaan negara.
Dalam olahraga nasional, Erick menjelma figur sentral. Ia memimpin Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 yang dinilai sukses. Lalu, pada 2023, ia terpilih sebagai Ketua Umum PSSI di tengah krisis kepercayaan publik pasca-tragedi Kanjuruhan. Di kursi itu, ia menggulirkan program transformasi sepak bola Indonesia: memperbaiki tata kelola federasi, memperkenalkan Football Vision 2045, menjalin kerjasama erat dengan FIFA, serta menginisiasi pembenahan Liga 1 dengan aturan lisensi klub, audit keuangan, hingga perbaikan jadwal yang lebih profesional.

Foto/Instagram/Erick Thohir
Di bawah kepemimpinannya pula, sebuah sejarah manis tercatat: Indonesia meraih medali emas sepak bola putra di SEA Games 2023 Kamboja, setelah penantian panjang selama 32 tahun. Sebuah kemenangan yang tak hanya menghapus dahaga publik, tetapi juga memberi Erick ruang untuk dikenang, setidaknya dalam satu babak yang menggembirakan.
BACA JUGA: Dari Surat ke ILeague, Sepak Bola Nasional: Di Tangan Erick Thohir, Di Antara Risiko dan Mimpi
Ia pula yang melobi FIFA agar Indonesia tidak dikucilkan usai batalnya Piala Dunia U-20 2023. Hasilnya, FIFA justru menempatkan kantor permanen di Jakarta, sebuah manuver politik olahraga yang membuat nama Erick tak bisa dilepaskan dari diplomasi bola global.

Foto/Instagram/Erick Thohir
Nietzsche pernah menulis, “He who has a why to live can bear almost any how.” Mungkin itu pula yang membuat Erick terus bergerak, tak peduli dari mana kritik datang. Ia tahu why-nya: membangun citra, menanam kuasa, atau, biarlah kita sedikit romantis, mencoba meninggalkan warisan dalam olahraga Indonesia.
Menjadi Menpora, jika benar kelak terjadi, hanyalah satu persinggahan lain dalam lintasan yang panjang. Sebab ia bukan semata menteri, bukan semata ketua umum federasi. Ia adalah orang yang melihat olahraga sebagai perpanjangan politik, bisnis, sekaligus hiburan. Barangkali itu yang membuatnya begitu efektif, atau justru begitu rawan.

Foto/Instagram/Erick Thohir
Apa yang bisa kita harapkan dari seorang Erick Thohir, bila kelak resmi menjejak di kantor Menpora? Apakah ia akan menuntaskan mimpi membenahi tata kelola olahraga, atau sekadar menjadikannya panggung tambahan dalam karier yang sudah penuh sorot kamera? Sejarah hanya bisa dijawab oleh waktu.
Namun, mari kita jujur: dalam politik Indonesia, sering kali bukan soal siapa yang paling layak, melainkan siapa yang paling mungkin. Dan dalam daftar kemungkinan itu, nama Erick Thohir, yang muncul paling akhir, tiba-tiba terasa paling kuat. Tapi, Erick juga layak!

Foto/PSSI
Kita hanya bisa menunggu, sambil mengingat satu kalimat dari Albert Camus: “Life is the sum of all your choices.” Erick sudah memilih panggungnya. Dari bisnis, ke politik, ke sepak bola, hingga barangkali ke kursi Menpora. Ia akan terus hadir di garis depan, seperti seorang pelari yang tahu betul: yang terakhir muncul bisa jadi justru yang pertama sampai.
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!