Ilham Romadhona, Gede Widiade, dan Suporter PSPS: Saat Tribun Jadi Hakim
Ludus01



Foto/Instagram/PSPS Pekanbaru
Di Pekanbaru, riuh yang biasanya lahir dari sorak dan spanduk bisa berubah menjadi tekanan dalam hitungan hari. Ilham Romadhona, nama yang bagi sebagian suporter adalah nostalgia, bagi sebagian lagi baru menjadi harapan, mendapati dirinya di persimpangan itu. Baru dua kali memimpin di kompetisi resmi Liga 2 musim ini, tekanan suporter yang memuncak berakhir dengan tuntutan mundur dan keputusan dramatis yang menimbulkan pertanyaan lebih besar: apa yang terjadi pada kultur klub kita ketika hasil jangka pendek lebih berdaya daripada proses?
Ilham kembali ke PSPS dengan status yang sarat makna: bukan sekadar pelatih baru, tetapi mantan pemain yang pulang setelah dua dekade, diharapkan menumbuhkan identitas yang hilang. Penunjukannya diumumkan dengan optimisme, namanya punya riwayat menangani tim usia muda seperti Barito Putera U-18 dan pengalaman sebagai asisten pada ajang PON, serta kiprah dalam pengembangan pelatih regional, modal yang dibaca manajemen sebagai fondasi pembangunan tim. Pada kertas, Ilham adalah kombinasi pengalaman pemain lama dan pengalaman kepelatihan yang fokus pada pembinaan.

Foto/Instagram/PSPS Pekanbaru
Ilham Romadhona muncul sebagai figur pelatih yang tenang, meski namanya tak pernah sepi dari sorotan publik. Lahir di Payakumbuh pada 3 November 1976, jejaknya di sepak bola Indonesia berlapis antara nostalgia masa lalu dan tantangan masa kini. Ia bukan sosok asing di dunia hijau rumput, sebab sebelum menjadi pelatih, Ilham lebih dulu dikenal sebagai pemain.
Pada pertengahan 1990-an, ia sempat memperkuat Barito Putera, lalu sekitar 2003 ia membela PSPS Pekanbaru, klub yang belakangan kembali menghadirkan namanya ke permukaan. Lebih jauh ke belakang, Ilham juga merupakan bagian dari generasi Primavera, skuad muda Indonesia yang dikirim berlatih ke Italia. Di angkatan itu, ia satu barisan dengan nama-nama besar yang kelak mewarnai sepak bola nasional seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Eko Purjianto, Bejo Sugiantoro, hingga Uston Nawawi. Sayangnya, catatan rinci tentang jumlah pertandingan, posisi spesifik, atau gol yang dicetak Ilham selama kariernya tak banyak terdokumentasi dengan jelas di sumber publik.
Selepas gantung sepatu sekitar 2011, Ilham beralih ke dunia kepelatihan. Ia memulai dari akar: melatih kelompok usia muda di Barito Putera Youth sejak 2018 hingga 2022, lalu dipercaya menangani tim U-18 Barito di Elite Pro Academy 2024. Namanya juga sempat tercatat sebagai asisten pelatih di Timnas Indonesia kelompok U-17, U-19, dan U-20 pada rentang 2023–2024. Awal 2025, ia singgah sebentar di PSCS Cilacap, sebelum akhirnya kembali ke Pekanbaru untuk mengambil alih PSPS di Liga 2 musim 2025/2026.
Kembalinya Ilham ke PSPS bukan sekadar penunjukan formal, melainkan semacam perjalanan pulang. Ia pernah berseragam klub ini 23 tahun silam sebagai pemain, kini ia dipercaya duduk di kursi pelatih kepala sejak 17 Juni 2025. Lisensi kepelatihannya adalah AFC A, dan profil publik menegaskan kecenderungannya pada gaya menyerang. Formasi 4-3-3 menjadi favoritnya, meski ada variasi catatan yang menyinggung adaptasi bertahan. Di konferensi pers perdananya, ia menekankan pentingnya evaluasi, perbaikan berkelanjutan, dan dukungan suporter sebagai energi bagi tim.

Foto/Instagram/PSPS Pekanbaru
Namun kompetisi berbicara dalam bahasa yang kerap kejam: angka di papan skor. Di laga pembuka Liga 2, PSPS didera kekalahan telak 0-4 oleh FC Bekasi City, statistik yang memantik kemarahan karena kontras antara dominasi penguasaan bola dan ketajaman lawan. Di laga kedua, situasi tidak jauh reda: PSPS sempat unggul tetapi harus rela kehilangan dua gol di menit-menit akhir, sehingga berakhir imbang 3-3 kontra PSMS Medan. Dari dua laga itu, Askar Bertuah hanya mengumpulkan satu poin; bagi sebagian suporter itu bukan sekadar angka, melainkan sinyal bahwa sesuatu salah.
Untuk memahami posisi Ilham, kita perlu menoleh ke belakang. Sebelum menjadi pelatih, ia adalah sosok yang pernah menjadi bagian dari denyut PSPS Pekanbaru di awal 2000-an. Ilham mengenakan kostum biru muda PSPS ketika klub itu masih mengandalkan semangat lokal di Liga Indonesia. Sebagai pemain, ia dikenal bukan bintang terang yang mencetak banyak gol, melainkan gelandang pekerja keras, yang lebih sering menambal, menutup ruang, dan memberi keseimbangan.
Setelah beberapa musim di PSPS, kariernya juga membawanya ke sejumlah klub daerah, memberi pengalaman akan kerasnya kompetisi domestik. Ia memahami bagaimana klub di daerah berjuang dengan minim fasilitas, sempitnya finansial, dan ketatnya persaingan. Pengalaman itu membentuk pandangannya ketika beralih ke kepelatihan: bahwa sepakbola Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar hasil pertandingan, melainkan sistem pembinaan yang konsisten.

“Sepakbola bukan sulap. Butuh proses, kesabaran, dan kepercayaan,” pernah ujarnya dalam satu wawancara regional, ketika ditanya tentang filosofi kepelatihannya.
Reaksi publik bergerak cepat. Usai seri melawan PSMS, kelompok suporter menuntut agar Ilham turun dari kursi pelatih, sebuah tuntutan yang, menurut beberapa laporan, berujung pada keputusan mundurnya Ilham di hadapan suporter yang marah. Jika benar mundur itu terjadi karena tekanan massa bukan karena proses evaluasi internal klub, maka kita berhadapan dengan preseden yang membahayakan stabilitas olahraga profesional: pelatih yang dinilai bukan dari lintasan pengembangan dan konteks pertandingan, melainkan dari reaksi emosi jangka pendek.
Cerita Ilham sendiri mengandung bahan-bahan yang seharusnya memberi ruang bagi manajemen untuk bernapas dan berpikir. Dia bukan sosok baru di panggung kepelatihan: memulai karier kepelatihan pada level usia muda, memimpin tim-tim junior di liga akademi, dan juga aktif dalam organisasi pelatih di tingkat regional. Itu bukan sinetron pergantian pelatih semusiman; itu proses yang memerlukan waktu. Fakta itu penting: membangun sistem sepakbola lokal tidak bisa disamaratakan dengan hasil dua laga liga reguler.
Tapi realitas stadion adalah fenomena sosial: suporter hadir bukan hanya untuk menonton, mereka membawa harapan, identitas, dan tuntutan. Dalam kasus PSPS, kekecewaan muncul dari aura nostalgia yang tinggi; publik mengingat masa-masa lebih gemilang dan ingin cepat kembali ke sana. Dampaknya: ketika hasil tidak langsung menentu, ekspresi kemarahan bisa mengambil bentuk yang ekstrem — dari ejekan hingga tuntutan mundur.
Di sinilah peran owner dan pengurus menjadi penentu etika kompetisi: apakah mereka akan mengizinkan tekanan massa memutuskan nasib profesional, atau berdiri sebagai perisai yang menyeimbangkan antara akuntabilitas dan proses? Rupanya mereka sudah bergerak cepat atas situasi ini.

Foto/Instagram/PSPS Pekanbaru
Saya menghubungi Gede Widiade, pemilik PSPS Riau, di tengah riuh yang tak henti berdenyut di jagat media sosial. Ia sedang berada di luar kota, tapi jawabannya datang lugas, tanpa tedeng aling-aling, seolah ia tahu benar bahwa kegaduhan ini tak bisa lagi ditunda penjelasannya.
“Euforia suporter itu bagus, tapi tentu ada batasnya,” katanya. “Mereka punya hak untuk menyampaikan kritik atau komplain, dan itu sah-sah saja selama masih dalam batas kepantasan. Namun kalau sudah merusak, apalagi anarkis, tentu harus diambil tindakan tegas.”
Ada semacam garis tipis di situ: antara kritik yang sehat dan desakan yang melampaui. Ia mengakui, kritik itu wajar. “Suporter justru menjadi stabilisator klub, karena hanya mereka yang benar-benar memberi ruh dalam pertandingan. Saya mendukung kekritisan suporter selama masih dalam koridor kewajaran, agar pemain dan pelatih tidak terlena.”
BACA JUGA: Erick Thohir: Nama yang Muncul Terakhir

Foto/Instagram/PSPS Pekanbaru
Ia, menegaskan sekali lagi,"Saya sangat mendukung kritik suporter terhadap performa tim, termasuk pemain dan pelatih atas hasil yang kurang memuaskan suporter."
Tapi Gede tidak ingin ada yang tergesa-gesa. Klub, katanya, sudah berkomitmen: gaji lancar tiga kali gajian, seluruh fasilitas dipenuhi. Ia ingin ada kesempatan. Kritik boleh, bahkan perlu. Ia sampai menyebut, “Suporter adalah pemain ke-12, wartawan pemain ke-13.” Kritik terhadap performa tim, pemain maupun pelatih , baginya sah, bila hasilnya kurang memuaskan.
Namun ia menolak satu hal: desakan mundur yang datang terlalu cepat. “Ini organisasi yang punya ikatan hukum. Tanggung jawab pelatih bukan hanya di lapangan, tapi juga ke direksi dan organisasi. Jika ada desakan dari suporter karena merasa tidak puas, itu bisa jadi bahan evaluasi dan klarifikasi manajemen, bukan serta-merta alasan untuk memberhentikan.”

Foto/Instagram/PSPS Pekanbaru
Ada kalimat lain yang lebih tegas: “Bagi saya, sekali main pun sebenarnya bisa saja pelatih diberhentikan kalau memang sudah jelas ada masalah besar. Tapi saya tidak mau buru-buru, saya ingin tahu dulu apa penyebabnya. Saya bahkan belum bertemu langsung dengan pelatih, minggu depan baru dijadwalkan.”
Di ujung pembicaraan itu, ada nada yang lebih personal. Ia menyebut, yang membuatnya bertahan di klub ini justru adalah suporter. Tetapi ia segera menggarisbawahi: “Sekali lagi, kalau sampai anarkis, itu tidak bisa ditoleransi.”
Ada harga yang harus dibayar bila klub memberi ruang legitimasi pada pemecatan karena tuntutan langsung: semua pelatih berikutnya akan hidup dalam ketakutan, ketakutan mengambil risiko, bereksperimen dengan pemain muda, atau membangun strategi jangka panjang. Efeknya bukan hanya pada pelatih: pemain muda yang butuh waktu berkembang akan dipaksa mencari hasil instan. Itu adalah siklus yang memiskinkan masa depan tim demi kepuasan sesaat.

Foto/Instagram/PSPS Pekanbaru
Pertanyaannya bukan hanya soal Ilham, melainkan soal tata kelola klub dan kultur suporter yang perlu dididik: sepak bola profesional mensyaratkan halusnya manajemen risiko, kebijakan evaluasi yang transparan, dan komunikasi yang mampu meredam reaksi massa.
Dari sisi Ilham, wajahnya dalam konferensi pers dan komentarnya setelah laga memperlihatkan sosok yang mengakui masalah teknis: komunikasi antar pemain, kesalahan individu, dan kebutuhan evaluasi taktik. Itu bukan kalimat seorang pelatih yang ingin bersembunyi; itu pengakuan yang layak mendapat waktu untuk perbaikan.
Jika manajemen lambat atau mudah terprovokasi, waktulah yang akan dibayar mahal, oleh klub, pemain, dan komunitas sepakbola lokal.
Apa yang harus dilakukan sekarang? Pertama, manajemen dan owner perlu membuat kebijakan evaluasi yang jelas, batas waktu realistis, metrik kinerja yang adil, dan forum komunikasi resmi antara klub dan suporter. Kedua, pengurus harus mengedukasi suporter: menumbuhkan pengertian bahwa konstruksi tim adalah proses, bukan permainan instan. Ketiga, untuk suporter sendiri, introspeksi: gairah yang membakar adalah aset, tetapi ketika berubah menjadi alat tekanan yang memecah, ia menjadi racun.
Tanpa langkah-langkah itu, preseden yang menakutkan akan mengakar, setiap hasil kurang memuaskan akan memicu upaya "penegakan hukum" oleh tribun.

Foto/Instagram/PSPS Pekanbaru
Ilham Romadhona mungkin kini menjadi nama dalam berita-berita emosional; namun narasi yang lebih besar adalah tentang bagaimana sebuah klub merespons kegagalan awal. Apakah mereka memilih jalur refleksi dan perbaikan, atau menyerah pada reaksi instan? Jawaban itu akan menentukan nasib PSPS lebih jauh daripada punuk dua laga yang baru berlalu.
Jika kita menginginkan sepak bola yang sehat dan berkelanjutan di daerah-daerah seperti Riau, maka keputusan-keputusan di ruang rapat dan kantor harus lebih berani daripada teriakan di tribun.

Foto/Instagram/PSPS Pekanbaru
Akhirnya, kisah Ilham adalah pengingat: pelatih adalah arsitek, bukan pesulap. Mereka butuh rubrik waktu, dukungan institusional, dan dialog dengan suporter. Jika tidak, klub-klub akan terus memakan pelatih seperti musim gugur memakan daun, selesai, cepat, dan tanpa akar. Dan di tanah itu, tidak ada yang tumbuh lama.
“Sepakbola itu seperti menanam pohon,” kata Ilham dalam salah satu kesempatan. “Kalau kita ingin panen buahnya, kita harus berani menunggu musimnya.”
Saya menyadari bahwa sepak bola, seperti hidup, selalu berjalan di tepi batas: antara euforia dan anarki, antara harapan dan patah hati. Mungkin, itulah yang sedang terjadi.
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!