Setelah Medali, Lalu Apa?

Ludus01

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As
“Sebuah bangsa diukur bukan dari seberapa sering ia menang, tapi dari seberapa lama ia mampu merawat kemenangan.”
— Parafrase dari gagasan Spinoza tentang ketekunan sebagai bentuk tertinggi kebajikan.
Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Di setiap kemenangan muda, selalu ada kegembiraan yang menular: senyum lebar di wajah para atlet, bendera yang berkibar, lagu kebangsaan yang menggema di udara asing, juga ada tangisan. Tapi di balik semua itu, tersimpan satu pekerjaan yang jarang kita sentuh: merawat apa yang telah dimenangkan. Kemenangan bukan sekadar hasil, tapi janji. Dan janji, seperti halnya bangsa, hanya sekuat ingatan untuk menepatinya.

Empat emas, enam perak, delapan belas perunggu.

Angka-angka itu berderet rapi di papan perolehan medali Asian Youth Games 2025 di Bahrain. Tapi seperti semua angka, ia bisa menipu. Ia memberi rasa bangga yang cepat, dan lupa yang lebih cepat lagi. Anak-anak yang kini berdiri di podium itu, dengan mata berbinar dan bendera di dada, mungkin kelak tak lagi kita ingat.

Dari empat emas itu, satu datang dari pencak silat, satu dari judo, satu dari bulu tangkis, dan satu lagi dari angkat besi. Cabang-cabang yang berbeda, tapi punya benang merah yang sama: kerja keras, disiplin, dan pembinaan yang panjang, atau justru sebaliknya, keberhasilan yang lahir dari talenta individu, bukan sistem yang mapan. Di sinilah pertanyaannya muncul: apakah empat emas itu menandakan regenerasi yang berjalan, atau sekadar bukti bahwa talenta muda kita masih terus berjuang sendirian di antara kebetulan?

Di setiap upacara penghormatan pemenang, selalu ada semacam gema nasionalisme yang hangat, bahkan sentimental. Tapi di balik itu, ada juga keheningan yang panjang. Apa yang akan terjadi setelah musik kebangsaan berhenti, setelah pelatih kembali ke penginapan, setelah media tak lagi menulis nama mereka di halaman depan?

Indonesia menutup Asian Youth Games di Bahrain dengan 4 emas, 6 perak, dan 18 perunggu. Sebuah capaian yang pantas disyukuri, sekaligus dipertanyakan: setelah medali, lalu apa?

Mereka masih sangat muda. Sebagian bahkan belum menamatkan SMA. Tapi di pundak kecil itu, kita letakkan sesuatu yang berat: harapan bangsa. Dari satu event ke event lain, kita menyebut mereka “calon penerus”, “bintang masa depan”, “aset nasional”. Kata-kata besar yang mudah diucap, tapi sulit dipelihara.

Sebab menjadi muda di dunia olahraga bukan sekadar urusan menang. Ia adalah soal waktu, keberlanjutan, dan ruang tumbuh yang sering kali tak ada. Kita mengagumi mereka ketika bersinar, tapi kita jarang menemani mereka saat cahaya itu mulai meredup.

Ada pepatah Afrika yang berkata: “Anak muda berjalan lebih cepat, tapi orang tua tahu jalan.”
Barangkali di situlah persoalan kita. Atlet muda Indonesia berlari cepat, tapi negeri ini belum tahu jalan yang pasti. Sistem pembinaan kita masih sering terpotong di tengah, tak punya kesinambungan antara kejayaan remaja dan kematangan senior.

Dari satu generasi ke generasi lain, kita menyaksikan pola yang sama: anak-anak yang dulu menang di ajang usia muda, kini hilang dalam daftar pelatnas. Ada yang berhenti karena biaya, ada yang menyerah karena cedera, ada yang lelah karena jalan menuju profesional tak terbuka.

Seperti biji yang ditanam di tanah gersang, ia tumbuh sebentar, lalu layu.

Setiap medali memang pantas dirayakan. Tapi medali bukan akhir dari perjalanan, ia baru tanda permulaan. Masalahnya, bangsa ini gemar mengakhiri sesuatu pada saat yang seharusnya baru dimulai.

Kita bertepuk tangan ketika podium berdiri, lalu diam ketika fasilitas rusak. Kita menulis panjang lebar tentang rekor baru, tapi tak bertanya bagaimana mereka berlatih, di mana mereka belajar, siapa yang menemani mereka melewati masa sepi.

Di sinilah olahraga sering jadi cermin kecil dari republik: cepat berbangga, lambat membangun. Sebuah bangsa dengan ingatan pendek, yang mencintai momen, tapi jarang menulis sejarahnya sendiri.

Nietzsche pernah menulis: “He who has a why to live can bear almost any how.” Seseorang yang punya alasan untuk hidup, akan mampu menanggung segala cara.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Para atlet muda itu perlu why, bukan sekadar how. Mereka bisa berlatih, bisa menahan lapar, bisa jatuh-bangun di arena, tapi mereka perlu tahu mengapa mereka melakukannya, dan ke mana arah perjuangan itu akan membawa mereka.

Tanpa why, medali hanyalah benda logam yang berdebu di lemari.

Di Bahrain, ketika lagu Indonesia Raya berkumandang untuk keempat kalinya, barangkali banyak mata yang basah. Tapi setelah air mata kering, masih adakah tangan yang menuntun anak-anak itu?

Kita sering bicara tentang talenta, tapi lupa pada infrastruktur. Kita menyebut nama mereka di berita, tapi tak menyiapkan sekolah yang memahami ritme latihan, pelatih yang terus belajar, atau sistem gizi dan kesehatan yang berkesinambungan.

Padahal usia remaja adalah masa yang paling rapuh, antara mimpi dan kenyataan, antara semangat dan kemungkinan patah. Di sinilah kebijakan seharusnya hadir, bukan hanya dengan bonus dan seremoni, tapi dengan peta jalan yang memastikan setiap potensi tak berhenti di separuh jalan.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Bahrain hanyalah satu episode. Tapi ia bisa menjadi cermin kecil: apakah kita ingin terus menjadi bangsa penonton yang riuh sesaat, atau menjadi bangsa yang sabar menanam dan menunggu panen?

Mungkin itulah bedanya antara kebanggaan dan pembangunan. Yang pertama menyalakan api sebentar, yang kedua menjaga nyala itu agar tak padam.

Kita sering lupa bahwa olahraga bukan sekadar tentang menang, tapi tentang menyiapkan manusia. Dalam setiap kemenangan anak muda, ada kemungkinan besar yang sedang tumbuh: disiplin, daya tahan, keberanian, dan cinta pada proses.

Kalau negara bijak, ia akan melihat itu bukan sekadar hasil lomba, tapi investasi karakter. Kalau masyarakat sadar, ia akan menonton bukan sekadar untuk berteriak “Indonesia!”, tapi untuk belajar apa arti kegigihan.

Sebab masa depan olahraga Indonesia tak ditentukan oleh jumlah medali hari ini, melainkan oleh kemampuan kita menjaga setiap anak berbakat agar tak hilang di tengah jalan.

Mereka bukan sekadar pemenang di Bahrain, mereka adalah penanda waktu: bahwa masa depan sudah datang, hanya belum kita siapkan rumahnya.

Barangkali yang lebih penting dari medali adalah memastikan bahwa anak-anak itu tak berlari sendirian setelah podium diturunkan. Sebab dari mereka, kita sedang menulis masa depan olahraga yang belum tentu mau kita rawat.

Dan seperti semua masa depan, ia bisa datang atau hilang, tergantung seberapa lama kita mau mengingat. Setelah medali, lalu apa?

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Lalu, kepada siapa pertanyaan itu harus diarahkan? Kepada para pemangku kebijakan olahraga nasional, barangkali. Kepada mereka yang setiap tahun bicara tentang pembinaan, tapi lupa membuat peta jalan jangka panjang. Kepada mereka yang menuntut prestasi cepat, tapi enggan berinvestasi pada sistem yang lambat tapi pasti.

Pemangku kebijakan olahraga nasional di negeri ini sering sibuk membuat program tahunan, bukan peradaban olahraga. Mereka mencetak laporan, bukan arah. Ketika satu atlet gagal, mereka mencari pengganti, bukan mencari sebab. Padahal yang dibutuhkan bukan regenerasi spontan, melainkan keberlanjutan yang dirancang, agar kemenangan tidak selalu lahir dari kebetulan.

Mungkin inilah waktu yang tepat untuk bertanya lebih keras: mau dibawa ke mana anak-anak itu? Setelah mereka menang di Bahrain, setelah tepuk tangan berhenti, siapa yang bertanggung jawab atas perjalanan panjang mereka?

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Kalau pemangku kebijakan olahraga nasional hanya datang saat lomba dan pergi saat musim usai, maka kita bukan sedang membina atlet, kita sedang membiarkan mereka tumbuh sendiri di padang yang tak ditanami.

Sebuah bangsa yang besar mestinya tidak membiarkan masa depannya bergantung pada keajaiban. Ia membangunnya, merawatnya, mengawalinya dengan kesabaran. Sebab bakat tanpa bimbingan hanyalah bunga yang cepat mekar, tapi mudah gugur.

Maka, ini soal mengingatkan saja, dan barangkali kritik ini sederhana saja: jangan biarkan empat emas di Bahrain hanya menjadi kenangan tahunan dalam arsip pemangku kebijakan olahraga nasional. Jadikan ia peringatan, bahwa kita sedang berhadapan dengan generasi yang membutuhkan arah, bukan sekadar apresiasi.

Sebab masa depan olahraga Indonesia bukan ditentukan oleh berapa banyak podium yang kita rebut hari ini, melainkan oleh keberanian pemangku kebijakan olahraga nasional kita untuk berhenti berpikir musiman, dan mulai menanam sistem yang bisa bertahan lintas generasi.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Jika tidak, kelak kita akan kembali menulis kalimat yang sama setiap empat tahun: empat emas, enam perak, delapan belas perunggu, dan hilang sesudahnya.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!